Becky baru saja memasuki gerbang besar sekolah asrama yang terkenal itu, rasa penasaran bercampur kegugupan memenuhi pikirannya. Suasana pagi itu masih sepi, hanya beberapa siswa yang terlihat berjalan di koridor asrama. Becky menatap gedung-gedung tua yang berdiri megah di sekitarnya, membuatnya merasa kecil.Dia memegang erat buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. "Ah, aku pasti akan jatuh cinta pada tempat ini!" batinnya penuh semangat. Namun, di sudut mata, dia melihat seseorang yang terlihat kontras dengan suasana pagi yang cerah.
Freen, kakak kelas yang terkenal pendiam dan selalu sendirian. Tidak ada yang berani mendekati Freen, bukan karena dia galak, tapi auranya yang selalu terlihat dingin dan serius. Kabar beredar bahwa Freen sangat pintar, selalu mendapat nilai sempurna dalam semua ujian, dan aktif dalam berbagai kegiatan sekolah, tetapi jarang bicara kecuali kalau benar-benar diperlukan.
Becky pernah sekali bertemu pandang dengan Freen di perpustakaan, tapi Freen langsung memalingkan wajah. Saat itu, Becky merasa sedikit tertantang. "Kenapa dia selalu terlihat sendiri? Bukankah menyenangkan kalau punya teman bicara?" pikir Becky sambil menggeleng pelan.
Suatu hari di kantin, Becky duduk sendirian. Sebagian besar teman-temannya sedang ada kegiatan tambahan, sementara Becky sedang mencari celah untuk mengenali orang-orang di sekitarnya. Tanpa sengaja, dia melihat Freen duduk di sudut ruangan, sendirian seperti biasa, dengan pandangan fokus pada buku tebal di depannya.
"Aku harus bicara dengannya," gumam Becky. "Nggak mungkin dia nggak butuh teman, kan?"
Tanpa berpikir panjang, Becky bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati meja Freen. Detik demi detik rasanya begitu lambat, tapi Becky tetap maju. Dia menatap Freen yang masih fokus pada bukunya, bahkan tak menyadari Becky berdiri tepat di hadapannya.
"Hai," sapa Becky dengan senyum lebar.
Freen mengangkat pandangannya, jelas terkejut melihat seseorang mengajaknya bicara.
"Ada apa?" tanya Freen singkat, suaranya tenang tapi terdengar kaku.
"Boleh aku duduk di sini?" Becky menunjuk kursi di hadapan Freen.
Freen terdiam sejenak, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa. Becky menarik kursi dan duduk dengan hati-hati. Hening terasa di antara mereka, tapi Becky bukan tipe yang mudah menyerah.
"Apa yang kamu baca?" tanya Becky sambil mencoba mengintip sampul buku itu.
Freen menatapnya sekilas. "Buku filsafat."
"Oh, menarik! Aku sendiri lebih suka novel sih, yang ringan-ringan," jawab Becky sambil tersenyum lagi. "Aku Becky, kamu pasti tahu kan?"
"Freen," jawab Freen singkat.
"Ya, aku tahu," Becky tertawa kecil. "Kamu terkenal di sini. Banyak orang mengagumi kamu."
Freen hanya mengangguk sedikit, jelas tidak tertarik melanjutkan percakapan. Tapi Becky sudah terlanjur bertekad, dia tidak akan mundur begitu saja.
Sejak saat itu, Becky selalu mencari alasan untuk mendekati Freen. Mulai dari di kantin, perpustakaan, hingga saat ada acara sekolah. Meskipun Freen selalu terlihat enggan, Becky terus mencoba, memberikan perhatian kecil seperti membawakan kopi atau sekadar mengajak ngobrol ringan.
Hingga pada suatu sore, saat Becky sedang berusaha menyelesaikan PR matematika di halaman sekolah, Freen tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Kamu butuh bantuan?" tanya Freen pelan, tapi cukup untuk membuat Becky terkejut.
Becky langsung mengangguk heboh. "Iya! Aku sudah pusing, matematika bukan keahlianku."
Freen duduk di sebelah Becky, dengan tenang mulai menjelaskan soal yang dihadapi Becky. Becky memperhatikan dengan seksama, tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah cara Freen bicara. Meski Freen jarang berbicara, saat dia berbicara, ada ketenangan dan kepastian dalam setiap kata-katanya.
Saat malam semakin larut, Becky akhirnya bisa menyelesaikan tugasnya. "Terima kasih, Freen! Kamu benar-benar penyelamatku," ujar Becky dengan semangat.
Freen hanya tersenyum tipis, senyum pertama yang Becky lihat darinya.
"Kamu nggak perlu selalu sendiri, tahu," kata Becky sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. "Aku senang kalau bisa jadi temanmu."
Freen menatap Becky dengan sorot mata yang lembut. "Aku hanya terbiasa sendiri. Tapi mungkin kamu benar... Aku bisa mencoba."
Hati Becky melonjak. Walaupun Freen tidak banyak bicara, tapi ada sesuatu dalam jawaban itu yang membuat Becky yakin bahwa usahanya tidak sia-sia.
Mereka berdua mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Setiap sore, Freen membantu Becky dengan pelajaran, dan Becky akan menceritakan kisah-kisah lucu yang membuat Freen tertawa pelan. Perlahan, dinding yang dibangun Freen selama ini mulai runtuh.
Suatu hari, saat mereka sedang duduk di taman sekolah, Freen tiba-tiba bertanya, "Kenapa kamu selalu mendekatiku?"
Becky menoleh, terkejut dengan pertanyaan itu. Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum lembut. "Karena aku suka kamu, Freen. Bukan hanya karena kamu pintar atau pendiam, tapi karena aku tahu di balik sikap dinginmu, kamu sebenarnya orang yang baik dan peduli."
Freen terdiam, menatap Becky dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak pernah berpikir ada orang yang bisa benar-benar memahami aku."
"Aku tidak butuh alasan besar untuk menyukaimu. Kamu hanya perlu tahu bahwa kamu berharga, Freen."
Freen tersenyum kecil, kali ini lebih tulus. Dia mendekatkan tangannya, menggenggam tangan Becky dengan lembut. "Terima kasih sudah membuatku merasa seperti itu."
Dan di bawah langit senja, mereka berdua duduk dalam diam, tapi kali ini keheningan itu terasa hangat.
---
Bagaimana menurut kalian?
Jika suka jangan lupa vote dan komen untuk cerita selanjutnya!
Bye >.<
KAMU SEDANG MEMBACA
short story - freen becky
Storie brevi----- Short story gaess Silakan membaca dan semoga kalin suka ... Jangan lupa vote ya guyss