aku baik baik saja.. (end)

109 13 0
                                    

Jimin terbangun dari tidurnya, cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai yang setengah tertutup. Dia merasakan sakit yang menyengat di sekujur tubuhnya, tetapi lebih dari itu, hatinya terasa hampa. Kenangan akan Yoongi dan Seokjin melintas dalam pikirannya. "Kau di mana, Yoongi?" Jimin bergumam pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Dari ruangan sebelah, terdengar suara langkah kaki. Jimin menguatkan hatinya dan mencoba berdiri, meski tubuhnya terasa lemah. Dia menyentuh perutnya, merasakan janin yang tumbuh di dalamnya. "Aku harus kuat," ujarnya, berharap suara itu memberi semangat pada dirinya.
"Jimin, kau bangun?" suara Yoongi terdengar dari luar pintu. Jimin terdiam, merasa terjebak dalam kerinduan dan kemarahan.
"Ya, sebentar," jawab Jimin, berusaha menyembunyikan nada sakitnya. Dia merapikan rambutnya dan menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu.
Yoongi berdiri di depan pintu, wajahnya tampak cemas. "Kau terlihat pucat. Apa kau baik-baik saja?" tanyanya, melangkah masuk.
Jimin tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."
Yoongi mengangguk, tetapi tatapannya penuh keraguan. "Aku akan mengantar kau ke rumah sakit nanti. Kita perlu memeriksakan keadaanmu dan bayi."
Jimin menahan napasnya. "Bayi?" Dia berpura-pura tidak tahu, padahal hatinya bergejolak. "Mengapa kau begitu perhatian, Yoongi? Bukankah kau sibuk dengan Seokjin?"
Yoongi terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi kelam. "Aku... aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja."
"Baiklah," Jimin menjawab, berusaha menahan air mata yang mengancam. "Tapi kau tidak perlu khawatir tentang aku."
***
Seokjin mengamati Yoongi dari jauh. Ada sesuatu yang tidak beres. Setiap kali Yoongi pergi mengunjungi Jimin, ada keraguan yang menggelayut di hatinya. "Apa yang kau lakukan, Yoongi?" dia berbisik pada dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk mengikuti suaminya pada suatu sore.
Dengan hatihati, Seokjin menyusuri jalan setapak menuju vila tempat Jimin tinggal. Jarak yang tidak terlalu jauh membuatnya bisa sampai di sana dengan cepat. Namun, ketika sampai, dia terkejut melihat Yoongi dan Jimin duduk bersama di teras, berbicara dengan lembut.
"Jimin, aku merindukanmu," suara Yoongi lembut, tetapi ada sesuatu yang menyakitkan dalam nada itu.
Jimin menunduk, lalu mengangguk pelan. "Aku juga merindukanmu, Yoongi. Tapi... kau sudah bahagia bersama Seokjin."
Seokjin tertegun. Hatinya bergetar mendengar percakapan itu, tetapi dia tidak bisa mendengar lebih jauh. Dia mundur dan berlari kembali ke rumah, perasaannya campur aduk.
***
Dua bulan berlalu, Jimin merasakan perutnya semakin membesar. Setiap kali Yoongi datang, dia berusaha tersenyum, tetapi hatinya semakin berat. Dia merasa menjadi bayangan dalam hidup suaminya. "Apa yang akan terjadi pada kita, Yoongi?" dia bertanya suatu malam.
Yoongi duduk di sampingnya, mengelus perut Jimin. "Aku akan selalu ada untukmu, Jimin. Jangan pikirkan yang lain."
"Dan Seokjin?" suara Jimin menggigil. "Dia tidak tahu aku masih hidup."
"Aku akan menjelaskan semuanya," Yoongi berjanji, tetapi Jimin merasakan keraguan dalam suara itu.
***
Seokjin merasa terasing. Dia merasakan ketegangan dalam hubungan mereka, terutama ketika Yoongi semakin sering mengunjungi Jimin. "Kau harus memberi tahu aku jika ada yang tidak beres," katanya suatu malam, ketika mereka berdua duduk di sofa.
Yoongi tersentak. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Jin. Aku mencintaimu."
"Tapi aku melihatmu bersama Jimin. Dia... dia bukan hanya teman, kan?" Seokjin menatap suaminya dengan tatapan tajam.
Yoongi mengalihkan pandangan. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."
"Atau mungkin kau masih mencintainya?" tanya Seokjin, suaranya bergetar.
"Aku mencintaimu, Jin. Hanya kau," Yoongi berusaha meyakinkan, tetapi Seokjin merasakan ada yang tidak jujur.
***
Harihari berlalu, dan Jimin semakin merasakan kesakitan. Dia tahu waktu tidak berpihak padanya. Suatu sore, saat Yoongi datang, Jimin memutuskan untuk berbicara.
"Yoongi, aku ingin kau tahu sesuatu," Jimin memulai, suaranya bergetar. "Aku sakit, dan dokter bilang aku mungkin tidak selamat jika melahirkan."
Yoongi tertegun, wajahnya memucat. "Jimin, jangan bilang begitu. Kita akan mencari solusi."
"Aku tidak ingin kau merasa tertekan. Aku hanya ingin kau bahagia, bersama Seokjin," Jimin menatap dalam-dalam ke mata Yoongi. "Kau harus melanjutkan hidupmu."
"Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi," Yoongi berkata tegas, tetapi Jimin bisa melihat ketidakpastian di matanya.
***
Saat Jimin mencapai bulan kesembilan kehamilannya, rasa sakit semakin menjadi. Dia tahu saatnya semakin dekat. Dia merasakan kehadiran Seokjin yang semakin mengganggu, meskipun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Suatu malam, saat Jimin terbaring di ranjang, dia mendengar suara langkah kaki yang cepat. "Jimin!" teriak Seokjin, masuk ke dalam ruangan. "Kau tidak baik-baik saja, kan?"
"Seokjin, ini bukan waktu yang tepat," Jimin berusaha menenangkan. "Aku ingin itu menjadi rahasia."
Seokjin menggeleng. "Tidak ada rahasia di antara kita. Aku akan membantumu, Jimin."
"Jangan!" Jimin berteriak, "Kau tidak mengerti! Ini adalah hidupku!"
Tetapi Seokjin tidak mundur. "Aku tidak peduli. Kau adalah keluargaku."
***
Ketegangan memuncak saat Jimin merasakan kontraksi pertamanya. "Yoongi! Tolong, aku butuh kau!" Dia berteriak, meringkuk di ranjang.
Yoongi berlari masuk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Jimin, apa yang terjadi?!"
"Aku akan melahirkan!" Jimin mengerang, merasa sakit yang tak tertahankan. "Tolong, aku ingin kau di sini."
Yoongi bergegas memanggil bantuan, dan dalam beberapa menit, dokter masuk dengan perawat. Jimin merasakan semangatnya menurun, tetapi dia berusaha untuk tetap kuat.
"Jimin, fokus pada suaramu," kata dokter, berusaha menenangkan.
"Yoongi!" Jimin berteriak, meraih tangan suaminya.
"Aku di sini, Jimin. Selalu di sini," Yoongi berjanji, berusaha menguatkan.
***
Seokjin berdiri di luar ruangan, hatinya berdebar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. "Kau harus tahu, Jimin," dia berbisik pada dirinya sendiri. "Aku akan selalu berada di sisimu."
Ketika suara tangisan bayi terdengar, Seokjin tidak bisa menahan diri. Dia melangkah masuk, melihat Jimin yang lemah tetapi tersenyum. "Kau sudah melahirkan, Jimin," katanya, air mata mengalir di pipinya.
"Seokjin, ini adalah anakku," Jimin berkata lemah, "Namanya Min Jiseok."
"Aku... aku akan menjaga Jiseok," Seokjin berjanji, tetapi hatinya terasa hancur melihat Jimin yang semakin lemah.
***
Setelah proses melahirkan, Jimin terbaring lemah di ranjang. Yoongi dan Seokjin berada di sisinya, tetapi Jimin merasakan kegelapan mendekat. "Aku ingin kalian berdua bahagia," dia berbisik, suaranya hampir tidak terdengar.
"Jimin, jangan bicara seperti itu," Yoongi menangis, wajahnya penuh penyesalan. "Aku mencintaimu."
"Dan aku mencintaimu, Jimin," Seokjin menambahkan, air mata mengalir deras. "Tapi kita harus bertahan bersama."
"Maafkan aku," Jimin berkata, "Hiduplah dengan bahagia untukku. Jaga Jiseok." Dia meraih tangan mereka, menggenggam erat.
"Jimin, jangan pergi," suara Yoongi patah. "Aku tidak bisa kehilanganmu."
Jimin tersenyum lemah. "Bahagialah untukku." Dengan itu, dia menutup matanya dan menghembuskan napas terakhirnya.
***
Yoongi dan Seokjin saling menatap, rasa kehilangan menyelimuti mereka. Mereka berdua berjanji untuk menjalani hidup dengan bahagia demi anak mereka, Min Jiseok. Namun, di dalam hati mereka, ada kekosongan yang takkan pernah terisi.
"Terima kasih, Jimin," Seokjin berbisik, "Kami akan menjaga Jiseok dan menghormati semua yang kau berikan."
Sementara itu, di tempat yang lebih baik, Jimin tersenyum, merasakan kedamaian yang telah lama hilang. "Bahagialah untukku," dia berbisik dalam hati, mengetahui bahwa cintanya akan terus hidup melalui anak yang dia tinggalkan.

Kumpulan Oneshot(Yoonmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang