Hai, sebelum mulai baca, jangan lupa follow dan add cerita ini ke library ya! Komentar, kritik, dan saran juga selalu ditunggu. Terima kasih sudah mampir, and...
Happy reading!
-
-
-Semalam sebelumnya
Di ruang tamu yang hening, Luna duduk dengan kedua tangannya meremas ujung bantal di pangkuannya. Ibu dan kakaknya, Yejin, duduk di seberangnya, saling menatap sebelum akhirnya ibu angkat bicara.
"Jadi... kamu sudah benar-benar yakin dengan keputusan ini?" suara lembut ibunya memecah keheningan, mencoba memastikan keputusan yang diambil putrinya.
Luna menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatasi kegelisahan yang bersemayam di hatinya. "Aku... sudah memikirkannya, Bu. Aku tahu ini mungkin sulit diterima, tapi aku merasa ini yang terbaik buatku," jawabnya, suaranya terdengar mantap meski sedikit bergetar.
Yejin, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku tahu ini nggak mudah buat kamu, Luna. Tapi kalau kamu yakin ini yang terbaik, aku dan ibu akan mendukungmu."
"Iya.. terimakasih"ucap Luna sambil tersenyum tipis.
--
Luna dan Nari duduk di bangku taman yang biasa mereka kunjungi sejak kecil. Keheningan menyelimuti mereka, hanya suara angin dan dedaunan yang bergesekan. Luna menatap ke tanah, menggenggam erat ujung bajunya.
"Aku nggak tahu harus mulai dari mana," kata Luna, suaranya terdengar gemetar.
Nari menoleh, mencoba menangkap pandangan Luna. "Nggak apa-apa, pelan-pelan aja. Aku di sini buat dengar."
Luna menarik napas panjang, mengumpulkan keberaniannya. "Semua ini... dimulai jauh sebelum aku lahir. Ayahku... dia pernah... melukai hewan peliharaan tetangga sampai kaki hewan itu pincang. Dan karena itu, tetangga itu... dia mengutuk ayahku. Katanya, anaknya akan mengalami hal yang sama.Yaah..walaupun mungkin ini memang takdir..."
Nari terdiam, menatap Luna dengan tatapan terkejut. "Maksudnya... itu kenapa?"
Luna mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Iya, itu alasannya kenapa kakiku begini. Aku tahu..kemarin kamu kerumahku kan?.Dan... waktu kamu dengar teriakan di rumahku kemarin... ayahku marah besar karena aku nggak sengaja memecahkan gelas. Dia bilang aku selalu gagal, selalu salah... dan aku nggak bisa tahan lagi."
Luna menghapus air matanya dengan cepat. "Karena semua ini... aku udah mutusin buat pindah ke sekolah khusus. Mungkin di sana aku bisa mulai lagi, tanpa harus merasa jadi beban buat siapapun."
Nari terdiam lama, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya.
Nari masih terdiam, tapi kali ini air matanya mulai mengalir. Dia tahu Luna sudah banyak menyimpan beban, tapi mendengar cerita ini membuatnya merasa bersalah karena tak pernah benar-benar menyadari.
"Luna... maaf, aku nggak pernah tahu kalau semuanya seberat ini buat kamu," kata Nari dengan suara pelan, hampir berbisik. "Aku selalu mikir kalau aku bisa ngebantu kamu dengan cara yang biasa, tapi... ternyata nggak cukup ya."
Luna tersenyum lemah, meski air matanya masih belum berhenti. "Bukan salah kamu, Nari. Kamu udah lebih dari cukup buat aku. Tapi sekarang, aku butuh ruang buat diri sendiri. Pindah ke sekolah baru mungkin satu-satunya cara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Di Antara Bayangan [END]
Short Story"Luna, gadis muda yang hidup dengan disabilitas tuna daksa, tumbuh dalam keluarga yang penuh tantangan. Di tengah cibiran teman-temannya dan kehidupan rumah tangga yang penuh luka masa lalu, Luna harus menemukan kekuatan untuk menghadapi takdirnya...