Aku bersiap dengan perasaan yang campur aduk. Hanya memasukan dua pasang baju ganti ke dalam ransel, lalu berjalan mondar-mandir untuk menunggu jemputan yang dikatakan oleh Mas Dimas.
"Ya ampun, Mas. Kok bisa kamu masuk rumah sakit." Ucapku pada diri sendiri. Sembari bolak-balik mengecek hp, memastikan kabar terbaru yang dijanjikan oleh asisten Mas Rizal itu.
"Halo, Mas?" secepat kilat aku mengangkat panggilan masuk dari Mas Dimas. Dia mengabarkan bahwa orang suruhannya sudah menungguku di depan apartemen, dan memintaku untuk segeraa turun.
Aku mengiyakan, lalu langsung mengambil ransel yang sudah siap dan menggendongnya di bahu.
Perjalanan di dalam pesawat benar-benar tidak bisa aku nikmati. Pikiranku dipenuhi dengan Mas Rizal, juga kekhawatiran dengan bagaimana keadaannya sekarang.
"Ibu," aku berjalan mendekat ke arah Mas Dimas. Meski sudah ku tolak, dia tetap memaksa untuk menjemput. Katanya ingin memastikan sendiri bahwa aku baik-baik saja selama perjalanan.
"Bapak sama siapa di rumah sakit?" setelah menolak tawaran Mas Dimas yang ingin membawakan tas ranselku — yang beratnya tak seberapa ini, aku menanyakan kondisi Mas Rizal. Setahuku di perjalanan dinas semacam ini tidak banyak orang yang dia bawa, dan jika Mas Dimas ada di sini berarti berkurang satu orang yang ada di sisinya.
"Saya sudah titip bapak dengan salah satu bodyguard-nya, Bu."
Aku mengangguk. Lalu berjalan mengikuti Mas Dimas untuk keluar dari bandara.
Aku berjalan cepat di lorong rumah sakit. Di jam sembilan malam ini, kondisi rumah sakit tidak terlalu ramai, dan suasananya pun tidak terlalu bising.
"Kenapa Bapak bisa tiba-tiba pingsan?" tanyaku. Meski sedikit aneh karena masih memanggilnya Bapak — walaupun kami sudah putus, aku tidak memedulikannya. Masalah panggilan ini bukan hal yang cukup penting sekarang, jadi menurutku tidak apa-apa.
"Sepertinya karena kurang istirahat dan makan tidak teratur, Bu."
"Vitamin yang biasanya, diminum nggak selama perjalanan dinas?" kali ini kami sudah sampai di persimpangan, dan belok kanan menuju lorong tempat kamarnya berada.
"Tidak, Bu. Bapak bilang vitaminnya ketinggalan."
Aku menghela napas. "Siapa yang bantuin Bapak berkemas? saya kan sudah pernah kasih notes tentang barang-barang wajib yang harus masuk koper waktu perjalanan dinas."
"Tidak ada, Bu. Bapak packing sendiri."
Aku menghentikan langkah. Membuat Mas Dimas yang berjalan di sebelah ku juga melakukan hal yang sama. "Sendiri?" ulang ku memastikan.
"Kata Bapak nggak perlu dibantu, Bu. Saya sudah menawarkan berkali-kali."
"Katanya cuma Ibu yang boleh bantu bersiap. Jadi pas Ibu nggak ada, Bapak mau prepare semuanya sendiri."
Lagi-lagi aku menghela napas. "Bapak nggak ada ngomong sesuatu sama kamu?"
"Ngomong apa?" tanya Mas Dimas bingung. Sepertinya Mas Rizal memang tidak mengatakan tentang putusnya hubungan kami, terbukti dari Mas Dimas yang masih menghubungiku ketika atasannya itu jatuh pingsan.
Aku menggeleng. "Gak papa. Ayo jalan lagi."
Aku memegang kenop pintu dengan perasaan tidak menentu. Rasanya ingin sekali masuk dan memastikan kondisinya, tetapi di sisi lain juga merasa rendah diri karena sudah tak punya hak apa-apa atas dirinya. Kenapa sih, Je? Kenapa lo langsung terbang ke sini padahal udah nggak punya status apa-apa?
"Ibu," aku mengerjap. Suara Mas Dimas berhasil mengembalikan aku ke dalam kesadaran, sebelum akhirnya tersenyum canggung dan mendorong pintu kamar.
Pandangan mata kami bertemu. Tepat saat aku mendorong pintu kamar rawat inap ini, sosok laki-laki yang sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit juga menatap ke arahku. Pandangan kami pun saling terkunci, dengan kedua pasang bola mata yang saling menyelami.
"Bee," gumam Mas Rizal yang masih bisa kudengar. Matanya bahkan berkaca-kaca, seolah melihatku adalah hal yang sudah dia nanti-nantikan.
Tanpa mengatakan apa-apa, aku berjalan masuk. Suara pintu yang ditutup menandakan bahwa Mas Dimas tidak ikut masuk, yang sepertinya memang sengaja karena ingin memberikan kami waktu berdua.
"Bee," gumamnya lagi. Kali ini kedua sudut bibirnya tertarik, memberikan seulas senyum yang ditujukannya padaku — ya, memang hanya aku yang ada di ruangan ini.
Aku mengamati wajahnya yang terlihat pucat. Dia juga terlihat lebih kurus dari terakhir kali kami bertemu, seolah kehilangan semangat untuk hidup. "Gimana keadaan kamu, Mas?" meski khawatir, aku mencoba bersikap biasa. Aku tahu diri bahwa hubungan kami sudah berubah, dan tidak sepatutnya bagiku untuk menunjukkan kekhawatiran.
"Udah lumayan, Bee." Jawabnya.
"Jeje. Kamu bisa panggil aku Jeje, Mas." responku membuat ekspresi wajahnya berubah. "Or Jessi maybe,"
Aku menarik kursi yang ada disebelah dan mendudukinya. Meski sadar dengan perubahan ekspresinya, aku mencoba bersikap biasa.
"Maaf karena udah ngerepotin kamu, Mbak."
Aku terdiam. Mendengar dia memanggilku dengan 'Mbak' seperti saat kami awal-awal pacaran dulu, sesuatu di dalam perutku terasa bergejolak. "Maaf karena Dimas minta kamu untuk datang jauh-jauh ke sini."
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Lidahku rasanya kelu, bahkan untuk sekedar merespon permintaan maafnya. "Sudah makan?" bukannya mengiyakan permintaan maafnya, aku justru menanyakan hal lain. Melihat bahwa piring makanannya masih utuh, aku menebak bahwa laki-laki di hadapanku ini belum makan.
Mas Rizal dan kebiasaan susah makannya ketika sakit memang sulit dipisahkan. Dulu aku lah yang selalu bawel dan memintanya untuk makan, sementara untuk saat ini — aku tidak tahu apakah sudah ada yang menggantikan posisiku atau belum.
Mas Rizal menggeleng.
"Kenapa? nggak pengen sembuh?" tanyaku sarkas. Merasa kesal karena dia belum makan.
"Pahit," jawabnya. Seperti bocah manja saja.
"Makanya jangan sakit kalau nggak pengen rasa makanannya pahit." Aku berdiri, menghampiri piring makannya, dan bersiap untuk menata meja makan.
"Tangan aku lemes, Mbak. Gabisa kalau harus makan sendiri." Seolah tau dengan apa yang ingin aku lakukan, dia mengatakan hal yang sudah aku tebak arahnya kemana.
"Ya udah, aku panggil Mas Dimas dulu buat suapin kamu."
Mas Rizal tergelak. Pasti tidak menyangka dengan responku. "Mbak,"
Lagi-lagi aku terdiam. Panggilan 'Mbak' yang keluar dari mulutnya benar-benar berefek luar biasa pada tubuhku.
"Mbak, maunya disuapin kamu." Dengan suara manjanya, dia meminta. Sesuatu yang cukup langka bagi seorang Leonardo Rizal yang suka bersikap cool dimana-mana.
"Mas," aku memandangnya. "Situasi kita sudah beda sekarang."
Mas Rizal diam, lalu beberapa detik setelahnya tersenyum. "Walaupun udah putus, tapi kita masih temenan kan, Mbak?"
Aku tidak menjawab. Dalam kamusku tidak ada yang namanya berteman dengan mantan. Namun untuk Mas Rizal, bukan kah selalu ada anomali?
Aku menghela napas. "Ya udah aku suapin,"
Lemah banget sih lu, Je!
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet: Life After Breaking Up
Literatura Feminina"Let's break up, Mas." Kepalanya yang tadinya menunduk, kini menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan. "Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku seben...