Satu idol kampus, butuh bantuan dari dua sahabat

6 1 0
                                    


Setelah kelas terakhir usai, ruangan segera penuh dengan langkah kaki dan suara-suara yang perlahan meredup. Semua mahasiswa beranjak pergi, berhamburan menuju kehidupan masing-masing. Serena termasuk di antara mereka. Tanpa menoleh, ia berjalan lurus, menghindari pandangan Sandy yang menatap punggungnya dengan berbagai pertanyaan terpendam di hati. Sejak awal hari ini, Serena seolah berusaha membuat jarak yang tak kasatmata, dan Sandy tahu, ia tak bisa terus membiarkan itu terjadi.

Namun, hari yang penuh ketegangan tak bisa dibiarkan mengendap begitu saja. Ketika Serena melangkah makin jauh, Sandy pun berdiri, keberanian dalam dirinya akhirnya memuncak. "Serena!" panggilnya, suaranya memecah keheningan ruangan yang sudah hampir kosong.

Serena menghentikan langkahnya sejenak, tapi tak sekalipun menoleh. Seolah pintu di antara mereka tak bisa lagi dibuka. "Sorry, gue lagi buru-buru," ucapnya dingin, nada suaranya lebih tajam dari biasanya, seolah ia memasang benteng tinggi yang tak bisa disentuh siapa pun, bahkan Sandy.

Dalam hatinya, Serena tahu betul dia tidak membenci Sandy. Justru ada ribuan kata yang ingin dia ucapkan, ingin dijelaskan. Tapi, perasaannya berantakan, malu dan canggung bercampur menjadi satu. Ia takut Sandy akan melihat wajahnya yang mungkin sedang merona, atau mendengar suara hatinya yang bergetar penuh kebingungan.

Sandy menarik napas dalam, mencoba menahan rasa kecewa yang perlahan merembes. "Ren, kalau lo lagi mau sendiri, gue nggak akan ganggu. Tapi tolong jangan lama-lama," katanya pelan, berharap Serena mengerti harapan di balik setiap katanya.

Tanpa jawaban, Serena melanjutkan langkahnya, meninggalkan Sandy yang hanya bisa menatap punggungnya menghilang di kerumunan. Sesuatu di dalam dirinya mendesak, tapi tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu waktu membawa jawaban.

Sandy menghela napas panjang sebelum melangkah keluar kelas. Namun, langkahnya terhenti ketika mendapati Kiki, sahabat setianya, bersandar di dinding dekat pintu kelas, dengan ekspresi yang nyaris selalu monoton, namun tak pernah gagal menunjukkan kesetiaan.

Sandy mengerutkan kening. "Kenapa lo masih di sini? Bukannya lo bilang mau ke rumah sakit habis kuliah?"

Kiki, dengan nada tenang yang khas, menjawab, "Gue tadinya mau minta tolong, tapi tadi gue lihat lo lagi ngobrol sama Serena, jadi gue nungguin lo sampai selesai ngobrol." Ada sedikit nada lelah di suaranya, meski wajahnya tetap datar seperti biasa.

Sandy menggeleng, menyiratkan senyuman kecil yang hampir tak terlihat. "Minta tolong apa? Buruan," katanya setengah bercanda.

Kiki mendesah, seolah permintaannya sudah biasa diajukan. "Gendongin gue sampai parkiran, mager banget gue."

Sandy memutar malas matanya, setengah tak percaya dengan permintaan yang entah serius atau candaan itu. Ini bukan pertama kalinya Kiki melontarkan permintaan aneh seperti itu. "Ogah banget gue disuruh gendongin lo," balas Sandy sambil melangkah menyusuri koridor.

Kiki, tak kalah santai, mengikuti langkah Sandy dari belakang. "Sia-sia gue nungguin lo," sahutnya datar, nada bicaranya tetap tenang, namun ada kesan tersirat yang hanya bisa ditangkap oleh sahabat sejatinya.

Sandy hanya menggeleng, mengulum tawa. "Seharusnya lo bersyukur udah dikasih kaki buat jalan sendiri," canda Sandy, yang langsung dibalas oleh Kiki dengan tatapan acuh.

“Justru lo yang dosa kalau nggak mau bantu teman yang butuh pertolongan," kata Kiki, menyamakan langkahnya dengan Sandy.

Sandy memandangnya sekilas, dengan senyum yang tak bisa ditahan. "Yang ada, gue malah dosa gara-gara bikin orang jadi nggak bersyukur karena udah dikasih kaki buat jalan," balasnya, nada candaannya membawa suasana yang lebih ringan.

Kiki tertawa kecil, sebuah suara yang jarang terdengar, namun selalu membuat Sandy merasa bahwa persahabatan mereka adalah sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. "Gue kan cuma bercanda, bre. Gue cuma nggak mau jalan sendirian aja."

Satu Atap, Satu HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang