Best Friend - 1

4.6K 34 0
                                    

Aku bangun saat matahari sudah menampakkan diri sepenuhnya. Hari ketiga berlibur di kota tetangga yang menjadi tujuan kebanyakan warga ibu kota berlibur singkat ini kuawali dengan kepala berat, meski alkohol yang kutenggak semalam tidak terlalu banyak.

Kuregangkan badanku dan berbalik. Terlihat lelaki yang sudah menjadi teman karibku dari awal perkuliahan masih tertidur. Pertemanan kami memang agak aneh menurut orang kebanyakan. Tidak sedikit yang mengira kami lebih dari teman. Namun, tidak. Kami tidak memiliki perasaan romantis satu sama lain. Pertemanan kami bisa sedekat ini karena, simpelnya, kami adalah dua orang yang mirip. Mulai dari cara berpikir, selera makanan, sampai selera musik. 

Alam, nama lelaki yang dua puluh senti lebih tinggi dariku itu masih tertidur pulas seperti orang pingsan di ujung kasur. Ia terlalu banyak minum alkohol semalam. Ajakan clubbing-nya kutolak keras. Bukannya sok suci, aku hanya tidak suka hentakan musik yang rasanya akan memecah telinga dan kesulitan bernapas karena lautan manusia. Aku terlalu lelah setelah seharian berkeliling kota. Akhirnya kami mengambil jalan tengah dan menikmati malam di bar hotel bintang empat tempat kami menginap. Keinginannya meminum alkohol terpenuhi tanpa pengorbanan berlebih dariku.

Aku bangun dan bergeser ke arahnya. Ini bukan pertama kalinya kami tidur di kasur yang sama. Beberapa kali Alam bermalam di apartemenku.

"Nyong, bangun, Nyong. Laper gue, ayo cari makan," ucapku sambil menggoyang-goyangkan bahunya. Nyong adalah panggilan akrabku padanya yang berarti monyong. Alam kerap memonyongkan bibirnya jika sedang semangat menjelaskan sesuatu.

Karena ia tidak bereaksi sama sekali. Aku menutup hidungnya dengan dua jariku. Setelah beberapa detik, ia terbangun dengan panik. Matanya melotot sambil sibuk mengambil napas lewat mulut. Tak lupa tanganku yang menjepit hidungnya ia dorong.

"Gila ya," nyinyirnya menatapku sebal. Namun, bukannya bangun, ia malah mengeratkan selimutnya dan berbaring miring menghadapku. "Pusing banget gue, May. Sepuluh menit lagi, ya?"

Aku hanya menghela napas. Saat kubangunkan lagi nanti, ia juga pasti akan mengucapkan hal yang sama. Karena malas mendebat, aku bangkit untuk mandi terlebih dahulu. Selesai berpakaian, aku mendekati Alam yang sudah kembali pulas.

Aku mengguncang badannya. "Lo mau bangun atau gue tinggal?" tanyaku setelah Alam berdeham.

Matanya perlahan terbuka dan menatapku. Kedua tangannya diangkat dengan maksud memintaku menarik tubuhnya agar bangkit. Aku-pun menariknya dengan sekuat tenaga. Disamping badannya yang lebih besar, aku juga masih lemas karena lapar. Setelah terduduk, Alam menarik pinggangku untuk dipeluknya. Ia membenamkan wajahnya pada perutku yang tertutup kaus.

Aku menarik rambutnya untuk menjauhkan kepalanya. "Jauhin muka kotor lo itu dari badan bersih dan wangi gue."

"Cepet mandi!"

Ia menatapku dengan sebal dan memberengut. "Iya, iya. Dasar ibu tiri." Akhirnya ia bangkit menuju kamar mandi dengan langkah sempoyongan.

Setelah menata selimut dan bantal, aku duduk di meja rias dan bersiap. Tidak banyak yang kulakukan pada wajahku. Cukup dengan tabir surya, maskara dan pewarna bibir, aku selesai bersiap. Tidak lupa kusemprotkan parfum beraroma bunga yang menyegarkan sebagai sentuhan terakhir. Rambut lurusku sudah terkuncir seluruhnya di belakang kepala dengan beberapa helai jatuh di samping wajahku.

Tidak lama kemudian, Alam muncul dari pintu kamar mandi. Handuk kecil yang ia gunakan hanya menutupi pinggul hingga lututnya. Perut kencang dan dada bidangnya terekspos nyata. Jangan khawatir, aku sudah terlalu sering melihatnya hingga tidak menimbulkan efek apapun. Padahal, aku suka menonton berbagai pertandingan olahraga untuk menyegarkan pikiran dengan memandangi badan atletis pemainnya.

Women's CravingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang