3

276 37 4
                                    

3

Sepuluh Tahun Kemudian.

Sinar menyerang celah jendela tiba-tiba sehingga membuat kelopak mata Tawan yang masih kaku terasa perih. Tawan bangun, dengan rambut ikal sebahu yang acak-acakan ia duduk di pinggir tempat tidur. Keringat dingin bergulir di garis punggungnya.

Ny. Furla, menunggui dengan wajah yang cemas. Sedang, Tawan masih berusaha bernafas dengan biasa. Menghindari bau-bau yang menyengat dari mimpinya yang terbawa sampai ke dunia nyata.

Sekilas, ia melihat ke luar jendela. Matahari sudah benar-benar menyorot ke arahnya. Jam dinding berbentuk bulatan hitam yang diletakkan di atas jendela sudah menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh menit.

"Mimpi buruk lagi?" Ny. Furla bertanya seolah mimpi buruk adalah hal yang normal bagi Tawan.

"Mimpi yang biasa," kata Tawan, ia menerima segelas air yang disodorkan ibunya. Meminumnya hingga habis, lalu mengembalikan gelas yang sudah kosong ke tangan Ny. Furla. "Selalu di hari Minggu."

"Mimpi hanya bunga tidur," bujuk ibunya lagi.

Tawan mengangguk. Tak sepenuhnya puas dengan cara ibunya menenangkan. Gadis itu menunduk, membentangkan kedua telapak tangannya yang penuh luka di depan wajah. Belum sembuh yang kemarin, hari ini luka baru muncul di atas yang lama.

"Mimpi adalah semua ingatan yang pernah kita alami. Mimpi tersusun dari apa yang pernah kita lihat dan dengar. Apa itu masuk akal bagimu, Ibu?" tanya Tawan sambil menyisir rambutnya dengan jari.

Ny. Furla berpikir sebentar. Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup untuk mengenal dan belajar sabar saat menanggapi cara berpikir Tawan.

"Mungkin. Kalau bukan dari ingatan tak akan ada gambaran yang muncul kan?" Ny. Furla menjawab.

Ia memandangi mata Tawan, sekelebat ingatan tentang suaminya muncul. Ny. Furla merindukan Visana. Namun, setiap kali ia berusaha mengingat bagaimana kematian suaminya terjadi. Ia tak pernah berhasil. Ia juga ingin punya mimpi seperti Tawan, sayangnya... almarhum suaminya itu tidak pernah muncul dalam bunga tidurnya sama sekali.

Barangkali benar kata orang, trauma dapat membuat otak manusia bertindak sebaliknya. Membangun tembok tinggi dan berusaha mengubur hal-hal menyakitkan yang mungkin tak mampu ia hadapi. Mungkin juga di atas sana, Visana ingin kehidupan istri dan anaknya terus berjalan. Tapi, seharusnya sepuluh tahun sudah cukup untuk menyembuhkan diri.

Satu-satunya keyakinan perempuan itu adalah untuk tetap tegar demi anak mereka. Tawan.

"Berarti ini mimpi buruk yang aneh." Tawan mengingat kembali. Menyentuh dadanya yang perih. Seseorang telah menusuknya dengan sesuatu yang runcing di sana. Tentang apa benda itu, pisau atau pasak dari besi, ia tak ingat. Sekali lagi, itu hanyalah mimpi.

"Kenapa begitu?" tanya Ny. Furla sambil medistraksi pikirannya sendiri dengan kegiatan lain. Ia berjalan ke lemari baju Tawan, memilah-milah pakaian anaknya. Jari-jarinya asik menunjuk satu persatu warna yang ada. Kemudian Ny. Furla memutuskan. Pilihannya jatuh pada sehelai terusan berwarna biru. Ia menaruhnya di sandaran sofa tunggal berlengan di depan jendela kamar anaknya dengan hati-hati agar baju itu tidak kusut.

"Karena aku tak punya ayah." Tawan berkata lirih. Ia khawatir apa yang ia katakan dapat merusak suasana hati ibunya. Tapi ia tak tahan, selama ini setelah kematian ayahnya ia hanya memiliki Ny. Furla. Ia tak ingin menyimpan apa pun dari ibunya.

Seperti ibunya, Tawan tak punya ingatan apa pun soal ayahnya yang telah mati. Meski ia berusaha mengingatnya. Mungkin karena waktu itu Tawan masih terlalu kecil. Sehingga ada banyak hal yang ia lupakan. Sering tetangga mereka berusaha meyakinkan, tapi semua cerita terdengar begitu berbeda satu sama lain. Sampai sekarang, tak ada satu pun cerita yang bisa membuatnya puas apalagi percaya.

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang