"Ryo, kau yakin kau bisa melakukan ini?"
Aku menoleh, menatap Reiko lamat-lamat. Kami sudah hampir sampai di markas Voidwalkers. Menggunakan kendaraan terbang kami.
"Tentu saja."
"Bagaimana jika mereka berubah pikiran? Mereka tetap akan membunuhmu apapun yang terjadi?"
"Maka biarlah adanya. Setidaknya aku bisa mengulur sedikit waktu untuk kalian." Aku menjawab takzim.
Reiko menghela napas. "Kau tahu, aku mulai menyesal dengan keputusanku sendiri dengan menjadikanmu umpan."
"Benarkah?" Aku memiringkan kepalaku, tertawa kecil. "Beberapa detik lalu kau percaya diri dengan rencanamu, dan sekarang kau berubah pikiran."
"Aku tahu. Hanya saja, kau itu adikku. Aku tidak mau kehilanganmu."
"Tidak akan. Dan jika itu terjadi, kau berhak menendang peti matiku kuat-kuat, kalau perlu sampai hancur. Percayalah padaku."
Lengang.
Sebenarnya itu hanya gurauan, tapi mengatakannya membuatku berpikir banyak. Bagaimana jika aku benar-benar mati di tangan mereka? Bagaimana jika Reiko benar? Mereka tetap akan mencabut nyawaku tak peduli apapun yang terjadi setelah aku menjadi tawanan mereka juga?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berusaha menyingkirkan pemikiran itu. Menyisir rambut dengan jari, aku menghela napas pelan.
"Aku hanya bercanda. Dan sejujurnya, aku tidak mau mati. Tidak di tangan mereka, tidak sekarang."
Kakakku menoleh. "Jadi kau berubah pikiran?"
Aku menelah ludah sebentar, lalu menggeleng. Tidak. Sudah terlambat untuk mengatur ulang siasat.
"Kita tetap pada rencana."
Reiko menatapku bingung. "Kau bilang kau takut mati."
"Memang, tapi itu tidak mengubah niatku." Aku mengepalkan tanganku, cahaya biru neon keluar samar dari tinjuku. "Lagipula, mereka menginginkanku. Untuk alasan apapun. Akan kupenuhi keinginan mereka asalkan mereka mau melepaskan sandera-sandera mereka."
Aku berdecak pelan. "Tekadku sudah bulat, oneesan."
Reiko menghela napas. "Tetap saja, aku khawatir."
"Tidak perlu. Kita belum melakukan apapun yang dapat menggagalkan rencana kita." Aku tersenyum.
Kami berhenti di atas bangunan tinggi, dekat sekali dengan markas Voidwalkers.
"Ayolah. Percayalah padaku."
Aku mengulurkan tanganku, mengepalkannya hingga hanya jari kelingking yang tetap tegak.
"Trust me. Oneesan."
Reiko tersenyum, mengaitkan jarinya ke jariku.
"Kiwotsukete."
Aku mengangguk, melepas kacamata pengamanku. "Sampai jumpa di dalam."
Hap! Dengan percaya diri aku melompat dari atap bangunan. Jasku berkibar tinggi seiring dengan gerakan meluncurku yang lurus.
Dan mendarat dengan mulus di samping jalan-jalan yang penuh bongkahan bangunan.
"NOW ENTERING: SOUTHEAST DISTRICT"
Aku menatap marka jalan besar yang terpampang tepat di atas kepalaku. Distrik Tenggara, persis seperti yang Mas Gun katakan sebelumnya. Ternyata benda seperti itu masih bisa aktif tanpa adanya listrik.
Anehnya, suasananya sepi. Terlalu sepi.
"Aku mengharapkan adanya penyambutan atau semacamnya." Aku meletakkan kedua tanganku ke dalam saku celana. "Menyedihkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cybernetica 1: Embrace The Future
Science-Fiction"Selamat datang. Yakin kau memiliki keberanian dan keyakinan untuk membaca karya ini? Kalau ya, persiapkan dirimu." 2056, Neo Tokarta. Jakarta semakin canggih saja. Sekarang bahkan berani memadukan canggihnya peradaban Tokyo, melahirkan Neo Tokarta...