1

962 60 9
                                    

1

"Dalam mitologi, ada dua belas jenis mahluk yang namanya dicatatkan untuk menamai setiap tahun. Mahluk-mahluk tersebut dihargai, dipuja, dihormati sebagai pemberi tanda bahwa keberuntungan dan keruntuhan sudah dibagikan dengan adil. Semua manusia mengetahui legenda ini. Mereka mengingatnya. Setiap orang telah dipilihkan satu berdasarkan tahun kelahirannnya. Sampai hari ini." Lelaki itu membenarkan posisi tubuhnya. Ia mendesakkan badan dan menekuk kakinya yang jangkung ke atas tempat tidur super kecil milik Tawan—anak perempuannya. Sehingga kini telapak kakinya terlihat menggantung rendah dengan posisi yang aneh.

Tawan. Bayi perempuan yang ia temukan sepuluh tahun lalu. Terlantar, di kaki sebatang pohon pinus tua, satu-satunya di kota Este yang batangnya bercabang dua. Visana memangku kepalanya dengan sebelah lengan, menjajarkannya di bantal dengan susah payah agar dapat melihat wajah gadis kecil kesayangannya itu. Ia akan mulai merapalkan cerita tidur.

"Tapi, tidak ada yang pernah benar-benar mengingat, dalam pemilihan kedua belas mahluk tersebut, ada satu mahluk yang tidak tercatat. Meski ia ada di sana pada waktu itu. Ia telah diperdaya, ditipu. Ia merasa cukup pantas mendapatkan hak yang sama dengan mahluk lain. Sayangnya, Dewa Langit telah membuat keputusannya. Di sisi yang lain, Dewa Neraka melihat semuanya. Ia tidak hanya melihat ketulusan hati dari mahluk yang telah dikhianati. Ia melihat setitik kebencian serupa api di sana," tutur Visana.

Tawan menoleh untuk mengamati wajah ayahnya. Ia mengedipkan mata beberapa kali. Sebentar lagi ia akan menggumamkan pertanyaan. Seperti malam-malam yang lain. Ia membiarkan ayahnya mengelus rambut depannya, membawa rambut itu ke belakang agar tak menghalau pandangannya. Ketika Tawan membuka mulutnya, Visana sudah siap mendengarkan.

"Apa Dewa Neraka adalah orang yang jahat?" tanya Tawan.

Ayahnya, yang selalu tersenyum setiap kali pertanyaan-pertanyaan muncul dari bibir anak itu menjawab, "Tidak juga. Dengarlah dulu sampai selesai." Visana memandang mata Tawan.

Dalam mata itu, terdapat sebuah misteri yang begitu besar, yang ia sendiri tak berani untuk menjelajahinya. Ia tak yakin akan selalu siap dengan kejutan lain yang mungkin muncul jika mencari tahu. Tawan mengangguk. Tapi, dalam pikirannya sudah dipenuhi rentetan pertanyaan lain yang takut ia lupakan ketika cerita ayahnya selesai. Sementara suara serangga malam mulai terdengar konstan, membawa kantuk seperti sekelebat kabut bening ke mata anak kecil itu.

Sekuat tenaga Tawan mengatupkan rahangnya, agar Visana tak melihatnya menguap. Ia ingin mendengar cerita ini sampai selesai. Ia tak akan bisa menahan rasa penasarannya sampai besok pagi, sampai malam datang kembali.

"Sekembalinya mahluk itu ke dunia, ia dan bangsanya telah menjadi mahluk yang berbeda. Mereka tidak lagi seekor kucing biasa. Mereka berdiri dengan dua kaki. Bulu-bulu menyusut ke dalam kulit—mereka berbentuk manusia. Mahluk itu bernama Lumons. Mereka tak lagi mewakili apa pun, mereka menjadi mahluk yang merdeka. Memiliki kemampuannya sendiri untuk bertahan, menjadi predator dengan insting tajam—membuat dirinya berada dalam lingkaran ekosistem abu-abu milik manusia—terhadap manusia lain selama berabad-abad. Sampai hari ini.

"Lumons—mahluk mitologi yang tidak pernah diakui keberadaannya itu—dulunya sekoloni kucing besar dengan karakter penyihir yang persuasif. Begitu berwibawa, berkarisma sekaligus mengintimidasi. Juga cerdas dan tangguh. Mereka tak hanya membaca pikiran. Mereka mengacaukan pikiran. Ada yang bisa membaca masa depan, ada yang membaca masa lalu. Mereka juga berburu, binatang atau manusia, bukan masalah. Semua tergantung niat hatinya, atau sekedar pertanyaan hari ini mau makan apa.

"Mereka—Lumons, masih senang mempermainkan mangsanya. Mereka memiliki kemampuan yang berbeda. Karakter predator didapatkan dari evolusi, lingkungan dan kemampuan mereka mempertahankan diri, dari mahluk lainnya. Dari semua jenis binatang atau bahkan siluman lain. Kini jadi susah membedakannya. Karena mereka sudah sama bentuk dengan manusia. Setiap Lumons memiliki aisikla—bentuknya seperti juntaian es yang tajam sebagai senjata, alat berburu dan bertahan hidup. Aisikla bisa muncul dari mana pun, telapak tangan bahkan setiap pori-pori di tubuh mereka."

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang