3. Rangkulan

6 1 2
                                    

Hari hari Jeco merasa berwarna semenjak, dia dapat berkenalan dengan gadis bermata teduh, gadis yang sangat cantik namun tertutup dengan kepribadiannya. Perasaan ini belum pernah Jeco rasakan dia merasakan setiap harinya selalu bergairah untuk menjalani kehidupan pahitnya. Mungkinkah Jeco menyukai Ratu?.

Jeco ingin menjalaninya terlebih dahulu agar tidak gegabah, dia takut jika perasaan ini terlalu cepat dan dia tidak ingin pertemanannya dengan Ratu justru berakhir hanya karena perasaan sepihak Jeco yang terburu-buru. Lebih baik, dia bersiap memakai baju rapih untuk menemui Ratu di Halte Bunga Putih, mereka berdua sudah janjian bertemu sebab Ratu akan mengajak Jeco ke tempat semua impian Ratu ada di sana. Jeco sangat tidak sabar akan kemana Ratu mengajaknya, gadis itu memang penuh dengan kejutan dan Jeco menyukainya.

Setelah semuanya selesai dia turun untuk berpamitan kepada mama yang sedang berada di dapur, namun langkah kakinya berhenti saat mendengar suara keras ayah yang sedang memarahi mama wajah Jeco seketika berubah menjadi datar. Sungguh apa harus selalu seperti ini? di hari minggu yang harusnya keluarga lain sedang menikmati kehangatan bersama keluarga, tetapi keluarga Jeco jauh dari kata itu. Dia memberanikan diri menuju dapur untuk membela mama dan menghentikan suasana yang sangat tidak enak, Jeco sungguh membenci sifat ayahnya yang arogan dan tempramental.

"Cukup ayah! Apa harus di hari Minggu ayah memarahi mama? Apa ayah memikirkan perasaan Mia jika mendengar suara bentakan ayah?" ucap Jeco dengan tatapan tidak suka kepada ayah.

Ayah Jeco langsung melayangkan tamparan kepada putra sulungnya, tamparan itu sangat keras hingga membuat bibir Jeco berdarah. Jeco sendiri hanya diam tubuhnya seakan mati merasakan perihnya tamparan ayahnya tanpa rasa kasihan.

"Tutup mulut kamu!! Anak sama ibu sama aja, ngga tahu di untung udah tetap saya nafkahi dan ngga lepas dari tanggung jawab saya. Terlebih kamu Jeco, siapa yang membiayai sekolah kamu? Saya! Jadi ingat jangan pernah mengatur saya kalau Kalian semua masih mau saya tanggung kebutuhannya!"

"Kalau begitu, lebih baik ayah pergi dan ngga usah menanggung semua kebutuhan kami. Kalau ayah ngga ikhlas dan selalu mengungkitnya, aku sudah sangat muak!"

Kata kata itu terlontar dengan mudah dari mulut Jeco membuat ayahnya semakin gelap mata dan ingin menampar Jeco kembali, namun kali ini mamahnya maju menghadang suaminya yang ingin menyakiti Jeco kembali. Jeco sendiri terkejut dengan mama yang kini membela padahal mama selama ini hanya diam dan membiarkan ayah menyakiti hati serta fisiknya, apakah mama mengambil suatu keputusan?.

"Talak aku mas, aku sudah cape dengan semua ini. Aku bisa menghidupi dan menyekolahkan Jeco serta Mia, aku juga sudah muak dengan kamu, dengan sifat kamu yang arogan juga tempramental. Jadi lebih baik kita pisah daripada terus menderita di keluarga yang ngga sehat ini."

Ayah Jeco yang mendengar penuturan istrinya tidak percaya dengan semua yang dikatakan, sebab istrinya memang tidak pernah membantah maupun membela dirinya tetapi kali ini istrinya mampu mengatakan kata pisah dengan sangat lantang. Jeco yang juga mendengar hanya diam karena keputusan ini juga yang dia inginkan, bukannya dia tidak sayang kepada ayah dan bukannya dia tidak memikirkan perasaan Mia jika ayah pergi dari kehidupan mereka. Tetapi untuk apa kehadiran ayah ada, namun sosoknya hanya menyakiti dan melukai dengan pelampiasan emosinya.

Ayah Jeco pergi begitu saja tanpa menjawab satu kata pun, mama Jeco seketika tersungkur dengan tangis yang sudah pecah. Dia sendiri merasakan lega saat mengatakan semua yang ada dalam hatinya, dirinya tidak menyalahkan Jeco karena sifat lantangnya karena memang keputusan inilah yang dia ambil dari dulu. Dia dapat tetap hidup bersama kedua anaknya dengan keahlian memasak yang dimilikinya.

"Maafin Jeco ma, Jeco hanya ingin mama terlepas dari ayah yang tempramental," ucap Jeco menguatkan hatinya.

"Mama ngga marah, nak. Seharusnya memang keputusan ini yang mama ambil, mama terlalu cinta kepada ayahmu sehingga tidak memikirkan perasaan mama juga kedua anak mama. Maafin mama ya nak."

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang