Pagi itu di sekolah, suasana terasa berbeda. Hanny, Artika, dan Marlina merasa ada yang aneh. Kematian mendadak Rian, teman sekelas mereka, meninggalkan pertanyaan yang tidak terjawab. Rian ditemukan tewas di ruang musik, tempat yang awalnya mereka anggap biasa saja. Namun, belakangan ini, ada desas-desus aneh yang beredar di kalangan siswa.
Hanny, yang biasanya pendiam dan tidak terlalu suka bergaul, merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ia duduk di bangku taman dekat lapangan basket, menunggu Artika dan Marlina. Mereka bertiga sepakat untuk melakukan penyelidikan sendiri karena merasa ada yang tidak beres dengan kematian Rian.
Artika tiba pertama kali, diikuti Marlina yang datang agak terlambat karena harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah. Mereka bertiga saling bertukar pandang, berusaha menenangkan diri sebelum membahas rencana mereka.
"Jadi, kita sepakat buat cari tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi di ruang musik?" tanya Artika, membuka percakapan.
"Betul. Gue merasa ada sesuatu yang belum terpecahkan dari kematian Rian," jawab Hanny. "Kita harus mulai dari ruang musik. Gue pernah dengar dia sering menghindari tempat itu."
Marlina mengangguk setuju. "Gue juga denger kabar bahwa dia sering bilang melihat bayangan aneh di sana. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Setelah bel berbunyi, mereka bergegas menuju kelas masing-masing. Hanny tidak bisa fokus pada pelajaran hari itu. Pikiran tentang ruang musik dan misteri di sekitarnya terus menghantuinya. Ia berharap bisa segera menemukan jawaban.
Jam pelajaran terakhir berakhir, dan ketiganya segera menuju ruang musik. Mereka merasa agak tegang karena tahu bahwa mereka harus hati-hati agar tidak ketahuan. Hanny memimpin langkah mereka, membawa kunci yang dia curi dari petugas kebersihan beberapa hari lalu.
Saat mereka tiba di ruang musik, suasana di sana terasa mencekam. Alat-alat musik yang berjejer di sudut ruangan tampak berdebu dan tidak terurus. Hanny membuka pintu dengan hati-hati, dan mereka bertiga melangkah masuk.
Ruangan itu gelap dan terasa dingin. Hanny menyalakan senter dari ponselnya, menerangi area sekitar. Mereka memeriksa setiap sudut ruangan dengan hati-hati. Artika dan Marlina mulai membuka laci-laci meja, sementara Hanny memeriksa lemari-lemari tua yang ada di sana.
Setelah beberapa saat mencari, Marlina menemukan sebuah kotak kecil yang terselip di balik piano. Kotak itu terlihat tua dan sedikit berdebu. "Lihat ini, gue nemu sesuatu," serunya, menunjuk kotak tersebut.
Hanny dan Artika segera mendekat. Mereka membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat beberapa foto lama, sebuah kalung, dan sebuah surat yang sudah mulai menguning. Mereka memeriksa foto-foto itu dengan seksama.
"Ini adalah foto-foto Rian dan beberapa temannya. Tapi kenapa ada di sini?" tanya Artika bingung.
Hanny mengambil surat dan mulai membacanya. Surat itu ditulis oleh Rian dan berisi catatan tentang ketakutannya. Rian menulis tentang bayangan aneh yang sering ia lihat di ruang musik dan perasaan cemas yang tidak bisa ia jelaskan.
"Gue rasa, ini petunjuk penting. Rian jelas-jelas merasa ketakutan di sini," kata Hanny sambil menyerahkan surat itu kepada Artika dan Marlina.
Marlina membaca surat itu dengan cermat. "Jadi, Rian benar-benar merasakan ada sesuatu yang jahat di ruang musik. Kita harus cari tahu lebih lanjut tentang apa yang dia temui."
Keesokan harinya, mereka bertiga memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman Rian yang ada di foto. Mereka mendapatkan informasi bahwa beberapa dari mereka masih tinggal di kota yang sama.
Setelah sekolah, mereka pergi ke kafe tempat Arman bekerja. Arman adalah salah satu teman dekat Rian yang dikenal baik di kalangan siswa. Mereka bertemu Arman di kafe, yang tampak agak terkejut melihat mereka.
"Halo, kamu Arman, kan? Kami ingin tanya tentang Rian," kata Hanny dengan hati-hati.
Arman mengangguk, kemudian melihat mereka dengan tatapan penasaran. "Ya, aku Arman. Ada apa?"
Hanny menjelaskan bahwa mereka sedang menyelidiki kematian Rian dan menunjukkan foto-foto yang mereka temukan. Arman terlihat ragu, tetapi akhirnya mulai bercerita. "Rian adalah teman baikku. Kami sering berlatih musik bersama di ruang musik. Tapi beberapa bulan terakhir sebelum kematiannya, dia mulai menghindari ruang musik."
"Kenapa? Apa dia pernah cerita apa yang terjadi?" tanya Artika dengan penuh perhatian.
Arman menghela napas, seolah-olah mengingat kembali kenangan yang tidak menyenangkan. "Rian sering bilang dia melihat bayangan aneh di ruang musik. Awalnya aku pikir dia cuma stres, tapi lama-kelamaan dia benar-benar ketakutan. Beberapa hari sebelum kematiannya, dia bilang ada sesuatu yang ingin mengambil nyawanya."
Mendengar hal itu, mereka semakin yakin bahwa ada sesuatu yang janggal di ruang musik. Mereka merasa perlu menggali lebih dalam untuk menemukan jawabannya. Arman mengingatkan mereka untuk berhati-hati dan tidak terlibat dalam hal-hal yang mungkin berbahaya.
Setelah berbicara dengan Arman, mereka kembali ke rumah Hanny dan berkumpul untuk merencanakan langkah selanjutnya. Hanny membuka catatan yang mereka temukan di ruang musik, membaca dengan seksama. Buku catatan Rian penuh dengan tulisan tangan dan simbol-simbol aneh yang tampaknya berhubungan dengan ritual.
"Kita harus memahami simbol-simbol ini. Mungkin ada petunjuk yang bisa membantu kita," kata Hanny sambil menunjukkan halaman-halaman buku tersebut kepada Artika dan Marlina.
Marlina memandangi simbol-simbol itu dengan khawatir. "Kita harus hati-hati. Ini bisa berbahaya."
Hanny, Artika, dan Marlina sepakat untuk terus mempelajari buku tersebut dan mencari petunjuk lebih lanjut. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Misteri kematian Rian semakin dalam, dan mereka harus menemukan kebenarannya dengan segala risiko yang ada.
YOU ARE READING
Pencarian Kebenaran
Terrorini cerita mesteri di sekolah hasil kegabutan saya jadi siliahkan di baca kau tidak suka bisa di skip kalo suka vote dan komentarin ya supaya aku lebih berkembnag lagi makasih