2- lecturer and student

102 3 0
                                    


---

Becky melangkah cepat menuju ruang kelas yang hampir penuh. Dia terlambat untuk mata kuliah favoritnya—Filsafat Modern. Hari itu adalah hari pertama pertemuan dengan dosen baru, Dr. Freen Thana, seorang dosen muda yang dikabarkan sangat cerdas dan karismatik.

Becky akhirnya duduk di barisan tengah, mencoba mengatur napasnya. Begitu Dr. Freen memasuki ruangan, suasana menjadi hening. Mata kuliah itu, yang biasanya membosankan, tiba-tiba berubah. Becky tak bisa mengalihkan pandangannya dari Freen—dia begitu memukau, dengan tatapan tajam dan cara berbicara yang tegas namun hangat. Ada sesuatu tentang Freen yang membuat Becky merasa tertarik, dan bukan hanya soal akademis.

Setiap pertemuan kuliah terasa seperti saat-saat berharga. Freen sering kali melontarkan pertanyaan filosofis yang membuat seluruh kelas berpikir keras. Namun, Becky merasa ada hubungan lebih dalam setiap kali Freen menatapnya. Pandangan mereka sering bertemu, dan Becky tak bisa menahan senyum saat Freen berbicara langsung kepadanya.

Suatu hari, setelah kuliah, Becky memutuskan untuk menghampiri Freen di kantor dosen. Dia punya beberapa pertanyaan tentang materi kuliah, tetapi jauh di lubuk hatinya, Becky tahu ada alasan lain yang mendorongnya untuk berbicara dengan Freen lebih lama.

"Dr. Freen, bisakah kita membahas soal argumen moral Kant? Saya sedikit bingung," kata Becky, sedikit gugup.

Freen menatap Becky dengan senyum kecil yang menghanyutkan. "Tentu, Becky. Duduklah."

Obrolan mereka tentang Kant segera berubah menjadi percakapan yang lebih personal. Freen ternyata tidak hanya cerdas dalam hal akademik, tapi juga memiliki pandangan yang dalam tentang kehidupan. Semakin lama Becky berbicara dengan Freen, semakin kuat perasaannya. Dia mulai merasakan getaran cinta yang tumbuh, meski mencoba menyembunyikannya di balik diskusi-diskusi filsafat.

Hari-hari berlalu, dan Becky mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Freen lebih dari sekadar kekaguman intelektual. Setiap pertemuan mereka di kelas maupun di luar kelas membuat Becky semakin jatuh cinta. Namun, dia tahu batasan antara mahasiswa dan dosen. Hubungan mereka tidak bisa sembarangan.

Sementara itu, Freen juga merasakan hal yang sama. Meski dia berusaha menjaga profesionalitas, setiap kali berbicara dengan Becky, dia merasa ada koneksi yang mendalam. Freen mulai merasa gelisah—dia tahu bahwa perasaan ini melampaui batas seorang dosen terhadap mahasiswanya.

Suatu malam, setelah sebuah acara seminar kampus, Freen melihat Becky duduk sendirian di taman kampus. Udara malam itu sejuk, dan Freen mendekatinya dengan ragu.

"Becky, bolehkah aku duduk di sini?" tanya Freen dengan suara lembut.

Becky tersenyum, sedikit terkejut tapi bahagia. "Tentu, Dr. Freen."

Mereka berbincang di bawah bintang-bintang, mengobrol tentang hidup, impian, dan keinginan mereka yang tersembunyi. Hingga akhirnya, suasana menjadi hening.

"Aku tahu ini mungkin salah, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaanku," kata Freen, suaranya pelan namun penuh kejujuran. "Setiap kali aku melihatmu, Becky, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan dosen dan mahasiswa."

Becky menatap Freen, hatinya berdebar. "Aku juga merasakan hal yang sama," jawabnya pelan. "Tapi aku takut ini tidak akan mudah."

Freen mengangguk. "Aku juga takut. Tapi jika ini nyata, jika kita sama-sama merasakannya, kita akan menemukan jalan."

Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Freen memutuskan untuk berbicara dengan pihak universitas, untuk memastikan bahwa mereka tidak melanggar aturan. Setelah beberapa bulan menunggu, Freen mengajukan pengunduran diri sebagai dosen di kelas Becky agar hubungan mereka tidak melanggar etika kampus.

Dengan segala rintangan dan kebingungan yang mereka hadapi, Freen dan Becky akhirnya bisa merajut cinta mereka dengan bebas. Mereka tahu bahwa cinta ini layak diperjuangkan, meskipun awalnya penuh tantangan.

Suatu sore yang tenang, di sebuah kafe kecil di tepi kota, Freen menggenggam tangan Becky. "Aku sudah memikirkan ini sejak lama, Becky," kata Freen sambil tersenyum. "Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Maukah kamu menikah denganku?"

Mata Becky berkaca-kaca, hatinya penuh kebahagiaan. "Ya, aku mau," jawabnya, tanpa ragu.

Cinta mereka, yang dimulai dari ruang kuliah yang penuh teori filsafat, kini berkembang menjadi sebuah perjalanan hidup bersama. Mereka tahu bahwa cinta sejati bukan hanya tentang melewati batasan-batasan, tapi juga tentang keberanian untuk berjuang dan berkomitmen satu sama lain.

---

















Hayy guyss <3

Gimana? seru gak? atau gak seperti yang kalian inginkan?

Kalian bisa komen mau ceritanya bagaimana. nanti aku pikirin okeh?

Jangan lupa vote! dadah!! lopyuu.

short story - freen beckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang