Menjalin hubungan secara diam-diam tidak pernah menjadi satu hal yang mudah. Berkali-kali hubungan yang kami jalin mengalami kesalahpahaman, juga ancaman dari berbagai sisi karena kurangnya waktu untuk quality time. Namun sebagai sesama orang dewasa, kami sadar betul bahwa semua masalah harus dipikirkan dan didiskusikan dengan baik. Apalagi tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, meski solusi terbaiknya mungkin saja adalah berpisah.
"Mas memang harus berubah."
I know it's painfull untuk bertemu lagi dengan cinta pertama. Meski yang bersangkutan sudah mengatakan dia sudah tidak memiliki rasa, tetap saja sangat wajar bagi seorang perempuan untuk memiliki kekhawatiran. Terlebih cinta pertama yang ditemui itu dulunya tidak berakhir dengan jelas, jadi semakin memperjelas adanya batas abu-abu antara rasa yang masih ada atau tiada.
Lalu yang tidak bisa dihindari kemudian adalah fakta bahwa kekhawatiran itu terus bertambah besar. Semakin besar hingga bertransformasi menjadi katakutan saat akhirnya dikuatkan lagi dengan teori men first love story. Pikiran-pikiran liar pun mulai memenuhi kepala tentang apakah mereka akan kembali bersama? apakah mereka masih saling menyimpan rasa? atau apakah mereka sering menghabiskan waktu bersama?
Dan harus aku katakan dengan jelas bahwa perasaan semacam itu sangat-sangat menyiksa.
Secara pribadi aku tidak begitu masalah dengan sedikitnya waktu untuk bertemu. Pemikiran-pemikiran dewasa yang aku terapkan dalam hubungan kami sangat membantuku dalam mengatasi overthinking. Namun ada kalanya dalam suatu masa, logikaku tetap tidak bekerja hingga masalah-masalah yang aku sebutkan sebelumnya pun harus aku alami.
Memang sebagai seorang perempuan dewasa dan juga public figure aku tidak berniat untuk mengekangnya. Dunia kami tidak hanya berporos antara satu sama lain. Asalkan kami sama-sama menjaga perasaan dan memupuk kepercayaan maka semuanya akan baik-baik saja. Bahkan ketika waktu bertemu kami sangat terbatas sekalipun. Namun rencana hanya rencana, sebab semesta lah yang ujungnya akan memberikan keputusan. Apakah kami mampu untuk mengatasi segala cobaan yang ada, atau kami harus berpisah setelah memperjuangkannya. Semua mungkin, dan tidak ada yang tahu bagaimana semesta bekerja.
"Ini berbeda dari sebelumnya, kan?" aku menuntut penjelasan pada Mas Rizal. Biasanya dia hanya akan terlibat gosip dengan perempuan yang sama sebanyak satu kali, tetapi dengan si Arin ini sudah untuk yang kedua kali. Terlebih foto yang beredar bukan berlatar sebuah acara formal seperti biasanya, jadi feeling-ku langsung mengatakan bahwa untuk kasus yang ini cukup berbeda.
"Sesuatu pasti terjadi kan?" setelah melihat pemberitaan, aku tetap percaya bahwa ada alasan dibalik kabar itu tercipta. Meski sangat jelas bahwa pacarku — Mas Rizal menemui seorang perempuan dan menghabiskan waktu bersama, aku yakin bahwa yang terjadi tidak seperti yang diberitakan oleh media. Meski alasan yang sebenarnya juga akan tetap sulit diterima karena pasti berkaitan dengan kebaikan hatinya.
"Dia minta tolong sama Mas, karena papanya bersikap abusif."
Aku menarik napas dalam-dalam. Mengisi penuh rongga paru-paru ku dengan oksigen untuk menghindari rasa sesak. "Alasan yang sama dengan kejadian pertama?"
Dia mengangguk pelan. "Kalau begitu Mbak Arin nggak butuh kamu, Mas."
"Dia butuh polisi." Lanjutku sebelum dia menjawab.
"Dia nggak mungkin panggil polisi, Bee."
"Kenapa?" tanyaku menantang.
"Karena akan membuat nama keluarganya buruk?"
Aku tertawa. "Terus merelakan dirinya tetap dianiaya? lalu selalu mengandalkan kamu setiap kali kejadian sama terulang?"
Dahulu setiap melihat wajahnya aku merasa senang. Namun sekarang, rasanya justru menyakitkan. Melihatnya yang berusaha keras untuk melindungi perempuan lain, tetapi dengan tidak sadarnya menyakiti perasaanku.
Aku mendorong sebuah map ke meja yang memisahkan kami berdua. Terlihat beberapa foto ke luar dari dalamnya, yang langsung berefek dengan perubahan ekspresinya. "Kamu yakin nggak mau bawa polisi karena nggak mau buat nama keluarganya buruk?"
"Atau takut karena itu juga akan menyeret nama kamu juga, Mas?"
Aku memundurkan duduk dan menyandarkan punggungku di sofa. Lalu kaki kananku dibawa menyilang di atas kaki kiriku, dan kedua mataku menatap lurus tepat ke arah dua bola matanya. Mencoba untuk mengintimidasi. "Nggak cuma dua kali kan kamu ketemu sama Mbak Arin ini?"
"Maaf," ujarnya lemah.
"Tadinya aku menolak percaya, Mas." Aku memulai obrolan. Pertama kali aku mendapatkan berita itu memang bukan dari media yang tadi aku tonton. Beberapa bulan lalu aku sudah mendapatkan kabar yang sama dari Mas Bisma, tetapi aku menolak percaya dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sebagian hati kecilku masih mengharapkan dia memberikan penjelasan, tetapi tidak pernah ada satu patah kata pun yang diberikannya.
"Aku selalu percaya kalau kamu gak akan setega itu sama aku," dadaku sesak. Tapi aku tak boleh kalah dengan keadaan.
"Aku nggak selingkuh, Bee." Mas Rizal kembali menegaskan bahwa dia tidak berselingkuh.
Aku mengangguk. "Itu dari perspektif kamu, Mas. Bukan dari perspektif aku." Suaraku sudah tak selantang tadi. Meski sudah mencoba, tetap saja aku kalah dengan rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di dalam hatiku. Pada dasarnya aku memang tidak sekuat itu juga, sekalipun sudah berusaha semaksimal mungkin.
"Maaf," penjelasan yang diawali dengan kata maaf selalu berakhir dengan fakta yang tidak diharapkan. Seseorang hanya meminta maaf ketika berbuat salah, dan aku langsung sadar bahwa sepertinya sudah tidak ada yang bisa diharapkan.
Mendengar permintaan maafnya, aku tertawa sinis. "Aku tau dia mantan pacar kamu, Mas."
"Kami nggak pernah pacaran, Bee."
"Tapi sempet suka kan?" dia terdiam.
"Kami gak ada apa-apa, Bee. Kami cuma temen."
"Nggak ada temen yang semesra itu, Mas. Apalagi sampai peluk-pelukan, dan rela terus datang untuk setiap masalah yang bahkan sebenarnya bisa langsung diselesaikan." Aku tidak akan mau tahu bagaimana mereka menjadi dekat kembali. Aku sudah sakit, dan aku tidak ingin menambah sakit diriku sendiri.
"Sekarang aku minta kejujuran kamu." Aku diam sebentar untuk menguatkan diriku sendiri. "Kamu sayang sama dia?"
"Nggak, Bee."Jawabnya tegas, membuatku lega tetapi tidak merasa bahagia.
Aku menggeleng. "Nggak, Mas. Kamu sayang dia."
"Kalau kamu nggak sayang dia, nggak mungkin kamu rela ketemu dia diam-diam dan mempertaruhkan hubungan kita."
"Aku nggak sayang dia, Bee. Aku cuma sayang kamu."
Lagi-lagi aku menggeleng. "Kalau kamu sayang aku, kamu pasti tau batasan dan tidak akan melakukan hal yang menyakiti aku." Mati-matian aku menahan tangis.
"Kalau kamu sayang aku, kamu pasti mikirin perasaan aku sebelum memutuskan untuk membantu dia, Mas."
"Bee, nggak gitu." Dia terus denial. Padahal sudah jelas bahwa dia bertemu perempuan lain di belakangku. Entah untuk alasan apa aku tidak peduli, tetapi berkali-kali bertemu dengan lawan jenis saat sudah memiliki pasangan bukankah tetap sebuah perselingkuhan?
"How about break up, Mas?"
"No. Lets break up, Mas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet: Life After Breaking Up
ChickLit"Let's break up, Mas." Kepalanya yang tadinya menunduk, kini menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan. "Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku seben...