⌕08 ♪Lagu Baru

8 1 0
                                    

Suasana di rumah Sena terasa sedikit lebih canggung daripada biasanya. Bukan berarti bisa menyalahkan gadis itu atas apa yang sedang terjadi. Ketiga teman sekolahnya itu sedang terdiam di ruang tengah, sedangkan ia dan pria berambut gondrong, kakak laki-lakinya, tengah berbicara di dapur. Gadis berambut jamur itu terdiam cukup lama, tidak tahu harus berbicara apa kepada kakaknya itu. Biasanya tidak ada yang di rumah selama waktu libur akhir pecan, oleh karena itu dengan kehadiran kakak laki-lakinya itu membuatnya kebingungan. Bukan karena hanya sendiri, tetapi karena pria itu juga mengundang teman-temannya untuk datang.

Kesunyian mereka berhenti ketika pria berambut gondrong itu menghela napas panjang. Ia merapikan sedikit kacamata bulatnya itu dan menyisir ke atas rambut yang terjatuh di dahinya.

“Lo cuman mau make studio kan?”

Sena mengangguk pelan. Ia menatap pria itu sedikit kaku, tidak biasanya saling berbicara satu sama lain. Lebih tepatnya ia yang menghindar untuk berbicara dengannya.

“Ya udah kalau gitu gue make ruangan tengah. Jadi gak ribet kan?”

Sena mengangguk kembali. Randi nama kakaknya itu. Bima dan Gamaliel mungkin sudah mengenali Randi, tetapi jika harus mengulang dari awal akan hubungannya dengan Randi kepada Reza sedikit membuatnya ragu.

Randi berakhir pergi dari dapur dan kembali ke kamarnya. Gadis itu hanya bisa menghela napas lega dan kembali ke ruang tengah untuk mengajak anggota band-nya itu untuk mengikutinya ke dalam studio kecil di rumahnya.

Studio itu berada di ruang bawah tengah. Bima sering menyebutnya bunker musik karena mereka menggunakannya untuk bermain musik. Ayahnya dulu membuatnya karena masih suka bermain alat musik, sampai akhirnya hobinya itu diteruskan oleh Sena. Setidaknya ruangan itu tidak terbengkalai dan menjadi gudang.

Tatapan Reza tertuju pada isi studio bawah tanah itu. Tidak menyangka akan menemukan studio kecil di sebuah rumah, apa lagi bawah tanah. Terdapat banyak alat musik, terutama alat musik daerah yang tidak dirinya ketahui apa namanya. Matanya beralih pada ruangan yang dibatasi dengan kaca bening, tempat perekaman suara dan komputer yang ada. Bagi anak rantauan penyuka musik sepertinya, ruangan ini adalah sebuah surga musik.

Sena tersenyum tipis saat Reza menatap alat-alat musik daerah, ingin mengetahui apakah alat musik itu digunakan oleh para kakak kelasnya sebagai instrument dalam musik mereka atau tidak.

“Karena ini pertama kalinya lo ke sini, selagi Gamal dan Bima ngurusin alat mereka, bakal gue kenalin alat musik itu.”

Reza menoleh pada Sena, menatap leher gadis itu yang jenjang dan senyuman yang terasa manis di hatinya.

“Kebanyakan sih gue juga gak tau itu alat musik apa, hahaha. Cuman, alat musik itu dikoleksi bokap waktu dia masih aktif sebagai musisi dan digunakan dalam alat musik khas di musiknya. Bokap gue itu periset musik daerah. Kerjaan paling ekstrimnya itu mencatat alat musik dan musik daerah yang belum ada di dinas kebudayaan provinsi. Dia sampai bisa mempelajari alat musiknya dalam waktu singkat,” jelas Sena dengan sangat semangat.

“Ada yang bisa kakak mainin?”

Sena menanggapi pertanyaan Reza dengan anggukan. “Main doang bisa, tapi gak pro dan gak semuanya gue bisa.”

“Mau ngobrol atau mau latihan?”

Keduanya menoleh pada Gamaliel yang sudah duduk di kursinya dan menggenggam erat stik drumnya. Menanyakan jika ia tidak mau menghabiskan waktu dengan menunggu kedua orang itu selesai berbicara. Dengan decakan kecil, Sena mengambil gitarnya dan menyalakan sound system yang ada di studio kecil itu. Reza berdiri di sebelah Bima, merasakan jika ada yang berbeda dari pemuda itu.

Setelah Sena menyatakan siap, Gamaliel mulau memukul stik drumnya untuk berhitung dan mulai memainkan drumnya. Suara instrumen lantas mengelilingi seisi ruangan. Dengan wajah ekspresif, Sena selalu membawa alur permainan mereka menjadi lebih asik, sekalipun genre mereka adalah blues. Sama seperti Jimi Hendrix, sang vokalis sekaligus gitaris itu yang selalu menarik orang lain untuk menonton pertunjukkan mereka di panggung, sekalipun hanya panggung kecil di kafe-kafe. Suara Sena yang biasanya sangat lembut kini menjadi serak dan keras layaknya penyanyi rock pria.

Sesi jamming berada pada tangan Sena dan Bima, keduanya saling beradu permainan alat musik petik itu. Bahkan ketika mencapai bagian tersulitnya, keduanya berteriak dan lagu berakhir. Sena mengakhiri permainan itu dengan bahagia dan rasa lepas di hatinya. Seolah semua kegundahan telah dialirkan hanya melalui musik yang sederhana itu.

Lagu kedua langsung disambung oleh Gamaliel, layaknya di medley menggunakan ketukan dru, yang bahkan tidak pernah mereka bahas. Namun, dalam watu singkat, Bima dan Sena sudah mampu menyesuaikan permainan mereka, berbeda dengan Reza yang justru menjadi kacau. Butuh waktu cukup lama hingga menuju bridge lagu, barulah Reza bisa bermain beriringan dengan yang lainnya. Hanya saja Gamaliel terus mengulang cara tersebut, menyambung lagu antar lagu begitu saja tanpa berbicara satu sama lain hingga membuat Reza berhenti bermain dan seluruhnya menjadi kacau.

Sena menarik napas panjang dan menuju sudut ruangan, tepat di mana minuman dan toples makanan ringan berada. Ia mengambil kursi dan duduk di sana sembari meminum air mineralnya. Ia tidak berkomentar apa-apa karena merasa perlu mengisi ulang suaranya setelah menyanyikan empat lagu tanpa henti. Sedangkan Reza terdiam di tengah ruangan. Memegang ujung gitarnya dengan erat, merasa jengkel dengan kemampuan bermain gitarnya yang sangat terbatas itu. Bima hanya menatapnya, hingga beralih dan mengambil minuman.

Bluescari masih tiga bulan lagi. Dia masih baru,” ujar Sena, seolah tahu apa yang ada di kepala teman keritingnya itu.

Walaupun Bima tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari tatapan pemuda itu terhadap adik tingkatnya itu telah menjelaskan semuanya. Tiga bulan memang bukan waktu yang panjang dan mereka dalam sekejap merasa terburu-buru dengan waktu yang ada. Belum lagi kesibukan masing-masing yang akan mengganggu frekuensi latihan mereka berikutnya.

“Reza, untuk pergantian antar lagu, bisa mencoba untuk jamming selama beberapa detik. Lagipula, lagu yang bakal kita mainin di Bluescari lagu baru. Jangan terlalu keras latihan untuk yang ini.”
Sena dan Bima menatap teman mereka dengan terkejut. Entah apa yang mungkin telah mengambil alih tubuh Gamaliel sampai dirinya berkata demikian. Tidak ada yang menyangkanya. Lalu, lagu baru.

“Lagu baru? Mana sempat mau bikin lagu baru dalam tiga bulan.” Bima seketika berdiri dari tempatnya dan mendekat pada Gamaliel yang masih duduk di kursinya, seperti seorang sahabat antar gadis yang baru saja diberitahukan rahasia besar.

“Sempat. Harus bisa.”

Bima mengepalkan tangannya dan menarik kerah baju Gamaliel. Membuat keduanya terlihat sangat dekat seketika. Di wajah Gamaliel yang biasa saja, pemuda itu menatap wajah si rambut keriting yang sangat emosi, selayaknya tidak bisa memikirkan rencana terbaik untuk band mereka.

Foley KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang