Sudah lebih dari sepuluh menit aku memandang layar ponsel yang ada di genggaman tangan. Berulang kali membaca pesan yang dikirimkan oleh Mas Bisma, sebelum akhirnya menghela napas lelah.
If you've made a choice, then be responsible for the choice you make
Kalimat itu terus-terusan menggema dalam benakku. Membuatku yang dua hari terakhir ini hanya berdiam diri di dalam apartemen sadar, bahwa apa yang dia tuliskan di dalam pesannya itu memang harus aku pikirkan.
Honestly aku masih tidak menyangka dengan hubunganku dan Mas Rizal yang sudah berakhir. Tidak pernah sekali pun aku membayangkan untuk mengakhiri hubungan kami, apalagi dengan alasan yang seperti itu. Sebab selama ini, aku selalu merasa bahwa memiliki pasangan yang begitu baik adalah sebuah keberuntungan yang patut disyukuri, tanpa menyadari bahwa kebaikan yang sama itu juga bisa membuatku terluka. Makanya meski aku yang memutuskan, aku juga yang akhirnya galau dan mengurung diri sendirian.
"Gue bakal dateng, lo atur aja." Setelah menimbang baik buruknya, pada akhirnya aku membuat keputusan. Mengiyakan desakan Mas Bisma untuk keluar apartemen, dan memulai kegiatan ku kembali dengan menghadiri sebuah acara award di mana aku menjadi salah satu nominasinya.
Aku menyapukan parfum di seluruh tubuh. Mengakhiri sesi persiapan yang sudah aku lakukan sejak hampir satu jam yang lalu, sebelum akhirnya mengambil sebuah tas mini dari sebuah brand ternama dan mencangklongkannya di lengan kiriku.
Meski ini acara cukup penting, aku memberanikan diri untuk mengambil resiko. Tidak mendatangkan MUA karena masih enggan berhubungan dengan orang lain. Toh jika berbicara tentang kemampuan merias diri, aku masih cukup yakin untuk mengatakan bahwa kemampuanku lebih dari sekedar cukup. Sejak dahulu aku memang sudah menyukai hal-hal yang berbau dengan merias diri, jadi kemampuan dalam bidang ini bisa dikatakan cukup lumayan.
Ceklek!
Aku membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Menuju ke ruang tamu di mana seseorang sudah menungguku sejak tadi, yang tumbennya tidak banyak mengeluh meski aku bersiap cukup lama. "Ayo," ajakku ketika melihatnya sedang sibuk dengan benda persegi di genggaman.
Tanpa perlu repot-repot mendekat, aku hanya berdiri sekitar sepuluh langkah darinya dan menunggu respon atas ajakanku tersebut.
"Cakep banget lo, Mba." Decaknya kagum. Entah sungguh memuji, atau sedang menyindir karena persiapanku yang lama.
Mendengar 'pujian' keluar dari mulut Aldi, aku mendengkus. "Sorry lama," pada akhirnya aku meminta maaf. Satu jam bukanlah waktu yang sebentar, dan bocah ini rela menghabiskannya cuma-cuma hanya untuk menunggu persiapanku.
Aldi berdiri dari duduknya dan memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Itu pujian beneran, Mbak, bukan sindirian gara-gara lo siap-siapnya lama."
Kemampuan Aldi dalam membaca pikiran wanita memang perlu diacungi jempol. Meski umurnya masih cukup muda, pengalamannya sudah dipastikan cukup banyak. Makanya hanya dengan permintaan maafku saja, dia sudah bisa menilai bahwa dalam pikiranku itu aku sedang meragukan kalimat pujiannya.
"Iya-iya, percaya." Responku. Malas menanggapi lebih lanjut karena suasana hatiku yang sebenarnya memang belum membaik. Masih memikirkan kisah cinta sedikit rumit yang sedang aku alami, yang sepertinya harus mulai aku ikhlaskan karena sudah berakhir.
"Ayo!" Tanpa mengindahkannya yang masih ingin membalas, aku langsung mengajaknya pergi - untuk yang ke dua kali. Sengaja memotong ucapannya dengan memburu-buruinya untuk segera mengikutiku yang sudah mulai melangkah menuju pintu keluar.
"Kenapa tiba-tiba dateng?" setelah masuk ke dalam mobil dan memastikan bahwa dudukku nyaman, aku menoleh ke arah Aldi yang ada di kursi penumpang sebelah. Kebetulan malam ini kami menggunakan sopir, jadi kami cukup leluasa untuk melakukan obrolan.
"Mas Bisma minta tolong gue," jawabnya singkat.
Aku mengangguk mengerti. Mas Bisma memang mengatakan bahwa tidak bisa menemaniku pergi malam ini, tetapi sebenarnya aku juga sudah mengatakan bahwa tidak apa-apa bagiku untuk pergi sendir. Asalkan masih ada supir, maka dia tidak perlu khawatir. Hanya saja dia mungkin was-was, apalagi dengan kondisi mentalku yang sedang tidak stabil. Makanya meminta tolong pada bocah ini untuk datang menjemput.
"Kok lo mau? emang belum ada partner?" tanyaku untuk mengisi keheningan. Tidak mungkin kami hanya saling diam, sebab perjalanan menuju venue sedikit lumayan. Apalagi di sini aku lah pihak yang dibantu, jadi harus sedikit lebih tau diri. Walaupun masih tidak ada semangat, aku mencoba untuk melawannya.
Tanpa menoleh ke arahku, Aldi menjawab. "Udah."
"Terus gimana? kita jemput dia dulu?" tanyaku mengonfirmasi. Pasalnya jika dia mengatakan sudah ada partner, maka harusnya 'orang itu' juga akan bergabung dengan kami.
Kali ini Aldi menatapku dan menggeleng. "Nggak." Jawabnya lagi, begitu acuh.
"Ngapain repot-repot harus jemput dulu," lanjutnya.
"Terus?" aku masih heran dengan jawabannya. Apa maksudnya dia berjanji dengan perempuan itu untuk langsung bertemu di sana?
"Gue udah batalin."
Mataku membola sempurna. Dengan entengnya dia mengatakan kata 'membatalkan', yang seratus persen aku yakini dia katakan dalam waktu beberapa jam sebelum acaranya dimulai.
"Lo gila?"
Aldi mengernyitkan dahi heran. "Nggak. Gue baik-baik aja."
"Terus kenapa lo batalin janji sama temen lo itu?" aku mencecar. Tidak habis pikir dengan jawabannya yang begitu santai ini.
"Kan gue harus jemput lo," jawannya masih terlihat bingung. Padahal jelas-jelas keputusannya salah, tetapi dia masih bisa bersikap biasa saja.
"Jemput gue bukan sebuah kewajiban, Al. Apalagi kalau sebelumnya lo udah ada janji."
"Janji gue gak begitu penting, Mbak. Aman." Dia menggerakan tangannya, seolah memperkuat kalimat yang mengatakan bahwa janjinya tidak penting.
"Tapi masih lebih penting daripada harus jemput gue."
"Kata siapa?"
"Masih pentingan jemput lo lah, Mbak." Lanjutnya. Membuatku diam karena tidak menyangka dengan jawabannya yang terlalu blak-blakan.
Gue hampir lupa siapa Aldi ini.
Memang selalu seenaknya, apalagi kalau perihal perempuan.Dasar buaya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet: Life After Breaking Up
ChickLit"Let's break up, Mas." Kepalanya yang tadinya menunduk, kini menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan. "Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku seben...