6

211 22 0
                                    

6

Sudah lima jam kira-kira, ketika lelaki bernama Marlon dan anaknya—Ira meninggalkan rumah Ny. Furla. Matahari sudah condong ke barat. Bunyi-bunyian dari sekoloni burung yang terbang pulang, terdengar menjauh. Suara hentakan kapak yang membelah kayu bakar menghilang pelan-pelan. Sementara, kodok dan jangkrik memulai pemanasan.

Malam sebentar lagi datang, dan Tawan belumlah bisa benar-benar percaya pada apa yang terjadi padanya seharian ini.

Pertama, Marlon. Kekasih ibunya pastilah bukan lelaki biasa. Tawan seperti tidak memiliki kesempatan untuk membaca pikirannya juga anak gadisnya. Atau malah, bakat Tawan punya pengecualian sekarang?

Tawan dapat mengetahui isi kepala orang lain sejak kecil, dan sampai tadi, belum ada yang terlewatkan darinya. Atau mungkin Tawan hanya belum menyadari bahwa semua hal selalu memiliki keterbatasan. Tapi, mengapa begitu kebetulan?

Kedua, Ira. Anak gadis Marlon itu. Ia terlihat bersahabat. Ia membantu Tawan untuk mengingat kembali tragedi yang menimpa ayahnya. Tapi mengapa ia harus masuk lewat jendela? Kenapa ia tak masuk lewat bawah saja? Seperti apa yang dilakukan ayahnya? Mengapa Ira berpura-pura tak mengenali Tawan setelah itu? Apa Ira menyembunyikan pertemuannya dengan Tawan dari ayahnya sendiri? Mengapa? Apa ia punya rencana lain di luar rencana yang mereka berdua sepakati? Atau, adakah hubungannya mereka dengan pembunuhan ayahnya?

Sayangnya, lagi-lagi Tawan belumlah dapat memahami teka-teki di hadapannya. Dan informasi yang disuapkan padanya terlalu setengah-setengah. Ia malah merasa semakin disesatkan sampai pada titik bahwa ia yakin dirinya tak akan bisa tidur nyenyak malam nanti.

Sering kali Tawan menjelaskan pada ibunya; kalau pikiran manusia banyak bentuknya. Ada yang berupa lemari. Semua ingatan diletakkan di dalam laci, di rak-rak seperti sebuah kamar penuh buku dan kertas.

Beberapa berbentuk kolam, penuh dengan gambar yang berenang, seperti ikan. Kadang meloncat tiba-tiba, kadang berenang ke permukaan, kadang menenggelamkan diri di dasar air. Ada juga yang menempel di sela-sela lumut, butuh usaha untuk menggalinya tanpa mengaduknya.

Ada yang berupa tumpukan sampah. Semuanya ada di sana, hanya butuh membongkarnya, mengubek-ubeknya.

Setiap manusia punya struktur berpikir yang berbeda. Masing-masing menempatkan sesuatu dengan klasifikasi dan urutan yang berbeda. Tak selalu alfabetis, tak selalu numerik. Kadang dikategorikan berdasarkan prioritas. Kadang, terlalu amburadul jika ingin mengkategorikannya.

Ada yang berupa tebing dan jurang. Beberapa seperti gua yang gelap. Yang tak memungkinkan Tawan untuk masuk ke dalam sana.

Memang sulit bagi Tawan untuk menjelaskan bagaimana awalnya ia bisa membaca isi kepala orang-orang di sekitarnya. Ia sendiri sudah lupa kapan pertama kalinya. Yang Tawan ingat, ia hanya sudah melakukannya sejak dulu. Ia tak pernah berusaha membuktikan kebenarannya, gadis itu pun tak pernah menolak kemampuannya. Malah, ia tidak pernah berusaha—sepertinya.

Hanya saja, Tawan lebih sering sibuk memutuskan mana yang ingin ia ucapkan, mana yang tidak ingin disampaikan. Sejak kapan ia bisa memilah informasi itu, ia juga tak bisa menjelaskan. Ia hanya ingat bagaimana dulu guru-guru dan teman sekolahnya menjauh karena dirinya dianggap seorang provokator. Tukang mengadu. Dan hukuman-hukuman itu, Tawan tak merasa hukuman yang ia dapatkan dulu menyakitkan atau terlalu berat untuk dijalani. Hukuman itu hanya membuatnya merasa malu di depan teman-temannya.

Biasanya isi kepala mereka berupa suara, yang begitu mengganggu. Adakalanya berupa adegan visual seperti holografi, rekonstruksi kejadian yang dapat muncul di mana saja. Kerap muncul dengan warna monokromatik, sesekali polikromatik. Hanya sebatas melihat dan mendengar, Tawan tak pernah punya daya untuk terjun langsung ke dalam kejadian itu apalagi melakukan sesuatu untuk merubahnya. Tawan hanya seorang yang bisa membaca pikiran, tapi dia bukan pengelana waktu.

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang