Bayangan Masa Lalu

3 1 3
                                    

Hai, sebelum mulai baca, jangan lupa follow dan add cerita ini ke library ya! Biar nggak ketinggalan update selanjutnya. Komentar, kritik, dan saran juga selalu ditunggu. Terima kasih sudah mampir, and...

Happy reading!
-
-
-

Luna masih terdiam di tempatnya, tubuhnya terasa kaku seperti patung. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut ibunya berputar di kepalanya, menolak untuk pergi. Bagaimana mungkin ayahnya memiliki hubungan dengan kekurangannya? Dan kenapa baru sekarang ia tahu?

Di kamarnya, Luna berusaha mengabaikan suara hatinya, tetapi semakin keras ia mencoba, semakin sulit untuk mengabaikannya. Rasa sakit, amarah, dan kebingungan mulai berbaur dalam benaknya.

Ketika Yejin mengetuk pintu kamarnya dan masuk tanpa menunggu jawaban, Luna tahu dia tak bisa menyembunyikan perasaannya lebih lama lagi. Yejin selalu bisa melihat apa yang sedang terjadi di balik wajah tenang adiknya.

"Luna, kamu baik-baik saja?" tanya Yejin, suaranya lembut, tetapi jelas penuh kekhawatiran.

Luna menunduk, tak berani bertemu mata kakaknya. "Aku nggak tahu, Kak... aku nggak tahu harus bilang apa."

Yejin mendekat dan duduk di samping Luna, merangkulnya pelan. "Kamu nggak perlu bilang apa-apa sekarang. Tapi kalau kamu mau cerita, aku selalu di sini buat kamu."

Diam-diam, Luna bertanya-tanya apakah Yejin tahu tentang percakapan yang baru saja ia dengar, atau apakah kakaknya juga sudah lama menyimpan rahasia ini.

Luna menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang sudah menggunung. Dia tahu Yejin selalu jadi tempat perlindungannya, tapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan mudah.

"Kak, pernah nggak... Kakak merasa marah sama sesuatu yang bahkan nggak bisa kakak kontrol?" Luna akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik.

Yejin mengerutkan kening, sejenak terdiam sebelum menjawab, "Tentu saja. Kadang aku merasa marah dengan keadaan, atau bahkan sama diriku sendiri. Tapi... kamu bicara tentang apa, Luna?"

Luna menarik napas dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku denger percakapan antara kakak dan ibu tadi... tentang ayah."

Mata Yejin melebar. Dia terkejut, jelas tak menyangka Luna akan mendengar hal itu. Yejin menunduk, seakan mencoba mencari cara untuk menjelaskan sesuatu yang rumit dan menyakitkan.

"Luna..." Yejin mulai, suaranya berat dengan kesedihan, "aku nggak tahu harus menjawab apa. Itu bukan sesuatu yang gampang untuk diomongin. Kami nggak bermaksud menyembunyikan apa-apa, cuma... rasanya nggak tepat untuk dibicarakan selama ini."

Luna menatap kakaknya dengan tatapan terluka. "Kenapa nggak ada yang pernah bilang apa-apa? Apa aku sebegitu rapuhnya sampai semua orang merasa harus menyembunyikan semuanya dariku?"

Yejin menggenggam tangan Luna erat-erat. "Bukan begitu, Luna. Kami cuma nggak mau menambah beban di pundakmu. Hidup kamu sudah cukup berat, dan kami... terutama ibu, nggak mau kamu merasa lebih terluka."

"Ayah yang salah, Kak. Kenapa aku yang harus hidup dengan semua ini," Luna berkata pelan, matanya mulai memerah menahan air mata yang selama ini tak pernah ia tumpahkan. "Aku juga bagian dari kalian, dan aku berhak tahu apa yang terjadi."

Luna masih terpaku mendengar penjelasan Yejin. Kata-kata kakaknya terasa seperti potongan puzzle yang mulai terbentuk, meskipun semakin terbentuk, semakin pula rasa sakit yang ia rasakan.

"Dulu, jauh sebelum kamu lahir, ada kejadian yang mungkin tidak pernah kamu dengar," Yejin memulai, nada suaranya berubah, seolah hendak membongkar rahasia yang sudah lama terkubur.

Jejak Di Antara Bayangan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang