Intern - 1

3.5K 32 0
                                    

Helaan napas lelahku terdengar jelas sesaat kututup berkas yang dari satu jam lalu kuteliti, sebelum kutandatangani. Setelah naik jabatan menjadi manajer pemasaran, beban kerjaku makin berat. Umurku bahkan baru dua enam, tapi Ayahku, pemilik agensi kreatif tempatku bekerja, mempercepat kenaikan jabatanku. Hal ini terjadi karena manajer sebelumnya resign setelah melahirkan.

Jam makan siang sudah lewat, namun aku baru sempat keluar ruangan untuk membeli makan. Saat melewati meja-meja staf pemasaran, semua yang melihatku menyapa dengan anggukan kepala dan senyuman. Meskipun nepo baby, pekerjaanku bagus, jadi mereka tidak bisa membenciku terang-terangan.

Saat akan keluar ruangan divisi pemasaran, aku berpapasan dengan Erika, salah satu staf penanggung jawab, diikuti tiga orang lain yang belum pernah kulihat wajahnya. Mereka terlihat muda.

"Siang, Bu Jes. Ini anak-anak magang yang akan ditempatkan di bagian pemasaran selama tiga bulan ke depan," jelasnya tanpa kutanya. Aku menyetop langkahku dan menatap satu persatu ketiga orang itu. Ada satu laki-laki dan dua perempuan.

"Ini Bu Jesica, Manajer Pemasaran," tambahnya kepada tiga anggota magang itu.

Aku mengangguk dengan senyum tipis. "Siang, Erika."

"Freshgraduate atau masih kuliah?" tanyaku pada mereka.

Salah satu perempuan yang mengenakan kemeja merah muda menjawabku, "kami semua mahasiswa akhir, Bu." Ia tersenyum sopan dengan tangan menyatu di depan badannya. Kedua peserta magang lainnya mengangguk menyetujui.

"Saya tunggu kerja sama kita ke depannya," ucapku dan melanjutkan langkahku menuju lift. Sebenarnya, satu lelaki muda tadi sedikit menarik perhatianku. Tubuh tinggi, alis tebal, dan hidung manjung yang menjadi tempat kacamata berbingkai hitam tebal cukup membuatnya mencolok.

Namun, aku tidak memperhatikannya lebih lanjut. Ayolah, ia jauh lebih muda dan anak magang divisiku. Bisa diamuk Ayah jika aku bertindak tidak senonoh padanya. Kurasa aku sudah ada di batas maksimal butuh hiburan, sampai-sampai tertarik pada anak magang. Sebulan penuh aku sibuk di kantor dan menolak semua ajakan pesta sahabatku.

Dulu, paling tidak aku akan berpesta dengannya sebulan sekali. Sahabatku itu seorang model. Kehidupan glamornya menarikku yang pada dasarnya suka berpesta untuk lebih rutin melakukannya. Ah, aku merindukan hidup santaiku.

**

Saat sedang menikmati pijatan di salah satu spa langgananku sepulang kerja, ponselku berbunyi menandakan telepon masuk. Kulihat nama Claudia di sana. Claudia adalah sahabatku sejak sekolah menengah.

"Hellooo, how was your week, my corporate girlie?" Sapanya di seberang sana sesaat kupencet tombol hijau dan menyalakan fitur speaker. Ruangan pijatku sekarang privat, jadi tidak akan mengganggu siapapun.

"Remuk-remuk badan gue, Clau. Ini lagi pijet di Delta,"

"Nanti ikut ke Hellix, yuk! Lo tuh butuh party untuk mempertahankan kewarasan lo!" ajaknya dengan menyebut salah satu klub elit di ibu kota yang juga menjadi klub malam kesukaanku. Mereka ketat pada siapa saja yang bisa menjadi customer-nya. Keadaan di sana juga tidak akan pernah terlalu padat karena ada batas maksimal pengunjung.

Aku berdeham sambil berpikir. Besok hari Sabtu, clubbing sampai pingsan-pun seharusnya tidak akan mengganggu pekerjaanku. Namun, di malam Sabtu pasti klub lebih ramai dari hari kerja.

"Gak bakal padet, Jes. Khusus undangan event aja, lo bareng gue. Gimana?" sambar Claudia seakan tahu pikiranku. Aku langsung mengiyakan setelah penjelasannya. Event yang dimaksud Claudia pasti acara yang bersangkutan dengan dunia modelnya. Akan ada banyak lelaki tampan di sana. Jika menemukan yang pas, aku mungkin akan bermalam dengan salah satunya.

Women's CravingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang