Pagi itu, Sakura berdiri di depan cermin dengan wajah yang berusaha tetap tegar. Namun, di dalam hatinya, ia merasa hancur. Beberapa minggu yang lalu, momen yang tak terduga terjadi antara dirinya dan Sasuke. Sebuah malam yang seharusnya tidak terjadi, malam di mana mereka terjebak dalam gairah yang seakan tak terkontrol. Dan kini, hasil dari malam itu adalah sesuatu yang menghantui Sakura setiap saat—ia hamil.
Ketika akhirnya Sasuke datang ke rumah Sakura, ia terlihat bingung, wajahnya menampakkan rasa bersalah yang ia sembunyikan di balik ketenangannya. Sakura menatapnya dengan tatapan yang penuh amarah dan kekecewaan, sesuatu yang jarang Sasuke lihat dari sahabatnya.
“Kau tahu apa yang telah kau lakukan, Sasuke?” suara Sakura bergetar. “Malam itu... tidak seharusnya terjadi. Tapi sekarang, aku harus menanggung akibatnya sendirian!”
Sasuke tidak langsung menjawab. Ia merasa terpukul mendengar kata-kata Sakura, tetapi ia tetap berdiri diam, wajahnya sulit ditebak. Sakura berjalan mendekat, air mata mulai menggenang di matanya.
“Kau mencintai orang lain, Sasuke. Aku tahu itu. Aku selalu tahu, tapi aku bodoh karena terlalu berharap. Sekarang, hidupku berantakan karena aku tak bisa keluar dari bayanganmu!” kata Sakura dengan nada yang semakin meninggi. “Aku hamil, Sasuke! Dan apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Sasuke berusaha mendekati Sakura, ingin bicara, ingin mencoba memperbaiki kesalahpahaman yang kini terasa begitu dalam. Namun, sebelum dia bisa mengatakan sepatah kata pun, Sakura yang dipenuhi oleh campuran emosi, tiba-tiba memukulnya di dada dengan kuat. Sasuke terkejut, namun tidak melawan. Ia tahu Sakura tidak sedang marah karena kekerasan, tetapi karena hatinya yang terluka parah.
“Kau sahabatku, Sasuke! Tapi sekarang aku merasa kau telah menghancurkanku!” Sakura menjerit, tangisnya pecah. “Aku mencintaimu, tapi kau tak pernah melihatku seperti itu. Dan sekarang… aku harus menghadapi ini semua sendirian!”
Sasuke menunduk. Ia tidak punya jawaban untuk Sakura saat itu. Ia tahu apa yang terjadi di antara mereka adalah kesalahan. Ia merasa bersalah, tetapi pada saat yang sama, ia bingung tentang perasaannya sendiri. Karin mungkin masih di pikirannya, namun kini ada Sakura, yang tidak hanya sahabatnya, tetapi juga ibu dari anaknya.
Setelah beberapa saat, Sasuke akhirnya berkata dengan suara rendah, “Sakura… aku tidak bermaksud melukai perasaanmu. Aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi… Tapi aku akan bertanggung jawab.”
Mendengar jawaban itu, Sakura tersenyum pahit. “Tanggung jawab? Itu yang bisa kau tawarkan, Sasuke? Aku tidak butuh tanggung jawabmu. Aku butuh kejujuranmu. Aku butuh kau mengerti perasaanku. Tapi kau terlalu sibuk mengejar seseorang yang bahkan tidak mencintaimu dengan cara yang tulus!”
Sasuke terdiam, tak mampu menyangkal kebenaran di balik kata-kata Sakura. Ia tahu, perasaan Sakura adalah sesuatu yang telah ia abaikan terlalu lama. Dan sekarang, ketika situasi ini muncul, ia menyadari bahwa tidak ada cara mudah untuk memperbaiki semua ini.
Di saat itu, Sakura merasa putus asa. Meskipun ia telah meluapkan semua rasa sakitnya, rasa hampa masih memenuhi hatinya. Ia menyadari bahwa apapun yang Sasuke lakukan sekarang, tidak akan bisa mengembalikan hidupnya seperti dulu.
Dengan air mata yang terus mengalir, Sakura berbalik, meninggalkan Sasuke yang masih terpaku di tempat. Perasaan mereka yang selama ini terjebak dalam bayang-bayang persahabatan telah menghancurkan mereka berdua, dan kini, Sakura harus menemukan kekuatannya sendiri untuk menjalani hidup yang baru, dengan atau tanpa Sasuke di sisinya.
Sasuke yang awalnya tenang mulai merasakan kemarahan yang perlahan-lahan membara di dalam dirinya. Ketika Sakura terus meluapkan rasa frustrasinya, Sasuke yang biasanya dingin tiba-tiba kehilangan kesabarannya. Suaranya naik ketika ia akhirnya berbicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUNGA SAKURA
Short StoryBagaimana jika Sakura dan Sasuke yang awalnya mereka sahabatan dari kecil, sehingga Sakura terjebak di dalam zona ternyaman sehingga mengandung anak sasuke meski pria yang dia cintai itu mencintai gadis lain? "Apa kau pernah sekali saja memikirkan a...