Fajar mulai menampakkan sinarnya, cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela kamar Adrian, menyorot pelan wajahnya yang terlelap. Setelah malam yang panjang dan penuh kecemasan, Adrian akhirnya bisa tidur dengan damai. Di sampingnya, Lila masih duduk di kursi dekat ranjang, matanya setengah tertutup akibat rasa lelah yang terus mendera. Namun, ia tetap berjaga, memastikan bahwa Adrian aman dan tidak terganggu oleh mimpi buruk lagi.
Lila meregangkan tubuhnya yang pegal, menatap keluar jendela sambil merasakan ketenangan pagi yang mulai menyelimuti. Tugasnya malam ini bukan hal yang mudah—ia harus menghadapi Adrian yang lebih rapuh dari biasanya. Namun, ia merasa puas bisa membantu pria itu melewati momen berat tersebut.
Saat Lila berdiri perlahan, mencoba untuk tidak membangunkan Adrian, ia mendengar suara pelan dari ranjang.
"Lila..." Adrian bergumam, matanya setengah terbuka. Dia menoleh dan menatap Lila dengan pandangan lelah, tetapi sedikit lebih tenang daripada malam sebelumnya.
Lila berbalik, tersenyum lembut. "Selamat pagi, Tuan. Gimana perasaan anda sekarang?"
Adrian menarik napas panjang, seolah menguji tubuhnya yang kaku setelah malam penuh emosi. "Lebih baik. Aku merasa lebih... ringan sekarang. Terima kasih."
Lila mengangguk pelan, mendekati ranjang dan membenahi selimut yang menutupi tubuh Adrian. "Tuan Adrian, anda nggak perlu berterima kasih. Aku di sini untuk membantu. Lagipula, kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku nggak mungkin meninggalkan anda sendirian."
Adrian terdiam sejenak, menatap wajah Lila yang penuh perhatian. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya sekarang. Malam itu telah membuka sisi dirinya yang selama ini ia coba sembunyikan. Ia biasanya kuat di hadapan orang lain, tetapi di hadapan Lila, ia merasa lebih terbuka. Tidak ada lagi topeng yang ia kenakan untuk menutupi rasa takut dan kerentanannya.
"Kamu tahu, Lila," Adrian memulai dengan suara pelan, "aku belum pernah benar-benar merasa butuh orang lain seperti ini sebelumnya. Tapi kamu... kamu membuatku merasa lebih baik. Seolah-olah, aku nggak perlu menghadapi semuanya sendirian."
Lila tertegun mendengar kata-kata Adrian. Ia bisa merasakan kejujuran dalam nada bicara pria itu. "Tuan Adrian, saya selalu ada untuk anda. Saya tahu ini bukan hal yang mudah, tapi kita bisa menghadapinya bersama."
Adrian tersenyum tipis, meskipun masih ada bayang-bayang kesedihan di matanya. "Aku bersyukur ada kamu di sini, Lila. Aku... aku nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau kamu nggak ada."
Lila menundukkan kepala, merasa tersentuh oleh pengakuan Adrian. Ia tahu bahwa pria ini jarang berbicara tentang perasaannya, terutama hal-hal yang menyangkut kelemahan. Fakta bahwa Adrian mau berbagi rasa seperti ini membuat Lila merasa lebih dekat dengannya.
"Tuan," Lila kembali menatapnya, "kita masih punya banyak waktu. Aku yakin, seiring berjalannya waktu, keadaan akan membaik."
Adrian mengangguk pelan, matanya masih menatap Lila dengan intens. "Aku harap begitu, Lila. Karena... aku mulai merasa bahwa kamu bukan hanya pelayan untukku. Kamu lebih dari itu."
Lila merasa pipinya sedikit memerah mendengar pernyataan Adrian. Ia tahu bahwa hubungan mereka sudah berubah jauh dari sekadar hubungan tuan dan pelayan. Ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka, meskipun tak ada yang berani mengakuinya secara langsung. "Tuan Adrian, saya hanya ingin melihat anda bahagia. Itu saja."
Adrian tersenyum, lalu mencoba bangkit dari ranjang. "Baiklah, hari ini kita lanjut latihan, kan?"
Lila mengangguk dengan penuh semangat. "Tentu saja, Tuan! Kita nggak boleh menyerah, kan?"
Adrian tertawa kecil, meskipun tubuhnya masih terasa berat. "Ya, kita nggak akan menyerah. Terutama karena kamu yang ada di sini, terus memaksaku untuk bergerak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengasuh Tuan Lumpuh
Historia Corta--- Di sebuah desa kecil yang terletak di lereng pegunungan , hidup seorang gadis bernama Lila. Kehidupannya sederhana, penuh dengan keheningan desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan pepohonan yang rimbun. Tak pernah terbayang olehnya, bahwa...