O4 : Chairmate?

7 2 0
                                    

Semester dua baru saja dimulai, membawa perubahan yang tak terduga. Anin duduk di bangkunya, menunggu wali kelasnya memberikan arahan. Dengan perasaan campur aduk, ia melihat daftar nama di papan tulis dengan alis mengernyit. Setelah wali kelas mengumumkan bahwa tempat duduk diatur berpasangan antara perempuan dan laki-laki, suasana kelas berubah menjadi riuh. Sebuah keputusan yang membuat banyak murid berbisik-bisik, termasuk Anin, yang merasa gemetar di dalam hatinya.
       
"Anin, duduk dengan Hanan," kata wali kelas dengan suara yang terdengar tegas namun ramah.
       
Hati Anin tercekat sejenak. Ia terkejut dan hampir tidak percaya bahwa ia bisa duduk bersebelahan dengan Hanan—seorang yang pernah ia duduki bersisian saat ujian semester lalu. Kenangan itu masih segar dalam ingatannya; rasa canggung dan ketidaknyamanan selama ujian membuatnya merasa seperti berada di dalam gelembung yang membatasi ruangnya. Hanan sering melirik ke arah Anin ketika ia kesulitan mengerjakan soal, dan meskipun mereka tidak banyak berinteraksi, pengalaman itu membuat Anin merasa bahwa mereka tidak akan pernah berbagi bangku lagi.
       
Awalnya, duduk bersebelahan dengan Hanan terasa asing dan canggung. Mereka berdua jarang berbicara. Anin tidak tahu harus memulai dari mana, sementara Hanan lebih banyak menatap ponselnya ketika istirahat tiba. Keheningan di antara mereka terasa begitu kental, bahkan saat bel pelajaran berbunyi, Anin merasa seolah ada jarak tak terlihat di antara mereka.
       
Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan dinding di antara mereka mulai runtuh. Percakapan sederhana tentang tugas-tugas sekolah mulai menghiasi kebersamaan mereka di kelas. Hanan bertanya apakah Anin sudah menyelesaikan PR matematika, dan Anin dengan malu-malu mengakui bahwa ia sering lupa. Mereka saling bertukar catatan, saling mengingatkan kapan harus masuk sekolah, hingga tanpa sadar, mereka sering mengobrol lebih banyak dari yang mereka perkirakan. Keakraban itu datang perlahan namun pasti, seperti embun pagi yang menyejukkan di tengah keheningan.
       
Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang selalu menghantui pikiran Anin—ulangan matematika yang akan datang. Anin tahu bahwa ia lemah dalam pelajaran hitung-menghitung. Setiap kali ia memandangi soal-soal matematika, angka-angka itu tampak seperti hieroglif yang tak bisa dipecahkan. Meskipun ia sudah mencoba belajar, hasilnya tak banyak berubah. Anin hanya mampu mengingat beberapa rumus dasar, dan sisanya ia pasrahkan pada nasib.

♡⑅ ࣪  ࣭ 🍮 ⑅ 𓂅

Hari ulangan pun tiba. Suasana kelas begitu tegang. Anin duduk di samping Hanan, berusaha tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Soal dibagikan, dan Anin menyadari hal yang tak terduga—soal untuk barisan kanan dan kiri ternyata berbeda. Hanan mendapat soal yang berbeda dengannya, membuat Anin tak punya kesempatan untuk menanyakan jawaban. Ia menunduk, berusaha fokus pada soal di depannya.
       
Namun, kebingungan mulai menyelimuti dirinya. Soal-soal itu terlalu sulit, terlalu rumit untuk dipahami. Anin mencoba mengerjakan yang ia bisa, tapi semakin banyak soal yang ia lewati tanpa jawaban, semakin gelisah hatinya. Matanya mulai memanas, air mata perlahan menggenang. Ia merasa terjebak, tak tahu harus bagaimana. Perasaan putus asa semakin menguasai dirinya, hingga tanpa sadar, air matanya jatuh, membasahi lembaran soal di depannya.
     
Hanan, yang duduk di sebelahnya, segera menyadari perubahan pada Anin. Ia menoleh dan melihat Anin yang terisak pelan, berusaha menyembunyikan tangisnya. Tanpa ragu, Hanan menyentuh lengan Anin, membuat gadis itu terkejut sejenak.
       
"Tenang aja, Nin. Jangan nangis, aku bantuin kok," bisik Hanan pelan namun penuh perhatian.
       
Anin hanya menggelengkan kepala, merasa malu karena tak mampu menahan air mata di saat ulangan berlangsung. Hanan, dengan lembut, mulai membimbing Anin. Meski soal mereka berbeda, Hanan mencoba menjelaskan cara mengerjakan soal yang mirip dengan yang dihadapi Anin. Ia menulis beberapa langkah di sudut kertas Anin, memberi petunjuk tentang bagaimana memecahkan soal-soal yang membingungkan.
       
Sesekali, Hanan menggoda Anin dengan candaan ringan, mencoba membuat suasana lebih santai. "Kamu kaya anak kecil," ucap Hanan sambil tertawa. Anin, meski masih sedikit terisak, tak bisa menahan senyum tipis. Hanan selalu punya cara untuk membuat segalanya terasa lebih ringan.
       
Waktu berlalu, dan ulangan pun berakhir. Anin merasa lega, meski ia tahu bahwa ulangan tadi bukanlah yang terbaik baginya. Ketika bel berbunyi, menandakan berakhirnya jam pelajaran, ia menoleh ke Hanan dengan senyum yang penuh rasa terima kasih.
       
"Makasih ya, Nan. Kalo ga ada kamu, mungkin aku bakal nangis terus tadi," ucap Anin tulus.
       
Hanan mengangguk ringan. "Gapapa, Nin."
       
Namun di balik kalimat sederhana itu, ada sesuatu yang lebih dalam yang tersembunyi di hati Hanan. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan tadi bukanlah karena perasaan yang lebih dari sekadar teman. Hanan selalu melihat Anin sebagai seseorang yang perlu ia bantu, tapi hatinya telah lama terikat pada Naomi, seorang gadis yang selalu ada di pikirannya, seseorang yang tak bisa digantikan oleh siapapun. Meskipun kebersamaannya dengan Anin semakin sering, Naomi tetaplah sosok yang selalu mengisi ruang hati Hanan dengan cara yang berbeda.
       
Di sisi lain, Anin pun menyimpan rahasianya sendiri. Meski ia merasa senang dengan perhatian yang Hanan berikan, hatinya selalu terpaut pada Juna, seorang pria yang selalu hadir di benaknya. Juna adalah sosok yang tak pernah jauh dari pikirannya, seseorang yang diam-diam ia kagumi sejak lama. Setiap kali ia melihat Juna, hatinya berdebar, meski tak pernah sekalipun ia berani mengungkapkan perasaannya.

♡⑅ ࣪  ࣭ 🍮 ⑅ 𓂅

Hari-hari berlalu, dan kebersamaan Anin dan Hanan di bangku sekolah terus berlanjut. Mereka saling membantu dalam pelajaran, sesekali berbagi tawa di tengah kesibukan sekolah. Tapi di balik semua itu, ada perasaan yang tak terucapkan, sesuatu yang tetap tersembunyi di hati masing-masing. Anin dan Hanan, meski sering terlihat dekat, tetap berjalan di jalur perasaan yang berbeda—Anin dengan perasaannya terhadap Juna, dan Hanan yang hatinya selalu tertuju pada Naomi.
       
Di tengah perubahan yang terus terjadi di sekitar mereka, Anin dan Hanan tetap melangkah dengan kebersamaan yang telah terbentuk. Meskipun mereka tidak pernah mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, mereka saling memahami dan menghargai keberadaan satu sama lain. Kehidupan sekolah mereka menjadi lebih berarti dengan adanya kehadiran dan dukungan dari satu sama lain.
       
Waktu terus bergerak, dan meskipun perasaan mereka tak pernah terungkap, mereka tetap menjalani hari-hari di kelas dengan senyum dan percakapan ringan. Seolah-olah mereka tahu bahwa tak semua perasaan harus diungkapkan, dan tak semua cerita harus berakhir dengan cinta yang terbalas. Kadang-kadang, hanya dengan berada di samping seseorang yang memahami kita sudah cukup untuk membuat perjalanan ini terasa lebih berwarna.
       
Dengan setiap hari yang berlalu, Anin dan Hanan memahami bahwa kebersamaan mereka adalah sesuatu yang istimewa, meskipun tidak selalu berjalan sesuai harapan mereka. Mereka belajar untuk menikmati setiap momen, memahami bahwa dalam hidup, tidak semua cerita harus diakhiri dengan bahagia seperti yang diinginkan. Namun, mereka juga tahu bahwa keberadaan satu sama lain telah memberi mereka pelajaran berharga tentang persahabatan, dukungan, dan arti sejati dari sebuah hubungan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

If Ever You're In My Arms Again [Aistumn]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang