BAB 10

2.6K 78 1
                                    

Target Vote 100 untuk Bab 11

Target Vote 100 untuk Bab 11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Setelah menumpahkan segala kesedihan yang tertahan di hati, segala perasaan yang di pendam lama, dan semua kata yang belum pernah terucap, Calvin dan Aruna terdiam meresapi sisa kelegaan yang memenuhi dada mereka. Rasa sesak itu menghilang secara perlahan, menguar bersama tangis yang pecah. Meskipun kepala mereka sedikit pusing karena menangis cukup lama, tapi itu membuat mereka lega, dan semua permasalahan selesai.

Cukup lama mereka menangis dengan terduduk di lantai ruang tamu sambil berpelukan. Sampai akhirnya Calvin membawa Aruna bersamanya ke kamar, merasa jika lantai dingin akan membuat Aruna sakit. Calvin menyandarkan punggungnya di kepala ranjang dengan Aruna yang berada di pelukannya. Perempuan itu duduk di pahanya, merebahkan kepalanya di dada Calvin. Posisi yang begitu intim di antara keduanya.

Calvin melirik jam dinding yang ada di kamar mereka, sudah pukul 2.25 dini hari. Lebih dari satu jam mereka habiskan untuk menangis. Calvin menundukkan kepalanya, melihat Aruna yang masih membuka mata. "Udah jam setengah tiga, Run. Kamu belum ngantuk?"

Aruna menengadah, menatap Calvin. Mata perempuan itu sembab. "Aku belum ngantuk"

"Yaudah" Calvin mengeratkan pelukannya di tubuh Aruna. Satu tangannya dia gunakan untuk mengusap-usap rambut Aruna. Calvin pun juga belum mengantuk. Menangis tadi membuat matanya terjaga, dan dia merasa begitu lega setelah mengungkapkan perasaannya kepada Aruna. Butuh waktu lama bagi Calvin untuk bisa mengatakan kalimat cinta itu.

"Kamu enggak mau punya anak, Vin?" tanya Aruna. Dia masih saja memikirkan anak setelah segala tangis yang mereka tumpahkan.

"Aku mau, Run, tapi aku enggak mau kalau kamu terpaksa"

Aruna menatap Calvin yang kini menatap lurus ke depan. Aruna memperbaiki posisinya agar bisa duduk dengan benar di atas paha Calvin, tubuhnya di tegakkan. "Aku mau, Vin. Aku enggak terpaksa"

Calvin menatap Aruna. "Kenapa baru sekarang maunya? Kenapa baru mau pas orang tua kita nanya kayak gitu? Kamu yakin itu kemauan kamu, bukan karena kemauan orang tua kita?"

Aruna mengangguk mantap. "Aku juga mau, Vin, terlepas dari keinginan orang tua kita. Kamu enggak pernah minta dan aku pikir kamu enggak mau"

Calvin terlalu sibuk menunggu, dan Aruna juga menunggu Calvin meminta terlebih dahulu. Mereka terjebak di titik menunggu, dan tidak pernah ada yang melangkah terlebih dahulu. Semua ini hanya perkara karena sibuk dengan segala prasangka yang terangkai di kepala. Segala praduga yang belum tentu benar adanya itu membuat mereka menderita.

"Aku enggak mau kamu terpaksa, Run. Hanya itu yang aku takutin, aku enggak mau membuat kamu terpaksa seperti kamu terpaksa menikah sama aku, Run" Calvin menjeda ucapannya, menatap Aruna lekat. "Lagi pula kamu masih cinta sama mantan pacar kamu"

"Apa kamu pikir dalam waktu setahun ini, aku belum lupa sama Darrel?"

Calvin mengangguk. "Aku pernah lihat kamu ketemu dia di kafe, enggak sengaja. Aku kebetulan ada janji sama klien di kafe itu"

Calvin pernah melihat Aruna tengah berbincang dengan Darrel di sebuah kafe, 5 bulan setelah mereka menikah, dan Calvin merasa jika Aruna belum selesai dengan masa lalunya. Calvin merasa Aruna masih memiliki perasaan dengan mantan kekasihnya itu.

Aruna mencoba mengingat kapan terakhir kali dia ketemu dengan Darrel. "Prison cafe?" tebaknya.

Calvin mengangguk. "Iya, di sana. 5 bulan setelah kita menikah"

"Aku enggak sengaja ketemu Darrel di sana. Aku sama Dian juga di sana, enggak berdua doang sama Darrel. Mungkin kamu lihat pas Dian lagi pesan minuman. Kenapa enggak nyamperin aku ke sana?"

"Emangnya aku siapa? Aku enggak punya hak buat main samperin kamu yang lagi ketemu sama mantan kamu"

"Kamu suami aku, Vin. Aku mutusin buat menikah sama kamu memang karena dijodohkan, tapi bagi aku pernikahan itu suatu hal yang sakral, dan aku enggak pernah berkeinginan untuk main-main dengan pernikahan"

Calvin menatap mata Aruna, perempuan itu tampak begitu serius dengan ucapannya. Perlahan senyuman Calvin mengembang, tapi sekuat tenaga laki-laki itu menyembunyikannya. Dia tidak mau terlihat begitu kentara di depan Aruna.

Calvin menganggukkan kepalanya. "Aku mau punya anak, tapi aku mau pakai cara alami dulu. Aku enggak mau ikut program hamil, apalagi bayi tabung. Kalau kamu paksa aku memakai metode itu langsung, aku enggak mau. Kalau kamu pakai metode medis padahal kita belum usaha apa-apa, artinya kamu cuman mau hamil cepat karena permintaan orang tua kita aja, bukan karena kemauan kamu sendiri"

"Waktu itu aku coba pakai cara alami, Vin, tapi kamu enggak mau"

"Aku enggak mau kalau kamu lakuin semuanya demi orang tua kita. Pernikahan kita, kita berdua yang jalani, Run. Bukan orang tua kita, apalagi orang lain. Mereka enggak punya hak buat mengontrol kita"

Calvin hidup tanpa kontrol dari orang tuanya. Calvin akan memilih pilihannya sendiri, seperti menikah dengan Aruna adalah pilihannya, bukan pilihan orang tuanya.

******

Ada Additional part di Karya karsa
Akun karyakarya : rinlaif

Hanya 3K untuk 2000++ kata

Link : https://karyakarsa.com/rinlaif/titik-tunggu-bab-10

Spicy, area 21+

Spicy, area 21+

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Titik Tunggu (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang