Hai, sebelum mulai baca, jangan lupa follow dan add cerita ini ke library ya! Biar nggak ketinggalan update selanjutnya. Komentar, kritik, dan saran juga selalu ditunggu. Terima kasih sudah mampir, and...
Happy reading!
-
-
-Pagi itu terasa lebih sunyi daripada biasanya,sebelum berangkat ke sekolah, Luna duduk di meja makan, memandangi piring sarapan berisi roti yang belum tersentuh. Ibunya sibuk di dapur, seperti biasa. Tapi hari ini ada sesuatu yang terasa berbeda. "Luna, jangan terlalu dipikirin ya. Kamu tahu kalau hidup nggak selalu adil, tapi kamu udah kuat sampai sejauh ini," kata ibunya tiba-tiba, tanpa menoleh dari kompor.
Luna hanya mengangguk pelan, meskipun pikirannya melayang ke hal-hal lain. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepala, dan dia tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa hari ini akan menjadi hari yang berat.
Di seberang meja, Yejin sedang memeriksa tasnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, sambil mengoceh tentang tugas sekolahnya.
Setelah sarapan selesai, Luna mengambil tasnya, menatap ke arah ruang tamu di mana ayahnya duduk sambil menonton TV dengan wajah yang tak pernah menampakkan senyum seperti biasa, tanpa mempedulikannya.Luna tahu bahwa tidak ada yang ingin berbicara dengannya secara langsung,atau mungkin, mereka hanya tidak tahu bagaimana caranya. Tanpa kata-kata,Luna diam-diam berharap bisa pergi ke sekolah tanpa harus bertemu tatapan ayahnya, seperti hari-hari sebelumnya.
"Aku duluan," Yejin berkata, sambil menyandang tasnya. Luna hanya mengangguk. Seandainya mereka bisa berbicara lebih dekat, seperti saudara pada umumnya.
Luna keluar rumah dan mulai berjalan menuju sekolah, mempersiapkan diri untuk hari yang terasa lebih berat dari biasanya.
---
Di sekolah, Luna menjalani harinya dengan senyum yang dibuat-buat. Teman-temannya tertawa, mengobrol, tapi ia merasa selalu ada jarak yang tak terucapkan antara mereka. Bahkan saat mereka bersikap baik, Luna merasakan ada sesuatu yang hilang dalam percakapan mereka. Ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
Saat jam pelajaran berakhir, suasana di kelas sedikit sunyi.Sambil membereskan barang-barangnya seperti biasa,Luna menunggu teman-temannya pergi duluan sebelum bergegas pulang. Namun, percakapan samar-samar dari dua teman sekelas yang masih tertinggal di belakang ruangan menarik perhatiannya, dan tiba-tiba, apa yang ia rasakan selama ini mendapatkan konfirmasi yang menyakitkan.
"Kasihan sih, tapi ya mau gimana lagi. Kadang aku juga bingung harus bersikap gimana sama Luna," kata salah satu temannya.
"Iya, sama. Kita baik-baik aja ke dia, tapi kayak... nggak tahu harus ngobrolin apa, kan? Dia beda banget sama kita," jawab yang lain.
Luna merasa dadanya sesak. Dia tak pernah mengira kalau orang-orang di sekitarnya memandangnya seperti itu. Teman-teman yang selama ini tampak bersikap biasa ternyata menyimpan perasaan yang tak pernah Luna sadari. Apakah selama ini dia hanya menjadi 'bahan kasihan' bagi mereka?
Saat Luna hendak beranjak dari tempat duduknya, salah satu teman yang berbicara tadi menyadari kehadirannya. Wajahnya langsung pucat, matanya melebar.
"L-Luna… k-kamu dengar ya?" tanyanya dengan suara gugup, nadanya penuh penyesalan yang terdengar terburu-buru.
Luna menatapnya sejenak, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hatinya seolah terhimpit, dan tenggorokannya kering. Dia hanya ingin segera keluar dari ruangan itu.
"Maaf, kami nggak bermaksud kayak gitu, beneran," tambah temannya yang lain, mencoba meredakan suasana dengan suara pelan. Namun, permintaan maaf itu terasa kosong di telinga Luna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Di Antara Bayangan [END]
Short Story"Luna, gadis muda yang hidup dengan disabilitas tuna daksa, tumbuh dalam keluarga yang penuh tantangan. Di tengah cibiran teman-temannya dan kehidupan rumah tangga yang penuh luka masa lalu, Luna harus menemukan kekuatan untuk menghadapi takdirnya...