1

968 71 2
                                    

Malam yang sunyi seakan telah menjadi teman setia bagi seorang pemuda yang berdiri diam di balkon kamarnya. Langit malam tak lagi memberi keajaiban, hanya hamparan gelap yang kosong tanpa bintang. Mata pemuda itu menatap lurus ke arah kegelapan, namun pikirannya mengembara jauh ke masa lalu, tenggelam dalam perasaan hampa dan putus asa yang terus menghantui setiap detak jantungnya. Kesunyian telah menjadi saksi, membungkus rapat-rapat kesedihan yang tak pernah benar-benar hilang.

Lima tahun telah berlalu sejak kejadian itu—kejadian yang menghancurkan dunianya dalam sekejap mata. Kebahagiaan yang dulu mengelilinginya tiba-tiba lenyap, meninggalkan ruang kosong yang tak kunjung terisi. Meski waktu terus berjalan, rasa pahit itu tetap membekas seakan baru kemarin terjadi, membelenggu hati dan pikirannya dengan kenangan yang tak pernah benar-benar bisa dilepaskan.

Flashback on

Hari itu, Zayyan berdiri di tengah kerumunan dengan hati berdebar. Pengumuman pemenang lomba piano antar sekolah akhirnya tiba, dan saat namanya disebut sebagai juara pertama, senyum bahagia langsung merekah di wajahnya. Ia tak sabar untuk pulang dan berbagi kabar baik ini dengan orang tuanya—terutama mamanya, sosok yang selalu menjadi inspirasi dan dukungannya.

Sesampainya di rumah, Zayyan berlari masuk dengan semangat yang menggebu. “Mama! Mamaaa!” panggilnya keras, mencari sosok yang begitu dirindukan.

Mamanya datang dari dapur, tersenyum hangat. “Ada apa, sayang? Kok teriak-teriak?”

“Mama, Zayyan menang lomba piano! Zayyan juara satu!” serunya, matanya berbinar-binar penuh kebahagiaan, sambil menunjukkan piala yang dibawanya.

“Wow, hebat sekali anak Mama! Kamu mau hadiah apa dari Papa dan Mama?” tanya mamanya sambil mengusap lembut kepala Zayyan. Ada rasa bangga yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Zayyan tersenyum ceria, matanya berkilau karena kebahagiaan. Dia tahu, di dunia ini, tidak ada yang lebih mendukungnya selain mamanya. Mamanya adalah idolanya, inspirasinya, sosok yang membimbing dan membesarkan setiap mimpinya. Meski papanya awalnya berharap Zayyan mengikuti jejaknya untuk menjadi penerus perusahaan keluarga, mamanya dengan lembut meyakinkan sang suami untuk mendukung impian anak mereka. Dan pada akhirnya, papanya menyerah, meski di hati kecilnya ia tetap berharap sesuatu yang lain untuk Zayyan.

Sejak kecil, piano adalah segalanya bagi Zayyan. Nada-nada yang dipetiknya di tuts putih-hitam itu adalah jembatan antara dirinya dan dunia mamanya, yang juga seorang pianis. Dan kini, dengan kemenangannya, ia merasa semakin dekat dengan cita-cita itu—menjadi seperti mamanya, seorang pianis terkenal yang selalu ia banggakan.

“Jadi, kamu mau hadiah apa, sayang?” tanya mamanya lagi, membuyarkan lamunan Zayyan.

“Hmmm… Zayyan bingung, Ma. Soalnya Zayyan sudah sering dapat hadiah,” jawabnya polos, membuat mamanya terkekeh kecil.

“Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan ke taman bersama Papa? Kebetulan besok libur.”

Mata Zayyan berbinar. “Setuju, Ma! Terima kasih!”

---

Keesokan paginya, Zayyan sudah bersiap sejak dini hari. Semangat memenuhi dadanya saat ia mengetuk pintu kamar orang tuanya.

“Mama, Papa… ayo!” panggilnya, namun tak ada jawaban. Dia menunggu dengan gelisah di depan pintu, sampai akhirnya kedua orang tuanya keluar dengan senyum di wajah mereka.

Aku Ingin Menyerah •Zayyan Story• ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang