"No. Let's break up, Mas."
Mendengar pernyataan itu keluar mulus dari mulutku membuatnya kaget. Kepalanya yang tadinya menunduk dan enggan menatapku pun melakukan hal yang berbeda, menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan.
"Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku sebentar. "Atau lebih tepatnya belum sempat selingkuh karena terlanjur ketahuan." Dia berusaha untuk menyanggah argumen yang aku berikan, tetapi urung melakukannya karena aku mengangkat tanganku untuk memintanya berhenti.
"Tapi sayangnya keduanya gak ada bedanya, Mas." Mati-matian aku menahan air mata yang ingin keluar, tidak sudi untuk menunjukkan kesedihanku pada laki-laki yang terlampau baik ini. Meski kenyataannya, ekspresiku sekarang pasti sudah menunjukkan hal yang sebaliknya.
"Entah Mas melakukannya atas dasar kebaikan sesama manusia atau perasaan lain yang belum selesai, aku tetap tidak akan mentolerirnya."
"Just because you love me, doesn't mean I feel loved by you."
"Just because you want to be a good person, doesn't mean you can treat everyone the same." Aku mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Karena dalam prinsipku ada batas yang jelas antara pacar, mantan pacar, dan juga teman." Lalu setelahnya, ruangan dipenuhi dengan keheningan.
"Do you really want us to break up?" setelah cukup lama terdiam, akhirnya dia bersuara. Dari suaranya saja, aku bisa mengatakan bahwa dia juga sama kacaunya denganku.
"I don't want to." Ucapku.
"But it must be," lanjutku. Memadamkan secercah harapan yang tadi sempat terlihat dari kedua bola matanya.
"Thanks for the five years, Mas. I have never been disappointed by anything you've done in those five years." Meski air mataku lolos, karena aku sudah tak mampu untuk menahannya, aku tetap melanjutkan kalimat yang belum selesai aku ucapkan.
"Bee, we really can't get along anymore?"
"I love you, still love you from the past and the future."
Aku menggeleng. "I know, Mas. But we really can't get along anymore."
"Mas Rizal itu sangat baik, dan itu adalah hal yang tidak bisa aku apa-apakan." Aku mencoba menjelaskan perihal alasanku meminta putus sebaik mungkin. Mau bagaimana pun, hubungan kami sudah cukup lama, dan ada banyak sekali kenangan menyenangkan yang sudah tercipta. "Selalu bersikap baik itu bagus untuk kehidupan sosial, Mas."
"Namun di sisi lain juga bisa menjadi masalah. Apalagi ketika Mas sudah memiliki pasangan." Aku memulai penjelasan dengan kalimat yang cukup sederhana. Parameter 'baik' bagi sebagian orang cukup berbeda, begitu juga tentang batas kebaikan itu sendiri. Makanya aku mencoba menyamakan, atau setidaknya membuatnya paham tentang parameter yang aku terapkan dalam hidupku.
"Kedekatan Mas dengan perempuan lain yang Mas anggap wajar itu, bagi aku nggak wajar. Terlebih untuk kedekatan Mas dengan Mbak Arin." Aku menekankan kata 'Mbak Arin' agar dia sadar. Jika nantinya kami tidak berakhir bersama, aku tetap berharap bahwa perempuan lain yang akan mendampinginya sudah mendapatkan versi dirinya yang lebih baik. Lebih tegas pada dirinya sendiri, juga lebih peka dengan perasaan pasangannya.
Mungkin dia berpikir bahwa selagi dia tidak memiliki niat selingkuh, maka itu menjadi hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Namun harusnya dia sadar juga, kalau orang lain tidak bisa membaca hati dan pikirannya.
Aku mengelap air mata terakhirku menggunakan ibu jari. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak akan menitikkan air mata lagi untuk masalah ini, setidaknya jika masih ada di hadapannya.
"Kalau Mas merasa aku berlebihan, Mas bisa tanya ke perempuan mana pun. Apakah mereka menganggap perilaku Mas yang berkali-kali menemui Mbak Arin untuk alasan membantunya itu," aku menjeda kalimatku untuk mengambil napas. "Tanpa izin atau memberitahu pacar Mas sendiri itu adalah hal yang wajar atau tidak."
"Mungkin karena definisi 'selingkuh' kita beda, maka Mas merasa bahwa sikapku atas masalah ini cukup berlebihan."
"Mas mengaku salah, Bee."
"Mas minta maaf," dalam waktu kurang dari satu jam, perubahan atmosfer di dalam apartemenku sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Aku yang tadi masih duduk nyaman di sampingnya, menemaninya yang sedang menyelesaikan pekerjaannya, kini sudah mengonfrontasi dan meminta putus secara sepihak.
"Iya, Mas. Manusia yang bersalah memang harus mengaku. Lalu meminta maaf setelah menyadari kesalahannya."
"Namun setiap permintaan maaf yang dimaafkan, tidak semuanya bisa dilupakan kan?"
"Tidak semua kesalahan juga bisa diperbaiki, Mas. Beberapa diantara tetap berakhir sebagai kesalahan, hanya saja tetap memberikan sebuah pembelajaran."
"Bee," seolah tau dengan kalimat yang akan aku katakan selanjutnya, Mas Rizal sudah menggeleng.
"Mas mohon," lanjutnya memohon.
"We really have to brake up, Mas."
Part setelah ini adalah saatnya flashback ya, soal awal-awal masalah yang mereka hadapi selama pacaran backstreet.
Jangan lupa masukin library dulu biar nggak ketinggalan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet: Life After Breaking Up
ChickLit"Let's break up, Mas." Kepalanya yang tadinya menunduk, kini menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca. Entah sedang menahan tangis atau menelan rasa penyesalan. "Mungkin Mas emang nggak selingkuh," aku menjeda kalimatku seben...