8

159 13 0
                                    

8

"Kita seharusnya menghindar, Tawan... Bukan malah mendatanginya!" Ira berjalan cepat, tidak terlalu setuju dengan perubahan rencana Tawan yang tiba-tiba. Dan sejak awal ini seharusnya menjadi rencananya. Tawan seharusnya menurut. Gadis itu belumlah tahu banyak. Ia tak mengerti akan apa yang sedang dihadapinya.

Awalnya Ira memang menarik tangan Tawan menjauh. Tapi si gadis Reeda begitu penasaran. Dengan cerdas ia memutari hutan pinus dan membawa mereka kembali pada tempat terakhir cahaya biru itu terlihat.

Setelah ingatan tentang kematian ayahnya kembali, cahaya biru muda itu mengingatkannya pada para pembunuh Visana. Tawan hanya ingin melihat wujud mereka. Ia tahu tak akan bisa berbuat apa-apa.

Mungkin juga setelah melihat wujud mahluk itu, Tawan akan lari terbirit-birit. Namun, penting baginya mengingat wajah mereka. Sekarang, mendengar keluhan Ira adalah hal terakhir yang ingin di dengarnya.

Cahaya biru itu menghilang di sebuah gubuk yang tak terawat—mungkin tak sampai setahun lagi bangunan itu akan roboh. Luasnya sekitar tiga puluh meter persegi. Setengah dindingnya terdiri dari tumpukan bata yang disemen kasar. Sisanya anyaman bambu yang ditempel begitu saja sampai atas. Sementara atapnya ditutup dengan bambu dan alang-alang kering.

Gubuk itu begitu sederhana, mungkin hanya digunakan sebagai tempat singgah untuk pemburu atau pencari kayu bakar yang kemalaman. Gubuk tersebut berisi pencahayaan dari lilin dan perapian kecil—untuk sekedar memasak air dan menghangatkan tubuh.

"Dengar, jangan bertindak lancang. Kita hanya akan menguping. Tapi kita tidak ikut campur. Mengerti?" kata Ira pada Tawan.

Keduanya lalu tiarap di antara rimbun pakis yang tumbuh menumpang di bangkai pohon pinus yang tumbang. Ira mengawasi rumah itu dengan awas.

Tawan tak mengeluarkan suara sama sekali. Rasa penasaran sudah menyelimutinya. Telinganya hanya ia pasang untuk mendengar hal lain yang terjadi dalam gubuk usang di depan mereka.

Tawan ingin setuju saja dengan kompromi yang diberikan teman barunya. Tapi ia tak yakin. Sesuatu yang sangat menggelikan menjalar di tulang belakangnya. Bukan sekedar rasa penasaran yang kini menghantuinya.

Di dalam gubuk itu seorang perempuan sedang berdiri di sudut pintu. Ia tak bersuara sama sekali. Rambutnya panjang hitam, nyaris sama seperti matanya yang berkilat-kilat. Di depannya—seorang lelaki yang mungkin berusia empat puluh tahun sedang duduk, tangannya bersandar di meja.

Tawan dan Ira dapat mencium bau tengik dari keringat lelaki yang ketakutan itu. Ia jelas gemetaran, tapi berusaha tak beranjak dari tempatnya.

Tawan menutup hidungnya, ketika untuk yang pertama kali ia bisa mencium rasa takut dari keringat seseorang.

"Ya, selamat datang di dunia kita," bisik Ira. "Sekarang, kita pulang, oke?"

"Kamu bisa mendengar apa yang mereka katakan?" Tawan bertanya karena penasaran. Ia tak dapat mendengar isi pikiran mereka. Sejak bertemu Ira kemampuannya membaca seolah lenyap. Tawan tidak begitu menyukainya. Untuk sebuah alasan ia harus bertanya pada Ira. Ia hanya ingin meyakinkan diri kalau apa yang ia pikirkan adalah yang sebenarnya sedang terjadi.

Ira menggeleng. Bau keringat lelaki itu begitu mengganggunya. Tapi meski ia seorang Seeka sama seperti Lumons lain dalam gubuk itu, ia juga telah belajar untuk hidup layaknya seorang Weesa.

Visana mengajarinya banyak hal. Dan Ira sudah berhenti berburu daging manusia sejak kelahiran Tawan. Tentu, ia juga tak mungkin merampas hasil buruan Lumons lain dengan alasan apa pun. Kolaisi membuat peraturan yang jelas. Juga, ia benci pertarungan semacam itu.

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang