Setelah suasana perpustakaan yang tadinya hanya berisi perdebatan kecil antara Sandy dan Serena, tiba-tiba berubah dengan kehadiran suara seorang pria. Suaranya terdengar hangat dan ramah, meski asing bagi mereka."Eh, ternyata ada Wakil Ketua di sini sama temannya," ucap suara itu, mengenali Sandy sebagai Wakil Ketua koordinator kelas.
Sandy dan Serena spontan menoleh ke arah sumber suara. Di hadapan mereka, berdiri seorang pria tampan dengan tubuh tinggi yang mengenakan kaos kasual lengan panjang, digulung hingga siku. Rambutnya abu-abu dan mata birunya tampak mencolok di bawah pencahayaan perpustakaan yang redup. Senyuman ramah terpampang di wajahnya, memberi kesan hangat.
"Siapa lo?" tanya Sandy, matanya menyipit, jelas bingung dengan kemunculan sosok tak dikenal itu.
Berbeda dengan Sandy, Serena justru tampak seolah-olah mengenali pria itu. "Tunggu, gue kayaknya pernah liat lo deh," katanya sambil memiringkan kepalanya sedikit. "Gue ingat! lo cowok yang populer di kalangan cewek-cewek kampus itu, kan? Gue pernah liat lo di kelas. Tapi gue lupa nama lo," tambah Serena dengan nada santai, tak menunjukkan ketertarikan meski pria itu terkenal di kalangan gadis-gadis kampus.
Pria itu tersenyum ramah, "Nama gue Martin. Maaf kalau gue tiba-tiba nyapa kalian kayak gini. Kebetulan kita satu kelas, tapi gue belum pernah ngobrol sama kalian. Nama kalian siapa?"
Serena mengangkat bahu, tak terlalu terkesan, "Gue Serena."
Sandy yang sudah sedikit lebih nyaman menjawab, "Gue Sandy. Btw, lo ngapain di perpustakaan pagi-pagi kayak gini?"
Martin tertawa kecil, sedikit canggung. “Sebenarnya ...baru aja ada senior yang ngajak gue ke sini. Dia pengen ngomong sesuatu di tempat sepi.”
Sandy dan Serena langsung menajamkan pendengaran, rasa penasaran menghampiri mereka berdua. “Ngomong soal apa?” tanya Serena.
Martin menggaruk tengkuknya. “Dia abis nembak gue.”
"Serius lo? Terus lo terima dong?” Sandy bertanya penuh rasa ingin tahu.
“Gue tolak,” jawab Martin singkat, dengan senyum masih menghiasi wajahnya, seolah tidak ada yang aneh.
Sandy dan Serena terkejut mendengar jawaban Martin yang tak terduga. Mereka saling bertukar pandang sebelum Serena berkomentar dengan senyum yang tampak canggung, “Nggak nyangka lo bakal nolak. Pasti dia bukan tipe lo kali, ya?”
“Lo populer, jadi wajar sih ada cewek yang nembak lo,” Sandy ikut menimpali dengan nada canggung. “Tapi ngomong-ngomong, gue sama Serena lagi mau bahas sesuatu, lo nggak keberatan kan?”
Martin hanya tersenyum dan mengangguk. Sambil mengalihkan perhatian, Serena dan Sandy berjalan sedikit menjauh, lalu mulai berbisik.
“Eh, kasihan juga tuh cewek,” bisik Sandy. “Ditolak pagi-pagi gini. Mentalnya pasti anjlok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Hati
عاطفيةSinopsis Novel "Satu Atap, Satu Hati" Sandy, seorang pemuda yang baru memasuki dunia perkuliahan, hidup sendirian setelah keluarganya memutuskan untuk menetap di luar kota demi pekerjaan. Kabar yang telah sering ia dengar kembali datang: orang tuany...