23. Kesepian

1.5K 213 55
                                        

Belasan novel romansa sudah kuberikan ke Bang Sabda, tapi sikapnya tetap sama, mulutnya nggak berubah lebih manis. Meski membaca semua novel itu, fokus Bang Sabda justru ke arah mengoreksi penulisan beberapa novel yang kuberikan, dan menertawakan keinginanku untuk mengalami cinta seperti di novel-novel.

Kemajuan sedikit yang kurasakan mungkin hanyalah kalimat terimakasih dan maaf yang dia ucapkan lebih panjang. Sementara itu, temanku satu persatu sudah bahagia dengan kekasihnya masing-masing. Bahkan Bila yang hubungannya juga masih abu-abu dengan Mas Iyan, kelihatan lebih mesra dan berbunga-bunga.

Aku bukannya iri, tapi merasa lebih terasing sendirian. Kesepian.

"Kamu beneran nggak jadian Bil?" Aku mempertanyakan perhatian Mas Iyan ke Bila lewat telepon yang barusan kudengar. Kami kebetulan sepanggung lagi di Bandung, sekarang sedang sama-sama bersiap di ruang make-up.

Mas Iyan saat ini pergi keluar sebentar, mengambilkan pesanan kue Bila di salah satu bakery rumahan yang sedang viral di Bandung, dan hanya melayani pesanan pre order. Andaikan itu Bang Sabda, yang harus membelikanku kue, sudah pasti dia akan ngomel dan ngeluh nggak jelas, tapi Mas Iyan dari tadi malah terus menelepon dan menawarkan makanan-makanan lain. Nada suaranya juga sesekali khawatir karena nggak bisa ada di samping Bila. Padahal dia pergi belum lama, baru setengah jam lalu.

How sweet!

Aku memandang berkeliling dan memang nggak akan mendapati sosok Bang Sabda. Saat ini, laki-laki itu mungkin sedang repot memeriksa file grafis untuk background panggung selama aku nyanyi. Katanya file yang sudah disiapkan itu tiba-tiba corrupt.

Bagaimana aku bisa iri dan protes kalau begini, Bila mungkin mendapat Mas Iyan yang memberikan semua keinginannya, tapi aku harusnya bersyukur punya Bang Sabda yang memastikan semua kebutuhanku terpenuhi.

Bila baru menjawab pertanyaanku setelah selesai menyimpan ponselnya ke dalam tas. "Nggak, aku sama Mas Iyan ya masih gini-gini aja sih Ta. Tapi nggak papa, pacaran kan cuma status yang nggak pasti juga. Yang penting kan sama-sama saling sayang."

Aku meringis mendengarnya, kembali mendapat bahan bakar untuk membandingkan. Bila dapat kepastian soal perasaannya, tapi aku?

Aku : dimana?

Bang Sabda : bentar, ini masih bikin background baru

Aku : bisa? kalau nggak nutut udah nggak usah. polosan aja layar hitam

Bang Sabda : bisa

Aku : oke, makasih ❤️

Aku menghela napas menunggu balasan pesan terakhir, sampai lima menit berlalu emoji hati itu nggak ditanggapi apapun.

Bang Sabda sibuk! tegasku dalam hati.

***

Selesai perform dan makan bersama seluruh tim, malam sudah semakin larut. Aku jadi urung mengajak Bang Sabda mencari wedang ronde sebelum kembali ke Jakarta.

Kami langsung pulang, melewati jalanan tol yang cukup lengang. "Bang."

"Hmm."

"Bang Sabda nggak ngerasa kesepian selama ini?" Pertanyaanku berhasil membuatnya menengok. Sekilas ada ekspresi kaget yang kutangkap. Tapi dia tetap menjawab yakin setelah diam merenung beberapa saat.

"Kalau udah seumuranku kamu mungkin paham rasanya. Nggak bahagia tapi juga nggak sedih, nggak kesepian tapi juga nggak punya pasangan, hidup cuma buat menjalani hidup."

Pemikirannya lagi-lagi susah kuterima, padahal dari penjelasannya terdengar cukup sederhana.

"Oh gitu." Aku malas menanggapinya lebih jauh, karena merasa kami sedang berdiri di dua tempat yang berbeda. Memandang dari sisi arah yang bertentangan.

***

Puluhan hari berikutnya, aku terperangkap di lingkaran kebingungan. Tiba-tiba nggak tahu lagi rasanya bahagia saat di atas panggung, berapapun banyaknya jumlah penonton yang melihat dan ikut bernyanyi, rasanya tetap sunyi.

Aku juga nggak bisa merasakan sedih, marah atau kecewa ketika beberapa media membanding-bandingkanku dengan beberapa penyanyi lain. Menarasikan karya-karyaku mengalami stagnansi, nggak berkembang karena selalu berada di zona nyaman.

"Nggak usah buka sosmed dulu lah, urusan posting biar aku yang handle." Bang Sabda pasti merasa perlu menyelamatkanku dari tekanan, padahal aku hanya merasa kekosongan.

"Fine," jawabku ringkas.

Dia kemudian mengira aku butuh pengalihan agar lebih santai menjalani rutinitas, Bang Sabda lalu memberiku daftar pekerjaan-pekerjaan sementara yang cukup berbeda dari biasanya. Salah satunya menjadi co-host acara bincang pagi, dimana aku harus membawakan segmen 'Make Your Own Music'. Menjelaskan ke para penonton yang segmentasinya didominasi ibu-ibu muda, tentang bagaimana cara membuat musik dari alat sederhana.

Walaupun mirip seperti guru TK, saat memeragakan tutorial membuat gitar dari piring kertas dan karet gelang ataupun membuat maracas dari bekas botol minum yang diisi beras. Tapi ternyata aku cukup menikmati pekerjaan itu.

Dari situ pula aku menemukan konten-konten Irzha saat sedang mencari referensi, vokalis band Mahadewa itu secara random membahas life hacks ala bapak-bapak di channel youtubenya. Akunnya relatif masih sepi dan jauh dari hingar bingar musik yang selama ini membuat namanya besar.

Aku diam-diam menyimpan kekaguman, mengisi kekosongan diriku dengan sosoknya di panggung maupun hidup sederhananya yang terekam di video yotube.

Bang Sabda mungkin tahu, tapi dia membiarkanku jadi fans yang cukup loyal untuk Irzha. Aku semakin sering menonton Irzha di sela-sela jobku yang padat, dan kuliah onlineku yang segera berakhir.

"Ta, mau nonton Irzha? di SCBD."

"Yuk." Aku menyambut antusias ajakan Bang Sabda.

Kala itu, sama seperti di panggung-panggung sebelumnya yang kudatangi. Aku nggak ragu berdiri di tengah desak penonton, ikut berteriak menyanyikan lagu-lagu Mahadewa. Beberapa kali mukaku tersorot dan ditampilkan di layar besar. Membuat sekitarku berteriak heboh.

Bang Sabda tetap tenang melihatku yang setengah panik karena ketahuan sedang fangirling. "Just chill, enjoy the music," bisiknya meyakinkan. Aku jadi bisa melupakan nama panggungku sendiri, pelan-pelan menikmati diriku yang bebas dan menemukan lagi rasa damai.

Suara Irzha lamat-lamat menarikku dari lubang hitam mencekam bernama kesepian, dia menyanyikan lagu milik Once-Kucinta Kau Apa Adanya.

Setiap kata yang ikut kulantunkan terselip niat untuk selalu bertahan dan kuat.

Aku cinta kamu Titah, ayo terus hidup. Jangan menyerah!

Aku menyadari bahwa yang terpenting dari fase hidup kali ini, adalah dengan membuktikan bahwa aku mampu mencintai diriku sendiri.

Bang Sabda masih di sebelahku, mengawasi dalam diamnya.

***

Part ini dipersembahkan untuk pembaca seusia Titah yang berusaha tumbuh menjalani hidup dengan baik 🌼

Selanjutnya, mau kasih sesuatu untuk pembaca seusia Sabda, kalian butuh diapresiasi seperti apa teman-teman? tolong kasih tahu aku ya, apa yang kalian inginkan 🙏✔️

Semoga bahagia dan selalu menikmati kisah SABDA-TITAH ✨

Terimakasih masih setia baca sampai sejauh ini 📖

SABDA TITAH (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang