9

173 17 0
                                    

9

Menggendong Tawan tak membuat Ira merasa lelah sama sekali. Ia berlari secepat mungkin, meloncat dengan ringan ke jendela kamar Tawan. Ira kemudian meletakkan tubuh itu di atas tempat tidur. Pelan-pelan ia menutup tubuh Tawan dengan selimut.

"Jadi, kamu seorang Reeda sungguhan," kata Ira yang kini duduk di sisi Tawan, sambil memikirkan perlakuan Visana selama ini terhadap Tawan.

Visana yang telah memungut Tawan. Lelaki itu menjaga dan memelihara Tawan seperti anaknya sendiri. Reeda atau bukan, Visana tak akan mau membunuh seorang bayi yang tergeletak di kaki sebatang pohon. Ia Weesa sejati.

Ira sendiri telah berjanji pada Visana, untuk menjaga dan membimbing Tawan. Ia menghabiskan dua puluh tahun untuk mengintip dari ujung pohon jati di depan rumah keluarga Furla setiap malam. Tapi baru sekarang ia tahu kalau Tawan sebenarnya bisa melindungi dirinya sendiri.

Tahu akan begini, seharusnya Ira memperkenalkan dirinya lebih awal. Mengingat, Tawan adalah Reeda terakhir, satu-satunya yang memuja Dewa Neraka. Semua energi leluhur akan jatuh ke dalam tangannya. Ira membayangkan akan semengerikan apa kekuatan yang dimiliki Tawan nanti.

Barusan ia sudah melihat bagaimana Tawan membuat lawannya bertekuk lutut bahkan seolah tanpa kesadaran dan usaha.

Sebelum Ira sempat menjauh, Tawan membuka matanya. Mereka bertatapan. Ira tak berani membuka suara. Ia memastikan perempuan di hadapannya bukanlah monster kelaparan yang mengamuk beberapa menit lalu.

"Jawab aku Ira, siapa kamu sebenarnya?" Tawan bertanya dengan suara serak.

Ira melangkahkan kaki ke jendela pelan-pelan. Ia menjawab dalam pikirannya. Ia biarkan Tawan membaca isi kepalanya.

"Dalam mitologi hanya dua belas mahluk yang selalu dikaitkan dengan sifat dasar manusia. Dewa di langit membagi tahun untuk mereka. Dan kita, tidak termasuk di sana." Ira bersandar di sofa. Ia seringkali merenggangkan ototnya dengan cara yang aneh. Lalu melengkungkan badannya sambil menggosok-gosok hidungnya.

Tawan yang merasa sangat mengenal kisah itu, ia mengangguk. "Aku pernah mendengar dongeng itu dari Ayah."

"Kita adalah yang ketiga belas. Atau seharusnya yang pertama. Tidak tercatat. Tidak terhitung. Itu kenapa banyak masalah yang terjadi. Masalah validasi. Eksistensi. Sebenarnya aku tak perduli soal itu, kalau bukan karena kamu," jelasnya, lalu Ira berhenti. Ia memandang Tawan sebentar, menarik nafasnya dalam-dalam kemudian dengan pasrah ia berkata, "Kita ini Lumons, Tawan."

Tanpa menunggu tanggapan Tawan, Ira melanjutkan, "Visana adalah seorang Lumons. Tapi Ny. Furla bukan. Dia manusia biasa. Dia tak tahu apa pun. Dan tak boleh tahu apa pun."

Tawan melebarkan matanya. Satu-persatu ingatan tentang Lumons mengalir di kepalanya. Suara ayahnya terdengar lagi. Suara itu, yang menenangkannya setiap malam dengan kisah-kisah mitologi. Sebelumnya terdengar seperti sebuah bualan. Tawan tak menyangka, kini dirinya menjadi bagian dalam cerita itu.

Dan begitulah cara ayahnya untuk memberitahunya. Dan ia tak pernah mengerti. Tawan merasa bersalah. Hatinya sakit karena rasa bersalah dan waktu yang sudah terbuang sia-sia selama ini.

Lalu kematian ayahnya, pembunuhan itu. Tawan tiba-tiba tak ingin tahu apa-apa.

"Aku mohon, Ira. Jangan diteruskan, biarkan aku tidur dulu. Kamu pulanglah sekarang. Aku akan baik-baik saja," tolak Tawan. Ia mulai dapat membaca apa yang Ira pikirkan. Namun, Tawan merasa lelah, begitu juga dengan gadis bernama Ira itu.

"Aku tak akan jauh. Lagipula kita akan menjadi saudara, ya 'kan?" tanya Ira sambil bersiap melompat ke luar jendela.

Ira tahu kalau ia tak bisa meningalkan Tawan dalam keadaan seperti ini. Namun, karena mendengar suara langkah Ny. Furla di tangga, Ira memutuskan untuk menjaga perempuan itu dari luar. Kalau-kalau akan sesuatu terjadi pada Tawan setelah insiden di gubuk tadi.

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang