In Elysium, dreams come true - unless the dream is death.
Aku menghela napas pelan, meneguk pelan isi gelas kopiku yang masih hangat. Penduduk berlalu lalang, antara sedang berjalan-jalan atau baru saja pulang dari kantor.
Aku menatap mereka dengan tatapan kosong. Sekarang Elysium semakin ramai oleh penduduk. Dunia virtual yang semula kosong berubah menjadi berwarna, sesak akan orang-orang yang ingin melepas penat, they want to escape from the hustle and bustle of the real world.
But can they really escape the reality? Itu adalah pertanyaan terbesarku.
Maksudku, bukankah cepat atau lambat mereka juga harus kembali ke dunia nyata untuk melakukan urusan-urusan penting? Bekerja, misalnya?
Oke, mungkin coret di bagian bekerja, karena aku tidak bisa menyangkal bahwa aku salah satu dari mereka. Tapi berbeda dengan mereka, aku dapat bekerja di dua dunia sekaligus. A privilege from the Neo Tokarta government. I don't really care about it.
"Ryo!"
Aku menoleh. Panjang umur, orang yang kutunggu sudah datang.
Namanya Arif- Arifuddin Dharma Mahendra. Dia seorang seniman digital yang kurang diapresiasi pemerintah - maaf. Karya seninya lebih baik dibandingkan poster-poster jiplakan yang ditempel di setiap sudut kota Neo Tokarta. Tidak banyak orang yang mau menggunakan jasanya untuk menggambar, lebih memilih untuk menggunakan AI yang canggih.
Arif duduk di kursi di hadapanku, menghembuskan napas keras.
Aku langsung tahu maksudnya. "Lagi?"
"Ya. Lagi," sahut Arif sambil mengangguk. Dia mengusap pelan rambut kehitamannya dengan jarinya - gaya khasnya saat dia gelisah. "Aku harus bagaimana, Ryo? Aku akan diusir dari apartemenku sebentar lagi jika aku tidak bisa membayar biaya bulanannya."
"Berapa yang kau butuhkan?"
Setelah berpikir sejenak, Arif mendesis pelan. "Kalo gak salah, sekitar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah."
"Oke. That's a problem." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
"Kali ini aku benar-benar buntu, Rif. Darimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu singkat?"
"Gak tahu lagi, Ryo. Gue udah putus asa banget."
Aku menelan ludah. Di satu sisi, aku kasihan melihat Arif yang sepertinya pasrah akan keadaannya sekarang, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa membantu banyak. There is nothing I can do other than to support him.
"Hei, kalian berdua! Kenapa tatap-tatapan saja?"
Aku dan Arif menoleh nyaris bersamaan, suara itu terdengar sangat familiar.
Ayu, tentu saja. Ayunda Anisa Putri, seorang teknisi yang bekerja untuk perusahaan teknologi raksasa - yang juga menciptakan dunia virtual Elysium. Dengan paras secantik itu, aku heran mengapa tidak ada laki-laki yang menginginkannya. Tapi mengingat dia adalah pekerja keras, mungkin itu alasannya.
"Ayu, hai." Arif menyapa Ayu, senyumnya lebar - aku tahu dia berusaha menutupi kesedihannya. "Duduklah."
Ayu mengambil tempat duduk di sebelah kiriku, tangannya cekatan mengetikkan sesuatu di layar tabletnya.
"Apa lagi yang sedang kau kerjakan, Ayu?" Aku penasaran, memiringkan kepalaku agar bisa melihat isi tabletnya.
Ayu cepat-cepat membalikkan tabletnya. "Program baru untuk aplikasi yang dikembangkan perusahaanku. Kau gak usah tahu, dasar kepo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica 1: Embrace The Future
Science Fiction"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...