Langit malam semakin gelap, menyelimuti kampus yang sudah lengang. Sandy, seorang pemuda dengan tubuh tegap dan langkah mantap, berjalan sendirian di atas trotoar di depan gedung kampus. Telinganya terhubung dengan suara lembut yang familiar dari wanita di ujung telepon."Mas, maafin Bunda, ya. Bunda sama Ayah belum bisa pulang tahun ini," suara ibunya terdengar penuh penyesalan.
Sandy terdiam sesaat, mencoba menyembunyikan perasaan kecewanya. Meski wajahnya menyiratkan kekecewaan, dia menarik napas panjang dan berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Bun. Di sini Mas juga banyak temen, jadi Bunda nggak perlu khawatir," jawab Sandy, mencoba menyelipkan nada riang dalam suaranya.
Suara di seberang terdengar lega namun tetap berat. "Maaf ya, Mas. Bunda janji akan pulang tahun depan."
Janji ibunya meski terdengar seperti janji yang sudah sering diucapkan, namun belum terwujud hingga sekarang.
Sandy berhenti melangkah, menatap kosong ke arah jalan yang sepi. Dalam hatinya, ia hanya bisa berharap ucapan ibunya kali ini benar adanya. "Mas akan selalu nunggu Bunda sama Ayah pulang, kok. Ya udah, Bunda istirahat ya, nanti kalo kecapekan bisa ilang cantiknya, lho," candanya, meski lelucon itu terasa hampa bagi dirinya sendiri.
Terdengar tawa kecil dari seberang telepon, diiringi kata-kata penuh kasih, "Iya, Mas juga jangan lupa istirahat dan semangat buat kuliah pertamanya besok."
Setelah panggilan berakhir, Sandy menurunkan ponselnya. Sejenak suasana kembali hening, hanya disertai suara langkahnya yang pelan. Dia menarik napas panjang dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sosok perempuan yang sedang duduk sendirian di halte bus kampus. Dengan kacamata ovalnya dan rambut panjang coklat gelap, perempuan itu tampak termenung, dan meski gelap, ekspresi sedih di wajahnya terlihat jelas. Sandy berhenti melangkah, rasa penasaran meliputi dirinya. Kenapa ada cewek sendirian selarut ini? pikirnya.
Berbekal rasa khawatir, Sandy memutuskan untuk mendekati perempuan itu. Langkahnya perlahan, hati-hati agar tidak mengejutkan. Tapi begitu dia mendekat, ekspresi perempuan itu seketika berubah menjadi waspada. Pandangannya tajam dan sinis.
"Siapa lo?" tanya perempuan itu dengan nada ketus. "Mau apa dari gue?"
Sandy terhenti sejenak, terkejut dengan respon tersebut, tapi dia mencoba tetap tenang. "Maaf, mbaknya lagi ngapain sendirian malam-malam begini?" tanyanya dengan nada ramah.
Perempuan itu memalingkan wajah, tampak tidak mau diganggu. "Bukan urusan lo," jawabnya singkat, masih dengan nada dingin.
Sandy mengangguk perlahan, berusaha tetap sopan. "Saya cuma mau pastiin kalau mbaknya baik-baik aja. Ini udah malam banget, loh."
Tapi sebelum kalimatnya selesai, perempuan itu memotongnya. "Udah deh, ngga usah pura-pura baik di depan gue. Gue udah tahu tipikal cowok kayak lo yang sok-sok an perhatian. Sorry, gue udah kebal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Hati
RomanceSinopsis Novel "Satu Atap, Satu Hati" Sandy, seorang pemuda yang baru memasuki dunia perkuliahan, hidup sendirian setelah keluarganya memutuskan untuk menetap di luar kota demi pekerjaan. Kabar yang telah sering ia dengar kembali datang: orang tuany...