Lila menutup pintu kamarnya pelan-pelan, menghela napas panjang. Hari ini adalah hari yang melelahkan, tapi itu bukan karena banyaknya pekerjaan. Lebih karena suasana di rumah ini yang terasa berat dan dingin. Meski sudah beberapa minggu bekerja sebagai asisten pribadi Adrian, pria itu masih saja bersikap dingin dan menjaga jarak. Seolah Lila adalah angin yang tak perlu dia perhatikan.
Dia berjalan ke ruang tamu, dimana Adrian duduk sendirian di sofa. Pria itu tengah memandangi layar TV dengan ekspresi datar, seperti tidak benar-benar menikmati apa yang dilihatnya.
Lila menarik napas dalam-dalam dan mendekati Adrian. "Tuan Adrian, ada yang bisa saya bantu? Mungkin teh hangat atau kopi?" tanyanya dengan nada lembut.
Adrian hanya melirik Lila sebentar tanpa mengubah posisi duduknya. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja," jawabnya pendek, lalu kembali menatap layar TV.
Lila sedikit terdiam. Dia sudah terbiasa dengan sikap dingin Adrian, tapi tetap saja rasanya sulit untuk benar-benar tidak merasa diabaikan. "Baik, kalau begitu. Jika ada yang Anda butuhkan, saya ada di dapur," kata Lila pelan, sebelum beranjak pergi.
---
Beberapa Menit Kemudian - Dapur
Lila menuangkan air panas ke dalam cangkir teh untuk dirinya sendiri. Dia menyandarkan punggungnya ke meja dapur, mencoba meredakan rasa lelah yang tiba-tiba menyergap. Bekerja untuk Adrian ternyata jauh lebih sulit dari yang dia bayangkan, bukan karena tugas-tugas fisik, tapi karena pria itu seperti membangun tembok yang tinggi antara mereka.
Sebelum sempat dia mengambil tegukan teh, langkah berat terdengar dari arah ruang tamu. Lila menoleh dan melihat Adrian masuk ke dapur dengan tatapan kosong.
"Teh hangat tadi... mungkin aku butuh sekarang," katanya pelan, nadanya masih dingin tapi sedikit berbeda dari biasanya. Seolah dia mencoba, meski enggan, untuk memberi sedikit ruang.
Lila sedikit tersenyum dalam hati, meski wajahnya tetap netral. "Tentu saja, saya segera siapkan," jawabnya sambil mengambil cangkir lain. Teh chamomile favorit Adrian, dia tahu itu.
Adrian duduk di kursi dapur, menunggu tanpa bicara. Tatapan matanya tetap kosong, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat Lila menyajikan teh itu di depannya, dia hanya menatap cangkir tersebut tanpa segera menyentuhnya.
"Teh Anda, Tuan," kata Lila lembut, berharap bisa sedikit mencairkan suasana.
"Terima kasih," jawab Adrian singkat, akhirnya meraih cangkir itu. Tapi meski dia menerima teh itu, Lila masih merasakan jarak yang besar di antara mereka.
Sambil menyesap teh, Adrian akhirnya berbicara lagi. "Lila, kamu tidak perlu terlalu repot-repot melayaniku setiap saat. Aku bisa mengurus diriku sendiri."
Lila terdiam sejenak, mencoba mencari cara terbaik untuk merespons. "Saya di sini untuk membantu, Tuan Adrian. Bukan hanya karena ini pekerjaan saya, tapi juga karena saya ingin membuat Anda lebih nyaman."
Adrian mendesah pelan, seolah tidak puas dengan jawaban itu. "Mungkin, tapi aku tidak butuh perhatian seperti itu. Aku lebih suka kalau semuanya tetap seperti ini—jarak di antara kita."
Lila merasakan dadanya sedikit sesak mendengar kata-kata itu. "Saya mengerti, Tuan. Tapi jika suatu hari Anda butuh seseorang untuk bicara atau berbagi beban, saya siap mendengarkan."
Adrian terdiam lama, menyesap tehnya tanpa menatap Lila. "Aku tidak butuh bicara," katanya akhirnya, dengan nada yang lebih dingin dari sebelumnya. "Orang-orang biasanya hanya mengganggu."
Lila menelan ludah, mencoba tetap tenang meski rasanya sulit. "Saya tidak ingin mengganggu, Tuan. Saya hanya ingin membantu."
Adrian mengangkat pandangannya, menatap Lila dengan tatapan tajam. "Dan aku bilang, aku tidak butuh bantuan lebih dari yang sudah kamu lakukan. Cukup lakukan tugasmu, jangan berusaha lebih."
Kata-katanya terasa menusuk, tapi Lila tidak membiarkan dirinya terluka. Dia tahu Adrian memiliki beban yang tidak ia ceritakan, dan mungkin butuh waktu lama untuk pria itu bisa membuka diri. "Baik, Tuan Adrian. Saya akan menghormati keinginan Anda," katanya pelan, sambil berbalik untuk keluar dari dapur.
---
Malam Hari.
Lila duduk di tepi ranjangnya, memandangi cangkir teh yang sudah dingin di atas meja. Pikirannya melayang pada interaksinya dengan Adrian hari ini. Seberapapun dia mencoba, Adrian selalu tampak seperti tembok besar yang tak bisa dia tembus. Lila bukan tipe orang yang mudah menyerah, tapi saat ini rasanya sulit.
Kamar Adrian ada di lantai atas, tapi Lila bisa mendengar langkah-langkah beratnya dari bawah. Sepertinya dia masih terjaga. Mungkin masih memikirkan hal-hal yang membebani pikirannya.
Lila menarik napas panjang dan mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin bukan sekarang saatnya Adrian terbuka. Mungkin dia butuh waktu lebih lama lagi. Tapi Lila yakin, dengan kesabaran dan ketekunan, tembok Adrian perlahan akan runtuh.
---
Keesokan paginya, Lila bangun lebih awal seperti biasa. Saat dia keluar dari kamarnya, Adrian sudah duduk di meja makan dengan kopi di tangan. Wajahnya masih datar seperti biasa, tanpa ekspresi.
"Selamat pagi, Tuan Adrian," sapa Lila sambil menata meja.
Adrian hanya mengangguk sedikit sebagai balasan. Tidak ada obrolan pagi yang hangat, tidak ada senyum, hanya kesunyian yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi Lila tahu, itu tidak akan selamanya seperti ini. Di balik sikap dingin Adrian, dia bisa merasakan ada sesuatu yang pria itu sembunyikan. Mungkin luka lama, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam lagi. Dan suatu hari, jika dia cukup sabar, mungkin Adrian akan mulai mempercayainya.
Untuk saat ini, dia hanya bisa melakukan yang terbaik—melayani, mendengarkan, dan menunggu.
Lila memulai hari dengan semangat baru. Dia ingin membuat kesan baik di hati Adrian, tuannya yang masih sangat dingin dan sulit dihadapi. Setelah menyiapkan semua bahan dan memasak bubur ayam dengan penuh perhatian, Lila membawa nampan sarapan ke ruang makan.
Adrian duduk di kursi roda di tengah ruangan, tampak sibuk dengan beberapa buku yang berserakan di meja di depannya. Saat Lila mendekat, Adrian melirik sekilas tanpa banyak minat. “Tuan Adrian. Saya sudah menyiapkan sarapan.
Adrian hanya melirik bubur ayam di nampan dengan ekspresi datar. “Aku tidak minta sarapan. Kalau bisa, aku lebih suka kopi, dan itupun jika ada waktu.”
Lila mencoba tetap tenang meski sedikit kecewa. “Tuan, saya sudah menyiapkan bubur ayam ini untuk anda, Ini adalah salah satu hidangan favorit saya, dan saya ingin Anda mencobanya.”
Adrian mendengus, tampak agak jengkel. “Aku tidak punya waktu untuk sarapan.
Lila tidak menyerah. “Saya mengerti, Tuan. Tapi sarapan ini bisa memberi energi tambahan untuk Anda. Coba saja, siapa tahu Anda akan menyukainya.”
Dia menaruh nampan di meja, berusaha tersenyum meski Adrian masih terlihat tidak peduli. “Tolong, cobalah sedikit. Jika Anda tidak suka, saya tidak akan mengganggu Anda lagi.”
Adrian memandang bubur ayam dengan tatapan skeptis, lalu membuka mulut menerima suapan dari lila dan mencicipi sedikit. “Hmm, rasanya tidak terlalu buruk. Tapi aku tetap tidak merasa lapar.”
Lila merasa sedikit lega meski Adrian masih tidak menunjukkan antusiasme. “ aku Senang mendengar nya . Tapi cobalah beberapa suap lagi.
Adrian mengangkat alis, tampak terkejut dengan kualitas makanan yang disajikan meski tetap dingin. “Baiklah. Aku rasa ini sudah cukup untuk pagi ini.”
Lila tidak memaksa lagi dan membersihkan meja dengan cepat, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa frustrasinya. “Tuan, jika ada sesuatu yang perlu saya lakukan, panggil saja.
Sambil membereskan nampan dan peralatan makan, Lila memutuskan untuk memberi Adrian ruang, berharap bahwa usaha kecil ini bisa perlahan-lahan membuka hati Adrian. Meskipun hubungan mereka masih canggung dan Adrian belum sepenuhnya menerima kehadirannya, Lila bertekad untuk membuat hari-harinya lebih baik, satu langkah kecil pada satu waktu.
Adrian, setelah selesai makan, melanjutkan bacanya dengan sedikit lebih tenang, mungkin karena sarapan yang disajikan Lila. Meskipun masih dingin, tampaknya dia mulai menghargai usaha yang dilakukan Lila.
Lila melanjutkan tugas-tugasnya dengan penuh semangat, berharap bahwa ketekunan dan perhatian kecilnya akan membuat perbedaan dalam jangka panjang.
**TBC**
![](https://img.wattpad.com/cover/376607037-288-k533717.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengasuh Tuan Lumpuh
Short Story--- Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng pegunungan , hidup seorang gadis bernama Lila. Kehidupannya sederhana, penuh dengan keheningan desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan pepohonan yang rimbun. Tak pernah terbayang olehnya, bahwa...