Prolog

169 14 0
                                    

"Kenapa senyum-senyum? Aneh tau gak."

"Hehe." Gadis dengan seragam sekolah menengah atas itu tampak menatap laki-laki dihadapannya dengan teliti, lalu dengan cepat tangannya menggambar sesuatu diatas sebuah kertas.

"Jadi anak SMA emang sesantai ini ya?"

"Gak sih." Balasnya, "Aku aja yang sering bolos akhir-akhir ini. Soalnya capek. Sekarang lagi pengen istirahat."

"Bolos apa kerja paruh waktu?"

Perempuan itu tampak terkejut, "Kamu tau aku kerja?"

"Tau. Minimarket Danbi kan?"

Ia mengangguk, "Wah, kamu ngestalk aku ya?"

Pria itu menghela nafas, lagi-lagi anak SMA itu tersenyum karena berhasil menggoda anak kecil itu.

"Kamu baca apa sih? Serius banget dari tadi."

"Dikasih tau pun kakak gak bakal ngerti."

"Ooh, begituuu."

Dengan cepat ia merampas buku dari tangan bocah itu, dan terkejut ketika melihat apa yang dibacanya.

"Sejarah musik? Bukannya ini buku anak SMA seni?"

"Balikin." Ia berusaha merampas, namun tidak bisa

"Eh bentar dulu. Berarti kamu bisa main alat musik apa aja?"

"Balikin kak."

Laki-laki itu berhasil menangkap lengan perempuan tersebut, namun tiba-tiba saja ia mengaduh kesakitan, membuat lelaki itu bingung. Segera ia mendekat dan menggulung lengan baju hingga ke siku. Disana ia terkejut melihat banyak lebam di tangan si perempuan.

"Ini kenapa?"

"A-ah...ini," ia buru buru menutupi lukanya, "Kesenggol meja pas kerja di kafe. Biasalah, aku kan ceroboh anaknya." Jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Kakak kira aku bodoh?" Geramnya, "Ulah teman sekolah kakak lagi?"

"Mereka gak sengaja." Elaknya, "Udahlah, aku gapapa kok, aku kan perempuan kuat! Kamu khawatir yaa?" lagi-lagi dia tersenyum

Apa dia tidak capek tersenyum terus? Batin laki-laki itu.

"Kakak diganggu kan?! Kenapa gak pernah melapor ke guru atau keluarga?!" bentaknya kesal.

Gadis bersurai hitam itu menjauhkan tangannya, "Aku gak suka membuat ibu khawatir. Lagi pula, kalau aku diam dan melewati semuanya dengan tenang, aku bisa lulus sesuai keinginan ibu." Ujarnya lagi-lagi dengan senyuman. Padahal situasi yang dia alami bukan hal yang membahagiakan.

Astaga! Tuhan, apakah kau bisa membuat gadis ini berhenti tersenyum? Celetuknya tanpa sadar.

"Kakak bahagia hidup kayak gitu?" Sarkasnya, namun perempuan itu tampak tidak tersinggung sama sekali.

"Mau gak mau aku harus merasa bahagia," balasnya, "Kamu tau? Semakin kamu memikirkannya, maka kamu merasa hidup bakalan semakin berat. Yang penting kita berusaha sekuat mungkin untuk mencapai tujuan. Selagi Tuhan masih memberikan kita kehidupan, maka kita harus bahagia. Apa dengan menangis atau marah akan menyelesaikan masalah? Tidak kan?" Nasihatnya panjang lebar.

"Kakak terlalu positif. Sesekali kita boleh marah, kesal, dan nangis kalau yang kita alami memang hal buruk. Kita kan bukan robot." Celetuknya.

"Gemasnya!" Ujarnya sambil mencubit pipi laki-laki itu, "Anak cowok yang waktu itu nangis kuat pas terkurung sekarang udah bisa nasehatin aku yaa?"

"Aku serius loh kak."

"Iya aku ngerti." Ujarnya, "Tapi omongan kamu juga cocok untuk diri kamu sendiri. Anak seusia kamu harusnya lebih banyak bermain. Jadi jangan terlalu serius belajarnya! Sesekali lakukan hal yang membuat kamu bahagia, lalu tersenyum, kayak gini."

Laki-laki itu pasrah ketika perempuan dihadapannya sedang membuat wajah senyum sambil memaksakan bibirnya ikut tersenyum dengan menggunakan kedua jari telunjuknya. Baginya, bisa menghabiskan waktu dengan perempuan ini adalah kebahagiaan.

"Kamu makin tampan kalau tersenyum."

Pujian itu berhasil membuat telinganya memerah.

"Cieee, kamu bisa malu juga ya? Hm?"

"Apasih kak!" Ia berdiri dan memasukkan buku ke dalam tas, "Aku mau pulang. Nanti dicariin supirku."

Gadis itu ikut berdiri lalu melambaikan tangannya.


"Sampai jumpa lagi, Haruto!"


*****

"Haruto! Tau gak di SMA sebelah ada kejadian gila barusan."

Dia tampak tidak peduli.

"Ada yang bun*h diri!"

Atensi Haruto teralihkan dari bukunya menunju ponsel Doyoung. Netranya membulat sempurna ketika melihat beberapa foto di tempat kejadian. Satu-satunya wajah familiar ada disana, bukan sebagai penonton,

,melainkan sebagai orang yang terbaring kaku bersimbah darah, di tengah tengah kerumunan orang banyak.


"Kakak!"




------

Aku menyesal telah meminta Tuhan untuk membuatnya berhenti tersenyum

Bukan ini yang aku inginkan.

Cahaya itu telah pergi, menyisakan kegelapan yang tidak akan hilang sampai kapanpun

Bagaimana bisa aku bahagia?

-------

The Light In Your EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang