Hari ini adalah hari kembalinya para Pangeran Kuru setelah menempuh pendidikan bersama Drona.
"Putriku, apa kau sudah selesai?" Kunti memasuki kamar Nala dan mendapati Nala tengah menyisir rambutnya, Kunti pun mendekatinya dan membantu Nala menata rambut.
"Bu, apakah kakak akan melupakanku? aku takut mereka sudah tidak mengingatku." ucap Nala sambil menatap Kunti lewat cermin,
"Nak, mana mungkin mereka melupakanmu, aku yakin bahwa kau adalah hal pertama yang akan dilihat kelima kakak mu ketika mereka memasuki arena, kau tau? kecantikan dan keanggunanmu yang akan memberi mereka isyarat." Kunti berusaha menenangkan putrinya itu.
"Dan rambut indahmu itu yang akan menuntun angin sejuk agar senantiasa berhembus di kerajaan ini." terdengar suara gadis memasuki kamar Nala, ia adalah Dursala, "salam bibi,"
"Putriku Dursala, kau terlihat sangat cantik." puji Kunti sambil mengelus lembut pipinya,"
"Tuan putri Dursala, tuan putri Naladhipa, ibu ratu Kunti, pertandingan akan segera dimulai, dan kalian bertiga sudah ditunggu oleh Bisma yang Agung." salah satu pelayan memasuki kamar Nala sambil membawa beberapa perhiasan untuknya.
"Ibu aku tak mau mengenakan perhiasan itu, sangat berat bagiku jika harus mengenakan semua." protes Nala,
sebagai seorang putri kerajaan Nala memang diharuskan mengenakan perhiasan layaknya seorang putri,"kalau begitu pakai ini saja, itu adalah milik ibu Madri, dia menitipkannya padaku untukmu, jagalah mahkota ini, dan jangan sampai terlepas dari rambutmu." Kunti memasangkan sebuah mahkota yang sederhana namun terlihat sangat indah di rambut Nala.
-
Aswatama, anak dari guru Drona membidik anak panahnya dan nama yang keluar adalah kakakku, Sadewa.
"Yang pertama melawan pangeran Duryudhana adalah pangeran Sadewa dari Pandhawa!".
Tiba tiba terdengar suara elang yang sangat melengking, dari atas sana turunlah kak Sadewa, dengan kedua pedang ditangannya, ia berhasil mencuri hati semua orang dengan kedatangannya yang luar biasa.
Setelah pertarungan antara kak Sadewa, kak Nakula dan kak Yudhistira melawan kak Duryudhana, kini giliran kakakku, Bima. Dengan gada miliknya, ia mengguncang tanah dengan sekali hentakan, sepertinya benar kak Bima sudah tumbuh menjadi manusia terkuat. Aku yakin ia mampu dengan mudah mengalahkan anak tertua bibi Gandhari itu, namun karna sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh kak Bima membuatnya harus dikeluarkan dari arena.
"Selanjutnya adalah pangeran Arjuna!" teriak Aswatama.
Perasaanku tidak enak, melihatnya membidik anak panah ke arah pintu masuk, hatiku rasanya tak tenang. Benar saja, ketika kak Arjuna hendak memasuki arena, patung gajah di atas pintu masuk rubuh dan mengenainya,
"KAKAK!" teriakku, akupun terdiam sejenak, mencerna apa yang tengah terjadi, akupun berdiri hendak menghampiri reruntuhan itu, namun sebelum aku mengambil langkah ada sebuah anak panah mendarat tepat dibawahku. Itu anak panah kak Arjuna, akupun menghela nafas lega, namun air mataku sudah tak dapat ku bendung, rasa terkejut, senang dan bangga menjadi satu.
Dari balik reruntuhan, munculnya kak Arjuna, parasnya yang rupawan, badannya yang tegap dan berwibawa, dewa Indra telah memberi ibu anugrah yang luar biasa, seorang putra tertampan di daerah Arya.
Gada pangeran Duryudhana tak mampu melawan kehebatan busur kak Arjuna, kini Duryudhana telah dibekukan oleh busur kak Arjuna.
Tiba tiba sebuah busur melesa dan menghentikan kekuatan panah kak Arjuna,
"seorang pemanah yang melawan seorang pengguna gada adalah pengecut." terlihat pria asing memasuki arena pertarungan,
'siapa dia?' batinku heran.
"Siapa kau? lancangnya dirimu memasuki arena pertarungan?" teriak kakek Bisma dengan oktaf tinggi.
"Aku adalah Karna, putra kusir kuda kerajaan, Adirata!"
aku adalah Karna
aku adalah Karna
'Karna? kakak tertuaku? tidak, pasti ini hanya kebetulan.'
Karna adalah nama kakak tertuaku, anak tertua ibu. Aku segera menghampiri ibu, terlihat kerutan di wajah ibu, sepertinya ibu sedang gundah.
Duel antara kak Arjuna dan Karna tak terelakan, sampai Karna memunculkan perisai emas dari tubuhnya, melihat hal itu ibu langaung lemas, ia terus memanggil nama Karna dengan lirih, ia pun jatuh pingsan. Aku, beserta bibi Priyambadha segera membawa ibu ke kamarnya.
"Bu, bagunlah." aku sedikit mengguncangkan badan ibu yang kini tertidur lemas, tak berselang lama ibu pun membuka matanya perlahan,
"Karna, anakku."
itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut ibu, terlihat badan ibu yang gemetar, sambil meneteskan air mata ia terus menyebut nama Karna.
Ketika ibu hendak keluar menemui kelima kakakku, tiba tiba kak Bima datang dan menggendong ibu, "Aku akan menculikmu bu supaya aku menjadi yang pertama menyentuh kakimu." menyaksikan hal itu membuatku cukup lega,
"tapi untuk menyentuh kaki ibu kau harus menurukan ibu terlebih dahulu, kak." kak Sadewa pun turut memasuki kamar ibu, kak Bima pun menurunkan ibu di kursi, siapa sangka ketika kak Bima hendak menyentuh kaki ibu kak Sadewa melakukan roll depan, sehingga dia mendahului kak Bima menyentuh kaki ibu. Aku pun tersenyum melihat tingkah kedua kakakku itu, namun aku masih belum bisa melupakan Karna, aku masih belum bisa menerka nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Ada apa Keshwari? apa kau tak senang kakakmu kembali?" kak Bima memecah lamunanku, "tidak kak, aku hanya masih merasa canggung, karna kita sudah belasan tahun tidak bertemu." bohongku, sejujurnya aku sangat rindu dengan kelima kakakku dan ingin memeluknya sekarang juga. "Untuk apa kau merasa canggung adikku, kau adalah orang yang paling kita rindukan selain ibu." terlihat kak Yudhistira memasuki kamar ibu disusul oleh kak Arjuna dan kak Nakula. Aku segera menghampiri ibu dan kelima kakakku, mereka menyentuh kaki ibu dan memberi salam, "bagaimana kesehatanmu bu? aku dengar ibu jatuh pingsan tadi." terlihat raut kak Yudhistira yang terlihat khawatir. "ibu baik baik saja nak, melihat kalian semua ada disini membuat diriku menjadi lebih baik dari sebelumnya." aku pun memposisikan diri di sebelah kak Bima, "tapi kami kalah, bu." ucap kak Nakula sedikit lemas, "nak aku sama sekali tak mempermasalahkan itu, kalian telah memenangkan hatiku ketika kalian memasuki arena." Ibu pun mengelus pucuk kepala kak Nakula.
"Tapi tetap saja akulah pemenangnya," celetukku, "bukan kalian saja yang menjalani pelatihan, aku juga mengikuti pelatihan di Dwaraka bersama Dursala." aku sedikit menyombongkan diri, itu supaya mereka tau bahwa aku sudah tumbuh menjadi gadis yang kuat, sehingga aku tak memerlukan perlindungan orang lain lagi. "Memangnya tubuhmu itu kuat untuk sekedar mengangkat tombak?" remeh kak Bima, "hei, kalau tak percaya tanya saja ibu dan kakek, sebelum kalian aku sudah menunjukan kemampuanku didepan kakek dan ibu." aku melipat tanganku du dada, dengan nada sombong aku mengangkat sedikit ujung bibirku, "bahkan rakyat Dwaraka memanggilku dengan Kinangga'²'." merekapun tersenyum tipis, "rakyat Dwaraka memanggilmu seperti itu karna mereka tau kalau kau adalah ponakan dari raja Dwaraka, Sri Khrisna." kini kak Arjuna angkat bicara semua pun tertawa sambil menatap satu sama lain.
Aku sedikit mengerucutkan bibirku, walaupun menyebalkan tapi yang dikatakan kak Arjuna itu ada benarnya. "Nak, bolehkah ibu mengatakan sesuatu?" ibu bersuara menghentikan tawa kami, "tentu saja bu, katakan saja" kak Yudhistira mempersilahkan. "Ibu, sebenarnya, aku-" terlihat ibu terbata bata, aku tau apa yang akan dikatan ibu, sepertinya ibu akan menberi tau para Pandhawa mengenai siapa Karna sebenarnya. Namun ketika ibu hendak mengucapkan kalimat selanjutnya bibi Priyambadha berkata "sebenarnya ibu kalian sangat bangga dan bersyukur karna memiliki kelima putra yang sangat hebat dan berwibawa!" bibi Priyambadha mendapat tatapan tajam dari ibu.
ﻌﻌﻌﻌ
[²] Kinangga yang memiliki arti 'Dijunjung' / dihormati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naladhipa [Mahabharata fanfic]
Historical FictionKetika utusan sang dewi ditakdirkan untuk membantu Khrisna mengubah takdir setiap manusia guna menegakkan dharma, perang besar yang sangat berpengaruh bagi kehidupan selanjutnya. cover by canva @heyjaystudio