ia yang menghindar (abimanyu's POV).

47 4 0
                                    

Manusia beradaptasi dengan situasi yang berbeda setiap harinya. Namun, jika perubahan yang terjadi itu begitu besar, bagaimana mereka akan menyikapi?

•••

Andhara
Sudah malam, belum pulang?

Abimanyu
Belum. Baru mau otw.

Andhara
Ok.
I'm home already.

Abimanyu
Ok. Don't wait for me. Aku bawa kunci rumah.

Andhara
Ok.

•••

MASIH SAMA. Pesan yang terkesan menghakimi masih diberikan oleh Andhara pada Abimanyu. Kalimat 'sudah malam' dan pertanyaan 'belum pulang?' memberikan kesan bahwa Andhara tidak suka Abimanyu pulang malam, bahwa ia punya aturan jam malam terhadap Abimanyu, bahwa Abimanyu harus pulang sebelum jam malam tersebut, dan bahwa Andhara menegur halus Abimanyu yang pulang terlambat. Abimanyu merasa seperti diawasi. Ia merasa tidak memiliki wewenang untuk memutuskan kapan ia harus pulang. Padahal, toh dirinya dan Andhara sudah sama-sama dewasa. Tidak perlu ditemani saat malam. Terlebih, kediaman Abimanyu dan Andhara adalah perumahan dengan pengamanan yang ketat. Mereka saja punya satpam sendiri untuk menjaga rumahnya. Maka, menurut Abimanyu, pertanyaan 'sudah malam, belum pulang?' adalah pertanyaan yang memberikannya kekangan. Kapan lagi dirinya terlepas dari Andhara dan keluarganya selain saat ia bekerja?

Rasanya memang berbeda. Jika ia mendapatkan pertanyaan itu di awal pernikahan, wah betapa girangnya lelaki itu. Berani bertaruh. Ia akan segera pulang dan memeluk istrinya setelah seharian bekerja menguras otak dan tenaga. Ia merasa begitu diperhatikan dan diinginkan. Menyenangkan. Namun sayangnya, kini tak lagi sama. Apapun yang keluar dari mulut—atau bahkan chat singkat istrinya—adalah sebuah teguran baginya. Misal, 'Sudah malam, belum pulang?', 'Mengapa tidak mengabari?', 'Ke mana saja kamu?', dan masih banyak lagi kalimat teguran tanpa batas. Teguran itu membuatnya enggan untuk beranjak dari kantor. Kasarnya, diam di kantor terkena tahi, pulang pun tetap terkena tahi. Kalau dua-duanya tak menyenangkan, ah tetap saja ia lebih memilih terkena tahi di kantor ketimbang pulang. Bertemu istrinya adalah petaka.

Abimanyu memutuskan untuk tidak menjawab sampai ia akan benar-benar pulang dari kantor. Sudah lebih dari tiga tahun ia memilih membaca berbagai berkas klien di ruang kantor hingga malam hari ketimbang di rumah. Ia jadi memiliki alasan untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan dirinya sendiri. Ia tak ingin menghadapi istrinya. Sumpah. Bagi Abimanyu, Andhara selalu kesal dan tidak puas dengan apapun yang ia kerjakan. Dengan kata lain, Abimanyu adalah si suami serba salah. Menghadapi istrinya sangat menguras energi psikis. Tidak direkomendasikan untuk dirinya yang sudah lelah bekerja.

Tapi, apa boleh buat. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Sudah waktunya ia pulang. Walaupun Abimanyu terpaksa berlama-lama di kantor, ia menetapkan jam malamnya, yakni jam sembilan. Alasannya sesederhana karena para satpam sudah akan pulang di jam itu. Ia pasti diusir.

Setelah membalas pesan Andhara, lelaki itu menginjak gas, mengendarai mobilnya ke rumah. Selama perjalanan, ia sengaja memelankan kecepatan. Tentu untuk menghabiskan waktu lebih banyak. Tetapi, alasan terbesarnya adalah untuk menikmati malam. Menikmati lampu jalanan di malam hari memberikannya energi tambahan. Kota Bogor di malam hari adalah pemandangan yang cantik. Kota ini belum juga tidur di jam sembilan malam. Ia berterimakasih atas itu. Rasanya seperti ada siraman air yang meneduhkan kepalanya.

Ah, mengapa cepat sekali sampai rumah meskipun kecepatan mobil sudah lambat? 

Satpam yang melihat mobil milik Abimanyu segera membuka pintu pagar. Kemudian, ia menyapa dengan anggukan sopan ketika kaca mobil tuannya terbuka. Tuannya juga menyunggingkan senyum lelah. 

Mobil masuk ke dalam garasi dengan mulus tanpa hambatan. Dimatikannya mesin mobil secara perlahan. Ia tak lantas turun malah duduk termenung. Matanya kosong, seakan tak ada yang membuatnya hidup saat tak ada lagi kesibukan yang bisa membuatnya lupa dengan perasaannya; perasaan cemas bertemu dengan istrinya, perasaan bahwa akan ada hal besar terjadi setelah ini, perasaan kewalahan menghadapi berbagai tuduhan serta wajah penuh amarah dari istrinya. Kini, kedua mata yang kosong itu ia pejamkan sesaat. Ia sandarkan kepala dan tubuhnya pada jok mobil. Napasnya ditarik dalam dan dihembus pelan. Ia lakukan itu berkali-kali hingga ia rasa kuat untuk bangkit masuk ke rumah.

Pintu mobil ditutup dengan lembut. Sengaja. Takut orang rumah yang sedang beristirahat terganggu. Oh, jujur saja. Ia berharap Andhara sudah tidur dan tidak menungguinya di ruang tamu. Tapi, itu jarang terjadi. Andhara selalu menungguinya di ruang tamu. Jika demikian, haruskah ia masuk lewat pintu samping garasi saja? Mungkin itu pilihan terbaik. Ia tak perlu langsung bertemu sang istri dan bisa melongos masuk ke dalam kamar kerja pribadinya tanpa harus memiliki kesempatan untuk berpapasan dengan sosok yang paling tak ingin ia temui.

"Ah, kuncinya ngegantung di dalam." Abimanyu menggerutu. Di balik pintu garasi itu, kunci lain sudah bertengger. Ia tak dapat masuk lewat pintu ini. Harapannya untuk langsung istirahat secara penuh—tanpa bertemu istri—pupus sudah. Kernyitan di dahi Abimanyu menandakan kekesalan sekaligus perasaan tak nyaman yang sudah menjalar di tubuhnya. Pikirannya mulai mendengar suara-suara negatif. Prediksi-prediksi tingkah laku Andhara mulai bermunculan seperti visualisasi film di dalam benak. Bahkan, nada bicara Andhara sudah terdengar. Hebat sekali otak ini yang memunculkan skenario kecemasan dengan cepat. Apalagi yang harus ia katakan sebagai pembelaan nantinya? Ataukah ia tak usah bicara?

Oh, lampu ruang tamu sudah gelap. Tapi, itu tak memberikan penegasan atas ketidakhadiran Andhara di sana. Andhara bisa saja duduk dalam gelap menantinya pulang. Sejujurnya, Abimanyu hafal sekali tingkah laku Andhara. Hanya saja, tidak ada satu pun cara yang dapat mendamaikan keduanya jika setelah ini yang mereka hadapi adalah adu dingin atau adu argumen. Hela napasnya berat sembari membuka kunci pintu utama.

Pintu terbuka.

Lelaki itu sengaja tak melihat sekeliling rumah. Ia fokus untuk membuka sepatu dan merapikannya. Kegiatan sederhana itu adalah penambahan waktu lain untuk tidak bertemu pandang dengan istri. Abimanyu yakin istrinya ada di ruangan ini.

Benar.

Tatapan mereka bertemu kini.

Lihat! Wajahnya dalam gelap memperlihatkan amarah. Kedua matanya bagai mengeluarkan kilat yang membutakan. Abimanyu mencoba menggerakkan kedua bibir, namun tampaknya detik ini ia tak mampu mengambil alih diri. Suaranya saja tidak keluar. Ia mematung. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. Tubuh Abimanyu sudah mempersepsikan situasi ini sebagai situasi yang berbahaya. Pada akhirnya, dirinya hanya menunggu sang istri untuk berbicara. Mungkin, suara hantaman dari istrinya akan membuat badannya kembali menyadari bahwa mereka harus bergerak.

"Baru pulang?"

Oh Tuhan. Pertanyaan Andhara seperti penghakiman lainnya. Tak bohong. Nada bicaranya yang terdengar meninggi memberi konfirmasi atas semua asumsi Abimanyu bahwa Andhara tak senang akan keterlambatan dan kehadiran sang suami. Rasanya petir menggelegar di belakang Andhara. Abimanyu sedikit terkesiap. Syukurlah dirinya sudah bisa lagi bergerak. Namun, kedua bibirnya jadi bergetar sebelum akhirnya menjawab, "Iya" dengan susah payah. Tenggorokannya pun ia paksa mengeluarkan getaran suara hingga suaranya terdengar lirih. Setelahnya, tenggorokan itu terasa kering. Lelaki itu buru-buru masuk ke dalam rumah untuk menghindari pertengkaran lainnya, meninggalkan sang istri begitu saja.

•••

Terima kasih sudah membaca pandangan Abimanyu terhadap Andhara dan pernikahannya! Mohon maaf aku gak bisa bikin bagian chatnya seperti bab sebelumnya hiks. Entah kenapa jadi berantakan. :(

Terlepas dari itu, menurut rekan pembaca, hubungan mereka seperti apakah? Oh iya! Mohon dukungannya selalu! <3

salam semangat,
shonescreation.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

WISH YOU THE SAME [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang