3- Hati yang Menyembuhkan

54 7 0
                                    

Pagi itu, Dr. Becky baru saja menyelesaikan ronde paginya ketika perawat di bangsal VIP memberitahunya bahwa pasien baru telah masuk. Pasien bernama Freen, seorang wanita muda yang terluka akibat kecelakaan mobil. Becky, seperti biasanya, menata pikirannya sebelum memasuki ruangan. Dalam dunia medis, perasaannya harus dikesampingkan, dan dia fokus menjadi seorang dokter yang profesional.

Ketika Becky membuka pintu kamar pasien, dia tidak menyangka akan melihat seseorang seperti Freen. Gadis itu terbaring di tempat tidur dengan kaki kanan yang terbalut gips, dan beberapa luka ringan di lengan serta wajahnya. Namun, yang paling mencuri perhatian Becky adalah tatapan mata Freen—tatapan yang mencerminkan rasa sakit dan ketakutan, tapi juga kekuatan yang besar di baliknya.

"Selamat pagi, saya Dr. Becky. Saya akan merawat Anda selama masa pemulihan," kata Becky sambil tersenyum lembut, berusaha memberi rasa tenang pada pasien barunya.

Freen menatap Becky dengan sedikit bingung, namun senyuman dokter itu berhasil membuatnya merasa sedikit nyaman. "Terima kasih, Dokter," jawab Freen pelan. Suaranya terdengar rapuh, mungkin karena kelelahan atau trauma dari kecelakaan yang baru saja dialaminya.

Hari-hari pertama berjalan biasa saja. Freen tampak pendiam, hanya berbicara seperlunya saat Becky atau perawat datang memeriksanya. Becky, di sisi lain, merasa ada sesuatu tentang Freen yang menarik perhatiannya. Setiap kali Becky masuk untuk memeriksa kondisi fisiknya, Freen selalu menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya.

Suatu sore, saat Becky sedang melakukan pemeriksaan rutin, Freen tiba-tiba bertanya, "Dok, apakah Anda percaya bahwa rasa sakit emosional lebih sulit disembuhkan daripada fisik?"

Pertanyaan itu mengejutkan Becky. Dia terdiam sejenak sebelum menjawab, "Terkadang, rasa sakit di dalam hati memang lebih sulit untuk disembuhkan. Tapi seperti halnya luka fisik, hati juga butuh waktu dan dukungan untuk pulih."

Freen tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Saya rasa saya mengalami keduanya sekarang, Dok."

Malam itu, setelah shift-nya selesai, Becky tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Freen. Rasa penasaran dan simpati mulai tumbuh di hatinya. Ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya dialami Freen, dan kenapa gadis itu tampak menyembunyikan begitu banyak rasa sakit di balik senyum kecilnya.

_

_

_

_

_

_

_

_

_

_

Hari demi hari berlalu, dan hubungan antara Becky dan Freen semakin berkembang. Becky tidak hanya menjadi dokter bagi Freen, tetapi juga seorang pendengar setia. Freen mulai terbuka tentang kehidupannya—tentang trauma dari kecelakaan, kehilangan orang terdekatnya, dan betapa sulitnya ia menjalani hidup setelah kejadian tersebut. Freen merasa hancur, bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.

Namun, Becky selalu ada. Dengan sabar, dia mendengarkan semua cerita Freen, memberinya nasihat, dan selalu mendorongnya untuk tetap kuat. Perlahan, Becky merasa bahwa keterlibatannya dalam kehidupan Freen mulai melampaui batas profesional. Dia merasa lebih dari sekadar seorang dokter. Hatinya mulai ikut terlibat.

Suatu hari, ketika Freen akan menjalani pemeriksaan terakhir sebelum dinyatakan pulih, ia berkata, "Becky, aku merasa sangat berterima kasih padamu. Kau bukan hanya menyembuhkan luka-lukaku, tapi juga hatiku."

Becky tersenyum lembut, namun di dalam hatinya, dia tahu bahwa hubungannya dengan Freen telah berubah. "Aku hanya melakukan tugasku, Freen. Tapi aku senang bisa membantu."

Saat itu, keduanya sama-sama merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan dokter dan pasien. Ada ikatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sebuah perasaan yang tumbuh di antara sesi pemeriksaan dan percakapan larut malam mereka.

Ketika akhirnya Freen diperbolehkan pulang dari rumah sakit, ada perasaan kosong yang menghantui Becky. Meski dia tahu ini adalah hal yang normal bagi seorang dokter, ada sesuatu yang berbeda tentang Freen. Rasanya, Becky tidak bisa membiarkan hubungan ini berakhir begitu saja.

Di hari terakhir Freen di rumah sakit, Becky mengantarnya hingga ke pintu keluar. "Semoga cepat pulih sepenuhnya, Freen. Jangan lupa untuk datang kontrol beberapa minggu lagi," ucap Becky sambil mencoba menyembunyikan kegundahannya.

Freen mengangguk sambil tersenyum. "Tentu, aku pasti datang. Dan mungkin setelah itu... kita bisa bertemu di luar rumah sakit? Sebagai teman, bukan hanya dokter dan pasien."

Becky tertegun sejenak, tapi kemudian senyum manis mengembang di wajahnya. "Aku pikir itu ide yang bagus."

_

_

_

_

_

_

_

_

_

_

Minggu demi minggu berlalu, dan kontrol terakhir Freen pun tiba. Kali ini, mereka tidak bertemu di ruang rawat atau klinik, tapi di sebuah kafe kecil di dekat rumah sakit. Mereka berbicara lebih banyak dari sebelumnya—tentang hidup, harapan, dan masa depan. Perlahan, mereka menyadari bahwa rasa nyaman dan aman yang mereka temukan dalam satu sama lain tidak bisa diabaikan.

Malam itu, ketika matahari terbenam, Becky akhirnya mengungkapkan perasaannya. "Freen, aku tahu ini mungkin bukan hal yang biasa diucapkan oleh seorang dokter, tapi aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku merasa... aku jatuh cinta padamu."

Freen tersenyum, lalu menggenggam tangan Becky di atas meja. "Aku juga merasakan hal yang sama, Becky. Dan aku beruntung bisa bertemu denganmu, bukan hanya sebagai doktermu, tapi juga seseorang yang menyembuhkan hatiku."

Dan pada akhirnya, bukan hanya luka fisik yang sembuh, tapi juga hati mereka yang perlahan saling menemukan dalam proses pemulihan tersebut.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hyee guys, gimana ceritanya?

Seru gak?kalo seru vote dong jangan hanya dibaca yaa...

Biar aku lebih semangat untuk up cerita selanjutnya.

Oke deh bye guys semoga suka dengan ceritanya...

short story - freen beckyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang