As a woman from cheating environment, aku perlu bilang bahwa selingkuh tidak hanya menyakiti pasangan, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Bahkan jika tidak menyakiti secara langsung, itu akan tetap meninggalkan bekas yang biasa disebut orang sebagai rasa 'trauma'. Trust issue, diliputi kekhawatiran tidak berdasar dalam banyak hal, dan berasumsi liar hanya karena sebuah kejadian.
"Gimana caranya positif thinking, Mas?" aku menatap ke arah Mas Rizal yang sedang fokus dengan layar tab di kedua tangannya. Meski terlihat lelah, tak ada tanda-tanda darinya untuk menghentikan pekerjaan.
"Ada sesuatu yang menganggu kamu, Bee?" dia menoleh sebentar ke arahku, lalu melepas kacamata anti radiasi yang sedari tadi dipakainya itu.
Aku mengangguk. "Ada."
Mas Rizal meletakkan tablet di meja di depan kami, lalu mengambil kedua tanganku dan meletakkannya di antara dua tangannya. "Mau cerita?"
Lagi-lagi aku mengangguk. Memang tujuanku sedari awal adalah ingin membicarakan apa yang ada dalam pikiranku padanya, dan itulah mengapa aku membawa topik obrolan ini. "Mungkin ini akan sedikit berat untuk menjadi obrolan pagi hari di weekend seperti ini, Mas." Ini adalah hari Sabtu, dan dia sudah menghabiskan malam bersama denganku di apartemen. Sengaja menginap karena kami sudah tidak menghabiskan waktu bersama hampir satu bulan lamanya.
"Gak apa-apa, Bee. Mas siap mendengarkan."
Sejujurnya apa yang akan aku katakan padanya ini sudah menempati pikiranku dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan beberapa hari ini aku sudah menimbang-nimbang nya sendiri, dan mempertanyakan pada diriku apakah aku masih bisa mentolerirnya atau tidak. "Kalau aku minta kamu untuk nggak terlalu friendly, kamu keberatan, Mas?"
Mas Rizal memandangku dengan pandangan bingungnya. Sekali lihat dari ekspresinya yang mengernyitkan dahi saja, aku sudah bisa menyimpulkan kalau dia belum menangkap jelas apa maksud dari perkataanku.
"Coba ini dilihat, Mas." Aku mengulurkan ponselku padanya. Membuat ekspresinya sedikit berubah, sebelum akhirnya kembali seperti semula. Mungkin sudah bisa menguasai diri setelah melihat foto kebersamaannya dengan perempuan lain beredar di media massa.
"Mas bisa jelasin, Bee."
Aku menggeleng. "Nggak perlu, Mas." Aku menjeda kalimatku untuk mengambil napas. "Ini bukan kejadian pertama kali kan? aku udah tau penjelasan seperti apa yang akan kamu berikan."
Aku tersenyum. Bukaan senyum bahagia tentu saja, tetapi sebuah senyum miris karena menyadari bahwa tidak ada yang berubah dari obrolan-obrolan yang sempat aku bawa beberapa kali ini. "Aku nggak pernah melarang kamu jadi orang baik, Mas."
"Tapi tolong lebih peka, lebih perhatikan sama apa yang kamu lakukan." Lanjutku menambahkan.
Mas Rizal masih memandang sebuah gambar yang ditampilkan oleh benda pipih persegi milikku. "Mas hanya membantu Arin aja, Bee. Nggak lebih."
"Ini karena angel fotonya aja, jadi keliatannya Mas deket banget sama dia."
Lagi-lagi aku mengangguk. "Mungkin semua orang taunya Mas belum punya pasangan. Tapi harusnya Mas sendiri juga tahu, bahwa Mas Rizal bukan lagi seorang single."
"Maaf," bukannya puas, aku justru kesal dengan ucapan permintaan maafnya yang keluar kelewat mudah ini. Tidak munafik bahwa aku memang menginginkan kata maaf darinya, hanya saja yang lebih penting adalah perubahan sikap dan perilakunya — atau setidaknya sebuah janji perubahan yang dia berikan untuk sedikit menenangkan perasaanku.
"Bukan hanya maaf yang aku butuhin, Mas. Tapi juga kesadaran diri kalau apa yang Mas lakukan memang harus dipikirkan ulang." Ujarku langsung. Mengatakan secara gamblang apa yang aku inginkan dari sosoknya.
"Jangan karena hubungan kita udah lama, Mas jadi berpikir kalau aku sudah terbiasa dengan kelakuan kelewat baik yang Mas miliki." Ini bukan kali pertama kami bertengkar karena alasan yang sama. Namun sepertinya, ini adalah yang terburuk dari sebelum-sebelumnya.
"Aku tetap seorang Jeje, Mas. Perempuan paling rasional yang tidak akan membuang logikanya hanya karena masalah hati."
Meski yang membuatku jatuh cinta padanya adalah kebaikan hatinya itu, tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang akan membuatku kehilangan rasa itu juga hal yang sama. Mungkin benar bahwa dulu aku melihatnya sebagai sebuah hal yang positif, tetapi sekarang berubah menjadi negatif karena dia tidak bisa memasang boundaries. Entah karena terlalu naif atau apa, yang jelas dia tidak menyadari bahwa dia tidak bisa memperlakukan orang dengan sama rata.
"Meski sebagian orang selalu menyayangkan hubungan yang sudah lama, dan sebagain lainnya terlalu mempercayai waktu bisa mengubah seseorang," kembali aku menatap ke arahnya. "Tapi aku bukan perempuan seperti itu, Mas. Dan kamu tau pasti tentang itu."
"Bagaimana pun aku akan memprioritaskan perasaanku dari apapun, jadi jangan sampai Mas menyesal karena terlalu menyepelekan apa yang aku rasakan."
"Mas akan berubah, Bee."
Aku mengangguk. "Mas memang harus berubah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet: Life After Breaking Up
ChickLit"Let's break up, Mas." Kepalanya yang tadinya menunduk, kini menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan. "Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku seben...