20

333 49 8
                                    

Suasana di rumah sakit terasa sunyi. Hanya ada bunyi monitor detak jantung yang berdenging lembut, bersahutan dengan suara perawat yang sesekali berbisik pelan. Di salah satu kamar perawatan khusus, tubuh Zayyan terbaring tak bergerak. Selang infus menancap di lengannya, sementara alat bantu pernapasan menutupi hidung dan mulutnya. Wajahnya yang biasanya ceria kini pucat, nyaris tanpa warna.

Sing berdiri di sisi ranjang, menatap sahabatnya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari kelima sejak Zayyan dibawa ke rumah sakit. Hari kelima sejak tubuh sahabatnya itu jatuh tak sadarkan diri di pelukannya. Dan hingga kini, Zayyan belum juga membuka matanya.

Sing mengusap wajahnya dengan lelah. Dia masih bisa mengingat dengan jelas kepanikan yang terjadi di sekolah kala itu. Bagaimana guru dan teman-teman sekelas mereka berlarian, membawa Zayyan ke UKS sebelum akhirnya ambulans datang. Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu panjang dan menegangkan, dengan suara detak jantung Zayyan yang terus melemah. Ketika dokter akhirnya memberi penjelasan tentang kondisi Zayyan, dunia Sing seolah runtuh.

"Geger otak stadium akhir," ucap dokter itu dengan suara berat, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun harapan. "Kerusakan pada jaringan otaknya sudah terlalu parah. Ini kemungkinan akibat benturan keras pada kepala, tapi tanpa penanganan medis yang tepat, kerusakan ini terus berkembang."

Sing ingat, tubuhnya nyaris roboh mendengar kata-kata itu. Stadium akhir-dua kata yang menghantui pikirannya sejak saat itu. Dia tak paham bagaimana ini bisa terjadi. Zayyan tak pernah bercerita tentang kecelakaan atau apapun yang bisa menyebabkan gegar otak. Selama ini, Zayyan hanya tampak seperti sedang kelelahan. Mungkin sedikit lebih sering sakit kepala dan mimisan, tapi tidak ada yang mengira bahwa kondisinya ternyata sangat serius.

"Kenapa... kenapa lo nggak pernah cerita, Zay?" gumam Sing lirih, menunduk menatap wajah sahabatnya yang terpejam. Matanya terasa panas, dan tenggorokannya tercekat. Semua penyangkalan yang dia bangun selama ini-keyakinan bahwa Zayyan hanya terlalu lelah atau stres-hancur berkeping-keping.

Kondisi Zayyan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Menurut dokter, benturan keras di kepala dua bulan lalu itulah yang memicu semua ini. Gegar otak yang dialami Zayyan berkembang tanpa terdeteksi, menyebabkan pembengkakan di jaringan otak. Pada awalnya, gejala seperti mimisan dan sakit kepala hanyalah tanda-tanda ringan. Tetapi seiring waktu, kerusakan itu semakin parah, hingga mencapai titik di mana tubuh Zayyan tak mampu lagi menahannya.

Stadium akhir berarti harapan sangat kecil. Menurut dokter, Zayyan mungkin tak akan pernah sadar kembali. Dan jika pun dia terbangun, kemungkinan besar dia akan kehilangan sebagian besar fungsi kognitifnya. Sing masih tak bisa menerima kenyataan ini.

Pintu kamar rumah sakit terbuka pelan. Leo masuk dengan wajah muram, membawa kantong plastik berisi makanan dan air minum. Sejak hari pertama Zayyan koma, Sing dan Leo bergantian berjaga di samping tempat tidurnya. Mereka tidak mau meninggalkan Zayyan sendirian, seolah-olah kehadiran mereka bisa membantu sahabat mereka itu untuk melawan kegelapan yang menahannya.

"Kondisinya masih sama?" Leo bertanya, meski dia tahu jawabannya.

Sing mengangguk, perlahan. "Detak jantungnya stabil, tapi... dokter bilang belum ada tanda-tanda kesadaran. Mereka bilang, kalau dalam seminggu ini dia nggak bangun, risikonya besar."

Leo mengatupkan rahangnya, menahan emosi yang mendadak meluap. Dia merasa tak berdaya. Semua upaya yang mereka lakukan terasa sia-sia, seolah tak ada yang bisa mengubah nasib sahabat mereka ini. Padahal, Zayyan adalah orang yang selalu berjuang keras, yang selalu mendukung mereka saat mereka terpuruk. Dan kini, ketika Zayyan yang membutuhkan dukungan, mereka hanya bisa menunggunya dalam ketidakpastian.

Selama lima hari ini, Sing dan Leo tak pernah absen menemani Zayyan. Bahkan Sing memilih untuk membolos sekolah demi terus berada di samping sahabatnya. Pikirannya tak tenang setiap kali harus meninggalkan Zayyan sendirian. Sementara itu, Leo akan langsung menuju rumah sakit sepulang sekolah. Keluarga Leo—adik dan orang tuanya—juga beberapa kali datang menjenguk, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang tak pernah surut.

Aku Ingin Menyerah •Zayyan Story• ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang