2

373 36 0
                                    

2

Sebenarnya kampung itu memiliki nama. Yang terdengar lebih normal dan bersahaja di kalangan bangsa manusia. Namun, setelah Visana menikahi seorang perempuan biasa, memiliki anak, dan memutuskan pindah ke sana, bangsa Lumons menyebut kampung itu sebagai Kampung Weesa.

Keputusan Visana untuk membangun keluarga mendapat perhatian positif dari suku Weesa yang lain. Satu persatu suku Weesa mengikuti langkah yang dijalani Visana. Mereka pindah ke kampung tersebut, belajar berternak dan berkebun untuk memasok daging bagi suku Lumons yang lain. Dengan harapan pemburuan keji terhadap bangsa manusia akan berkurang. Setelah itu, Koalisi memutuskan untuk menjadikan Kampung Weesa sebagai suaka aman. Artinya tidak ada Lumons yang boleh berburu manusia di sana.

Dari luar, rumah Visana terlihat terlalu sederhana untuk orang yang memiliki jabatan dalam Koalisi Lumons. Ia memang bukan satu-satunya Weesa yang berada di sana. Ia seorang Weesa yang punya prinsip tegas mengenai kekuasaan dan jabatan. Suku Weesa tidak korup. Suku Weesa bertugas sebagai penengah dalam pemerintahan.

Dengan kemampuan intelektual yang ia miliki, Visana dapat membuat penilaian-penilaian dalam diskusi Koalisi lebih objektif dan damai. Ia hanya ingin memastikan sukunya dan suku yang lain mendapatkan perlakuan yang sama. Begitu juga antara Lumons kepada manusia.

Memang, tak ada kaum Weesa yang bodoh, hanya, tak banyak yang menginginkan kekuasaan semacam itu. Mereka mencintai bumi, mereka telah berdamai dengan nasib mereka.

Malam ini berbeda dari biasanya, pikir Visana.

Malam ini adalah pembukaan musim panas. Suara serangga terdengar nyaring saling bersahutan, tapi tidak ada angin yang bertiup sama sekali. Seolah pada malam ini semua angin ditidurkan dengan sengaja. Tidak ada bekas musim yang lalu. Yang ada hanya gerah yang mengalir di kening lelaki itu.

Dengan pandangan yang awas Visana mendekati jendela. Menutupi beberapa bagian kaca dengan tangannya sehingga ia lebih leluasa melihat ke luar rumah. Resah yang ia rasakan belakangan belum punya jawaban.

Sejak minggu lalu Visana memang tidak bisa tidur dengan tenang, mimpi buruk yang sama selalu berputar-putar dalam tidurnya. Bagaimana gadis kecilnya—Tawan berdiri kaku, dengan darah memenuhi setiap jengkal tubuhnya. Anak itu menyeringai, ia terlihat menikmati bau amis itu. Sesuatu yang selalu dijauhkan darinya oleh Visana.

Visana tahu, gadis yang dipungutnya sepuluh tahun lalu adalah Lumons. Tapi, Visana tak berani menggunakan kekuatannya untuk mencari tahu siapa pemilik bayi itu. Memang lelaki itu pernah berpikir untuk menyerahkan bayi yang dipungutnya ke hadapan pejabat Koalisi, tapi sebagai suku Weesa yang memegang teguh keyakinannya, tak adil rasanya membunuh seorang bayi hanya berdasar pada kecurigaan. Ia punya rasa iba waktu itu. Ia mengulur waktu dengan harapan dapat mengambil keputusan yang bijaksana. Jikalau Tawan adalah Reeda terakhir, maka ia akan dengan senang hati menyerahkannya. Tapi, nampaknya kini sudah terlambat untuk menimbang ulang keputusan itu. Ia begitu mencintai Tawan. Ia begitu mencintai keluarga kecilnya.

Untuk menutupi sejarah Tawan, Visana akhirnya memutuskan untuk menikahi seorang perempuan manusia, yatim piatu bernama Furla dalam minggu yang sama. Ia memperdaya pikiran perempuan itu dan berbohong pada anggota Koalisi, agar punya alasan memelihara Tawan.

Sampai hari ini rencana itu berhasil. Visana membuat semua orang percaya bahwa Tawan adalah darah dagingnya bersama perempuan yang manusia itu. Memang pernikahan silang bukan sesuatu yang lazim terjadi pada bangsa Lumons. Tapi, kenyataan ada di depan mata. Mau tidak mau anggota Koalisi menerimanya. Menganggapnya sebagai rahasia langit yang tidak bisa ditawar. Mereka tidak keberatan, karena anak manusia tidak pernah menjadi ancaman untuk bangsa Lumons.

Dari luar jendela, dua sosok berjubah mengawasi dalam gelap. Lelaki yang lebih tua sedang mengelus jenggot putihnya sambil berpikir. Sementara tangan kanannya, seorang lelaki yang tak memiliki rambut sama sekali di kepalanya sedang menggosok lengannya karena cuaca yang lembab membuat telapak tangannya lengket.

"Ayo kita pergi Gregora, tak ada yang bisa kita lakukan di sini." Lelaki botak itu mulai bicara. Ia tak menoleh pada Gregora sama sekali. Pandangan mereka masih disibukkan oleh gerak-gerik Visana.

Lelaki yang menjadi target mereka sedang duduk di sofa tunggal berlengan sambil menyalakan pipa rokok. Sementara istrinya yang manusia, duduk di sofa tunggal yang lain di sebelahnya sambil melipat pakaian.

"Sampai aku tahu apa yang ia sembunyikan, aku tak akan bisa tenang." Gregora bicara lalu meludah. Ia tak membenci Visana, ia hanya merasa lelaki itu menyembunyikan sesuatu darinya. Dan Gregora tidak menyukai rahasia. Karena rahasia seringkali menjadi awal dari sebuah pengkhianatan. Ia takut kekuasaannya lenyap begitu saja jika tak bersikap awas.

"Bagaimana kita tahu kalau Visana menyembunyikan sesuatu kalau dia tak memikirkan apa pun?" tanya Aldora.

"Dengarkan baik-baik, Nak. Apa benar ia tidak sedang memikirkan apa pun?" Gregora masih belum merasa puas dan ingin memastikan sekali lagi.

Dada Aldora terasa nyeri setiap kali lelaki di sebelahnya memanggilnya 'nak', ia teringat bagaimana dulu saat Gregora menemukannya. Ia yatim piatu. Sudah puluhan tahun perang antara Koalisi dan Reeda terjadi. Dan, bangsa Reeda telah membunuh habis keluarganya. Kalau bukan Gregora yang menyelamatkannya, ia pasti tidak ada di sini sekarang.

Aldora mengusap air matanya yang hampir menetes. Kadang ia merasa dirinya terlalu sensitif. Jadi ia lebih banyak diam, ia tidak ingin siapa pun mengolok-ngolok sikapnya yang terlalu lembut.

Namun, di sisi lain, Gregora selalu merasa Aldora melindunginya;

Sejak perang melawan Reeda usai, Gregora tua kehilangan bakatnya untuk membaca pikiran. Ia bahkan tak selalu punya daya untuk melepaskan aisikla. Beberapa lama ia merasa bencana ini adalah hukuman yang diberikan Dewa Langit untuknya. Gregora sempat memutuskan untuk mundur dari jabatan di Koalisi.

Tapi jabatan ini adalah satu-satunya yang dia inginkan. Kekuasaan ini adalah jerih payahnya. Dan Aldora meyakinkannya. Setuju untuk membantu Gregora dengan setia.

Meski Aldora bukan Lumons yang terkuat seperti apa yang dikatakan orang-orang tentang enam Lumons lainnya. Tapi Gregora bergantung padanya. Lelaki tua itu hanya percaya padanya. Dan, Aldora tahu benar bagaimana jabatan sebagai pemimpin Koalisi begitu penting bagi Gregora.

"Ya, tapi kalau kamu ingin menunggu, aku akan ada di sebelahmu," katanya, ia dapat membaca pikiran Gregora yang mulai kusut.

Gregora menegarkan nafas.

"Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita pergi sekarang. Bau manusia membuatku lapar dan aku tidak bisa melanggar peraturan yang kubuat sendiri."

Lalu mereka meloncat dengan cepat dan menghilang di balik kegelapan hutan.

Secara kebetulan, angin bertiup kembali dan mengembalikan kesejukan Kampung Weesa yang biasa sehingga serangga malam yang berisik sejak tadi dapat tertidur.

Visana sudah merasa lebih tenang sekarang. Ia segera membersihkan pipa rokoknya. Ia mengetuk-ngetuk pinggiran asbak tanah liat untuk membuang sisa abu dari thyme kering kegemarannya. Sekali lagi, sebelum menuntun istrinya pergi dari ruang tamu, Visana menatap jauh ke luar jendela menuju ujung atas pohon jati.

Di sana, seorang gadis meringkuk dengan sepasang bola mata hijau kecoklatan yang bening hingga nyaris seperti menyala.

"Apa mereka sudah pergi?"

"Baru saja."

"Pulanglah, Ira. Ayahmu pasti sedang mengkhawatirkanmu."

Percakapan itu hanya ada dalam pikiran mereka. Karena keduanya sama-sama bisa membaca dan mengendalikan siapa yang boleh membaca pikirannya.

Visana melambai ringan, setelahnya sosok misterius bernama Ira pun pergi. 

Semesta Mikroskopis - GXG - LingOrm - (Sudah Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang