14. Mabuk Buku

1.1K 177 45
                                    

Politik Kuasa Media, Bayang-bayang Tuhan; Agama dan Imajinasi, Sufi Psychology, What Great Brands Do, sampai Fiqih Zakat Kontemporer adalah buku-buku yang dibaca Bang Sabda bulan ini. Aku terseok-seok mengikuti bacaannya, padahal ingin selalu berhasil menghabiskan semua isi buku yang sama, agar Bang Sabda menganggapku pintar dan cocok sebagai pasangan diskusinya.

Ya, ujung-ujungnya duniaku berputar lagi ke laki-laki itu.

Batas professional makin mengabur, akupun lebih susah melupakan perasaan sayang itu ketika mulai mengakrabi dunia pribadi Bang Sabda. Semua bermula dari orang tua Bang Sabda yang mengundang kami makan siang di rumah mereka saat kami senggang.

Sekasual apapun Bang Sabda menghadapiku saat itu, aku tetap menganggapnya istimewa.

Cinta emang norak kan?

Kunjungan itu memperlihatkanku ruang tumbuh Bang Sabda dari kecil sampai remaja. Rumahnya yang ada di pinggiran Jakarta, mirip seperti rumahku. Penuh buku.

Apalagi kamarnya, aku memaksa sholat dzuhur di kamar Bang Sabda dan melihat langsung betapa gilanya dia pada buku-buku. Dua lemari besar, meja, sampai kasur penuh tumpukan buku.

Bang Sabda tidur dimana ya kalau lagi ke sini?

Apa kamar kosnya di Jakarta juga penuh buku ya? duh, jadi pengen deh main ke sana.

Sebenarnya aku juga suka baca, tapi ternyata masih nggak sebanding dengan Bang Sabda. Secara selera bacaan jelas kalah, Bang Sabda punya semua jenis buku. Sementara aku selama ini cuma baca buku-buku populer.

Dan hal sekeren juga se'seksi' ini bisa disembunyikan Bang Sabda dengan sangat baik. Dia nggak terlihat seperti kutu buku yang sok pintar. Bang Sabda juga nggak pernah mengutip buku atau terlihat membawa bawa buku sejauh ini.

Apa Bang Sabda nganggep aku nggak punya kapasitas ya buat diajak bahas buku?

Besok pokoknya aku harus bawa buku dan baca di depan dia.

Begitulah tekadku, lalu sejak momen itu sampai hari ini, aku selalu bertanya dia sedang baca apa, agar aku bisa langsung beli buku yang sama. Bang Sabda sangat menyadari aku sedang mencari perhatiannya, dia hanya santai tertawa dan mengatakan sesuatu yang sialnya makin menebalkan harapanku. "Kamu fomo (fears of missing out-takut ketinggalan) bacaanku ya? Nggak papa. Walau cuma ikut-ikutan dan nggak tentu paham, yang penting ada effort-nya buat belajar."

Padahal aku nggak beneran tulus mau belajar. Aku mau Bang Sabda lihat aku sebagai perempuan yang setara buat dijadiin pasangan hidup. Bukan cuma adik!

Ingin sekali kuteriakkan kalimat itu langsung ke telinganya.

***

Selasa pagi, aku nggak ada jadwal kerja. Jadi yang kulakukan adalah mengintil Bang Sabda ke tempat cuci mobil. Untuk pertama kalinya aku melihat Bang Sabda membaca buku di depanku. Judul buku minggu ini yang belum diselesaikannya yakni Fiqih Zakat Kontemporer.

Ganteng banget kalau lagi serius baca!

Andai bisa berlama-lama menikmati pemandangan wajah gantengnya itu. Tapi demi kesan bagus, aku akhirnya ikut mengeluarkan buku dari dalam tas dan mulai membaca. Catatan Seorang Demonstran, buku yang dipinjamkan Bang Sabda berbulan-bulan lalu setelah aku mengomel di tengah kemacetan akibat demo.

Buku ini memang kumpulan catatan harian, tapi penulisnya-Soe Hok Gie adalah seorang intelektual muda sekaligus aktivis yang punya keberanian besar mengkritik keadaan politik, budaya, sampai ekonomi Indonesia pada masanya.

Koko Gie, tulisanmu memang luar biasa.

Dengan seenaknya kusematkan panggilan Koko (kakak laki-laki dalam bahasa Tionghoa) pada sang penulis buku, sangking aku merasa sudah begitu terikat lewat tulisan-tulisanya.

Jujur, aku merasa susah menamatkan buku ini karena terlalu banyak hal yang membuatku berpikir dan merenung saat membacanya.

Beberapa kali aku meneteskan air mata, karena ikut membayangkan rasa kesepian yang dihadapi Koko Gie sebab dia selalu berseberangan dan melawan penguasa sendirian, cuma segelintir orang yang setia menjadi teman dan membersamai perjuangannya. Kulirik sebentar Bang Sabda, aku membayangkan kalau harus kehilangan sosoknya sekarang. Jangan sampai Bang Sabda pergi dari dunia ini sama cepatnya dengan Koko Gie.

Aku menggelengkan kepala cepat, kuusir semua pikiran liar yang sempat singgah. Sepertinya, lebih baik aku mengganggu Bang Sabda dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membantu mengalihkan kegundahanku.

"Bang Sab."

"Hmm."

"Bang Sabda kan lulusan desain, terus sekarang kerja jadi manajer penyanyi. Dunianya baik dulu atau sekarang, harusnya jauh dari buku. Tapi kenapa suka baca?"

Aku tahu pertanyaanku aneh, ketertarikan pada bacaan atau buku nggak ada hubungannya sama sekali dengan profesi atau latar belakang pendidikan. Aku sengaja menanyakan itu biar Bang Sabda kesal saja.

Dia cuma mengangkat sebelah alis sebelum menjawab. "Salah satu mantanku ada yang chef, hidupnya sibuk ngurusin masakan. Tapi dia tetep suka baca dan punya banyak buku."

Rese!

Bang sabda malah berhasil membalik keadaan, dan aku justru yang kesal setengah mati.

"Mantan? ih, kok bahas-bahas mantan sih. Bang Sabda masih belum move on ya? mantan terindah ya? putus kapan? putus karena apa?"

Dia cuma diam, melanjutkan membaca.

"ADUH" Umpatan itu keluar dari mulutnya begitu aku menginjak kaki Bang Sabda kuat-kuat. "Kamu kebiasaan deh lama-lama Ta, nyerang fisik. Aku nggak suka ya."

"Mangkanya jangan bikin kesel. Bahas-bahas mantan segala."

"Ya kamu ngapain kesel."

"Pokoknya Bang Sabda nggak boleh bahas perempuan lain. Bang Sabda nggak boleh sama perempuan lain. Bang Sabda punyaku."

"Heh bocil, kamu tuh lagi baca Catatan Seorang Demonstran tapi masih aja ribet sama percintaan. Mestinya sekarang pikiran kamu melek soal politik negara, kondisi rakyat, keadilan sosial, bukannya cemburu nggak jelas."

"Najis, siapa juga yang cemburu."

Kubuka lagi buku Koko Gie, setelah melangkah pindah ke bangku lain yang jauh dari tempat Bang Sabda duduk.

Aku malu karena kelepasan cemburu nggak terkendali. Padahal susah payah kubangun image sebagai perempuan dewasa berwawasan luas. Semuanya rusak karena satu kata laknat.

MANTAN.

***

"Kamu ngapain kesel sih, kan mantan."

Aku cuma melirik Bang Sabda yang sedang menyetir. Kami sudah keluar salon mobil, dan sekarang menuju ke Kosanku.

"Ntar malem mau ikut aku nggak?"

"Kemana?"

Duh, kecepetan Ta jawabnya.

Bang Sabda tersenyum singkat, dia berhasil memancingku keluar dari kemarahanku sendiri.

"Belajar kritis dari pertunjukan. Awas ya, kalau nanti kamu malah salfok baper lagi."

"Nonton teater?" Aku sudah membayangkan kencan romantis pertama kali dengan Bang Sabda.

"Nonton konser ERK di Ancol."

Efek Rumah Kaca (ERK), aku sudah hafal semua lagunya sejak tahu Bang Sabda suka band ini.

What a beautiful night

"Tapi habis ini kamu beresin ya revisi voice offer buat endorsment sebelum aku jemput siang nanti buat pemotretan sama spotify."

Oke, bangun dari mimpi Ta, urusan sama Bang Sabda itu emang selalu tentang kerjaan. Nggak usah ngarep lebih.

***

Ada yang udah baca buku Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie?

SABDA TITAH (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang