Aku tersadar dari pingsanku, perlahan bangkit berdiri sambil memegangi kepalaku. Meringis, mencoba menatap sekitarku yang masih kabur. Perjalanan tadi tidak senyaman biasanya.
Sebelum kalian bertanya-tanya, ini aku, Guntur Mahesa, walikota Neo Tokarta, yang juga ikut tersedot masuk ke dalam anomali lubang hitam bersama Ryoichi. Untuk bab ini, dan mungkin bab-bab tertentu, sementara kalian akan membaca cerita ini dalam sudut pandangku. Aku juga akan sedikit meluruskan apa yang baru saja terjadi, karena aku sedikit-banyak tahu tentang seluk-beluk dunia virtual dan dilemanya.
Nah, dimana aku - dan Ryoichi - berada sekarang? Mudah menjawabnya. Ini adalah De-Elysium. Sesuai namanya, Elysium, tapi ini adalah versi kebalikannya. Di saat Elysium asli menawarkan hamparan kota megapolitan yang indah dan penuh kelap-kelip lampu neon, gedung pencakar langit yang indah, apapun yang bisa membuat penduduk betah disana, De-Elysium sebaliknya, hamparan kota megapolitan yang terbengkalai selama beberapa bulan. Ya, hanya beberapa bulan. Tapi faktanya, jika kalian mengira bahwa ini adalah dunia virtual lainnya, kalian salah besar.
Kalian belum menyadarinya? Oh, baiklah, kalian ingat saat - siapapun yang menyamar menjadi diriku itu - aku berkata bahwa Voidwalkers melakukan serangan DDOS pada server pemerintah kota Depok-53? Yang menyebabkan dunia digitalnya runtuh dan menghabisi kesadaran setiap orang yang berada di dalamnya?
Ya, inilah tempatnya. Kota Depok-53. Bukan Elysium mereka atau Elysium kota Neo Tokarta. Elysium milik Neo Tokarta sebenarnya aman-aman saja, aku hanya menyuruh Rendra dan Ayunda untuk mengunci sistem log in dan log out-nya agar tidak ada lagi korban berjatuhan. Sementara dunia virtual milik Depok-53 hancur total, tidak bisa diperbaiki ataupun dikunjungi lagi.
Kalian bingung? Tentu saja. Aku tahu benar bahwa bahkan sekelas Ryoichi saja tidak akan berpikir sejauh itu, dia bahkan tidak tahu menahu tentang serangan DDOS itu - kecuali seorang anggota Voidwalkers yang menyamar menjadi diriku memberitahukannya, tapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk menutupinya.
Sekarang kota Depok-53 dikuasai oleh Voidwalkers, lebih tepatnya empat dari lima belas petinggi mereka. Dua di antaranya aku kenali, Hawkwatch sang petinggi ketiga, dan Abispa sang petinggi kelima. Dan itu bahkan hanya kode nama mereka saja.
Mereka senang dengan yang namanya permainan. Karena itulah mereka membuat kota ini seolah-olah tempat itu adalah tempat peperangan di game-game FPS (First Person Shooter) tertentu, bahkan mereka sangat baik untuk memberikan avatar-avatar yang terjebak kekuatan tambahan, atau kemampuan khusus untuk mudahnya. Mereka juga yang membuat sistem Resurrection, setelah mati, para avatar itu bisa bangkit kembali. Limitnya sepuluh kali, dan untuk setiap limit yang hilang, sepuluh persen dari kesadaran avatar yang bersangkutan lenyap. Sepuluh kali mati? Permainan selesai. Kesadaran si avatar akan habis, dan orang aslinya akan meninggal di dunia nyata.
Dan untuk kota Depok-53 sendiri, tempat itu sebenarnya masih layak ditinggali, jika aku dapat berbaik hati mengirimkan bala bantuan untuk membersihkan semua mayat yang tergeletak disana. Tapi itu bukan masalah utamanya, melainkan para Voidwalkers. Aku dan wakilku, berserta Hiroshi-san, kami fokus ke itu dulu.
Dan itu sebenarnya adalah langkah yang paling tepat untuk dilakukan. Aku sangat, sangat membenci Voidwalkers. Begitu pula sebaliknya, Voidwalkers membenciku. Karena itulah sistem Resurrection mereka tidak bekerja padaku, atau lebih tepatnya, mereka tidak memberiku sepuluh kesempatan seperti yang lainnya.
Jika kalian bertanya-tanya, kenapa tidak ada semacam sambutan untuk diriku, itu karena kehadiranku disini bukanlah yang pertama kalinya. Yah, itu juga berarti aku pernah bertemu dengan Para Pemberontak dan Hawkwatch dan Abispa secara langsung. Soal kekuatan atau kemampuan khusus, aku tidak memerlukan itu. Aku memilikinya juga tanpa harus dibantu oleh organisasi jahat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica 1: Embrace The Future
Science Fiction"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...