5. Langit Cerah

2 1 0
                                    


Pagi ini sangat cerah matahari bersinar terang ditambah suara burung yang merdu menambah suasana pagi di hari Senin semakin manis, Jeco sudah bersiap dengan seragam putih abu-abu di padu dengan almet osisnya berwarna merah yang menambah ketampanan seorang Jeco. Setelah semuanya siap dia pun turun menenteng tas putih lalu turun untuk sarapan, seperti biasa suasana di keluarga Jeco selalu suram.

Namun kali ini ayahnya tidak di rumah, entah pergi kemana yang jelas Jeco tidak peduli. Dia justru menginginkan ayahnya tidak ada di rumah sama seperti hari ini. Sementara, di meja makan ada mamah dan adiknya yang sedang sarapan dia pun pamit berangkat sekolah lebih awal.

Sesampainya, di Halte dia tersenyum senang melihat Ratu yang sedang menunggu dirinya mereka memang sudah janjian dan kali ini mereka berdua akan berangkat bersama karena ternyata arah sekolah mereka sama hanya berbeda tempat sekolah, Jeco menyapa Ratu dengan hati gembira Ratu membalas dengan senyum manisnya dan lirik matanya menelaah penampilan Jeco hari ini yang menurutnya cukup tampan.

"Kenapa lihatin aku kaya gitu? Aku ganteng ya." goda Jeco dengan sangat percaya diri.

"Iya, kamu ganteng hari ini." jawab Ratu tidak berbohong.

Seketika wajah Jeco memerah mendengar ucapan Ratu yang membenarkan ketampanannya hari ini, sungguh dia ingin berteriak jika tidak ada orang di Halte ini. Ratu kenapa kamu jujur banget jadi manusia? Jeco kan jadinya salah tingkah terus.

Selepas kejadian salah tingkah itu, tak lama bus datang dan mereka segera naik Ratu dan Jeco duduk bersebelahan dengan sengaja, selama dalam bus keduanya hanya diam entah, ada rasa canggung yang datang membuat keduanya memilih diam.

Tangan Ratu mengambil sesuatu dari dalam tasnya terlihat beberapa butir obat yang dimasukkan ke dua botol kecil, Jeco yang melihat mengerutkan kening. Apakah wanita di sebelahnya ini sakit atau memang mengidap penyakit serius? Dia ingin bertanya tapi, apakah hal ini sopan untuk ditanyakan terlebih Ratu belum mau untuk menceritakan tentang dirinya kepada Jeco.

"Kamu pasti kiranya aku sakit ya?" tanya Ratu yang telah selesai meminum semua obat.

Jeco membeku dia tidak bisa menjawab apa-apa, sungguh Ratu seperti cenayang yang bisa membaca pikiran seseorang. Kini Ratu menghadap ke arah Jeco melihat kedua bola mata pria di sebelahnya ini dengan sangat dekat, mengisyaratkan agar Jeco dapat melihat luka yang ada dalam kedua bola matanya.

"Kalau pun aku tanya memang kamu mau kasih tahu? Aku aja ngga yakin duluan." balas Jeco yang kini merasa moodnya turun.

"Maaf Jeco, suatu saat kamu akan tahu aku hanya butuh waktu agar bisa cerita apapun ke kamu." kata Ratu mencoba memperbaiki suasana.

Ratu bukan tidak ingin menceritakan tentang dirinya kepada Jeco, tetapi dia butuh waktu agar bisa percaya kembali kepada manusia. Kepercayaan yang dia berikan kepada ibunya telah dihancurkan berkeping-keping tanpa berniat untuk memperbaiki, lalu mengapa dia sekarang mau merawat ibunya? Karena hati yang dimilikinya tidak se-dendam abangnya juga mengingat ibunya tetap seorang ibu.

Setelah lama, dalam bus akhirnya mereka berdua sampai di Halte sekolah Jeco yang masih merasa bete dengan Ratu berjalan duluan tanpa menunggu Ratu yang masih duduk di bangku bus, meninggalkan Ratu dengan rasa kesal karena tidak mau terbuka dengan dirinya. Ratu yang melihat tingkah Jeco yang kesal tidak ingin mengejar membiarkan teman baiknya reda sendiri, dia ingin Jeco bisa untuk mengerti dirinya.

Jeco yang kini sudah sampai di kelas justru merasa bodoh dengan sikap kekanakannya, ada apa dengan dirinya? Mengapa dia harus merasa kesal kepada Ratu? Jelas, dia seharusnya bisa mengerti keadaan Ratu ditambah sepertinya Ratu memang sedang tidak sehat karena Jeco sempat memperhatikan wajah pucat Ratu yang tidak dapat ditutupi. Sekarang dia sangat khawatir tanpa menunggu lama Jeco mengirimi pesan kepada Ratu dan meminta maaf karena sudah meninggalkannya dalam bus.

Metafora Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang