⌕05 ♪Mutualisme

15 4 0
                                    

Suasana di studio musik terasa berbeda setelah Reza pamit untuk balik ke kosannya. Tiga orang kakak kelasnya itu masih menetap di dalam ruangan yang sebenarnya jam sewanya sudah habis. Yang satu masih duduk di kursi drummer. Satu lagi bersender pada dinding dan satu lagi berdiri bersedekap menatap kedua temannya, memikirkan kalimat apa yang harus ia lontarkan.

"Jadi, kalian rekrut dia masuk ke band karena kalian tau dia pernah ikut audisi?" Pemuda berambut keriting yang bersedekap itu mulai membuka suara.

"Engga juga. Awalnya cuma tau dia karena main pas ekskul. Terus gue mulai stalking sosmed dia dan ya, akhirnya tau dia pernah ikut audisi. Actually that was cool, but yeah you know, agency will take him, this is a golden opportunity for us, Bim. Kita gak boleh nyia-nyiain kesempatan kayak gini," jawab Sena pelan.

Pemuda yang dipanggil Bima itu mengernyitkan dahinya. Dari bersedekap menjadi memasukkan tangannya ke dalam saku jaket. "Lo mau manfaatin dia?"

Sena tertawa renyah. "So rude. Gak gitu juga, Bim. Lo tau gak, kalau dia juga ke sana kemari nyari anggota buat bikin band? Bayangin anak kelas 2 yang kebanyakan lagi sibuk-sibuknya nyari tempat magang, tapi dia malah nyari anggota buat bikin band. Apa lagi tempat magang dia sekarang itu agensi musik."

Diam sejenak, Bima berusaha mencerna penjelasan kasar tersebut sampai akhirnya ia kembali menatap Sena dengan kaget dan mengerti maksud gadis itu.

"Benar. Dia juga bakal manfaatin bandnya buat bikin namanya sendiri di industri musik. Bayangin, Bim, dia nyelesain banyak masalah dalam 1 kali pergerakan. Kalau udah kayak gini, ya kita tinggal saling manfaatin aja, Bim. Jangan naif. Hidup itu emang saling ngejalin hubungan mutualisme, kok."

Gamaliel menghela napas panjang, ia berdiri dari tempatnya dan mendekat pada dua orang temannya itu. Ia merasa bahwa alur percakapan mereka membelok dan berpikir bahwa ia harus membuatnya lurus kembali. "Mending kalian kagak usah mikirin itu dulu. Pikirin balik kita mau ngapain. Anggota udah terkumpul semua, kita gak perlu anggota banyak-banyak. Terus kalian mau ngapain lagi?"

Bima mengeluarkan handphonenya, menunjukkan poster audisi musik yang diselenggarakan oleh salah satu label rekaman pada dua temannya itu. "Ikut audisi, Mal."

Gamaliel terdiam. Ia berpikir temannya itu hanya akan menawarkan tampil di festival-festival sekolah seperti di tahun sebelumnya, tetapi dengan melihat poster audisi itu, Gamaliel juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya.

"Gue tau kalau kalian punya tujuan yang beda dari gue, tapi buat yang satu ini gue yakin kalian juga mikir sama, kan? Mal, Sen, kita udah kelas 12, selain gue kalian udah jadi murid baik-baik. Dan justru karena kita udah kelas 12z ini udah saatnya kita ikut audisi ini. Ini waktunya pembuktian."

Kalimat yang dilontarkan Bima itu seolah menusuk mereka berdua. Menjadi murid baik-baik katanya, memberikan esensi bahwa selama ini mereka melakukannya untuk di saat-saat terakhir di kelas 3 mereka.

"Nih, kopi." Sena memberikan segelas kopi latte pada Gamaliel yang masih duduk terdiam memperhatikan ponsel pintarnya.

Bima pergi dari studio musik setelah kedua temannya itu mengiyakan idenya untuk ikut audisi. Toh, tidak ada ruginya, pikir mereka. Meskipun gagal, audisi itu bisa memberikan kesan pada para juri dan itu sudah cukup untuk melebarkan nama band mereka.

Sena duduk di hadapannya, menatap beberapa pelanggan lain yang mulai memasuki kafe atau mencium aroma kopi yang sangat wangi ditambah roti dan keik dengan berbagai rasa.

"Kalau kita bisa bikin keduanya nyatu, kita pasti bisa bikin musik yang keren," ucap Sena pelan. Pandangannya kini fokus pada Gamaliel. Pemuda itu sudah mematikan ponselnya dan membalas tatapan tegas dari gadis di hadapannya.

Gamaliel menyeruput kopinya. "Itu yang kita harapin, tapi ya mereka aja kayak gitu, Sen. Mana mungkin."

Sena menyandarkan tubuhnya pada senderan kursi lantas bersedekap. "Kita gak perlu mereka bersatu akrab kayak gitu, Mal. Yang kita perluin itu bersatu dengan tingkat kemampuan yang tinggi. Sesekali egois di band itu perlu yang penting tetep ingat dosisnya."

Diam sejenak di antara keduanya. Sena mengalihkan pandangannya menuju meja konter kue, menatap rasa-rasa kue yang beberapanya belum ia coba. "Lo pernah denger gak, semakin beda pendapat dalam suatu grup maka mereka bakal semakin akrab."

Gamaliel menggeleng.

Sena tersenyum tipis. "Ada dua jenis orang jika mereka saling berbeda pendapat. Yang pertama mereka akan terus berdebat sampai salah satunya mengalah dan membuat hasilnya berat sebelah. Yang kedua mereka yang saling gak peduli, yang penting mereka melakukan yang terbaik untuk grup itu."

"Tapi gak bakal ada keseimbangan, Sen. Kita gak bisa sama ratain mereka dengan--"

"Bisa, Mal. Harus bisa." Diam sejenak. Tatapan gadis itu menjadi sangat serius, seolah sedang memantrai pria yang ada di hadapannya. "Ini satu-satunya kesempatan kita, Mal. Kesempatan bulat nunjukin kalau kita bisa tanpa dia."

Gamaliel perlahan menyadari apa tujuan dari gadis itu. Terjebak di masa lalu itu sangat sulit, tetapi ia setuju dengan kalimat gadis itu. Ia juga mengerti kenapa gadis itu berpikir demikian. Lagi pula keduanya berada di masa lalu yang sama dan berharap ke depannya bisa menunjukkan sesuatu yang berbeda. Musik memang bukan segalanya, tapi bagi mereka yang telah diusir, musik adalah segalanya.

***

Reza menguap panjang sampai jari-jarinya merasakan sesuatu yang panas. Ia terkejut, membuat tangannya terbang dari benda panas yang tak sengaja ia sentuh, padahal itu hanyalah segelas teh yang ia buat sendiri.

Reza mengumpat pelan saat tahu bahwa ia kaget hanya dengan hal konyol. Namun, pada akhirnya ia hanya mampu menghela napas panjang dan meminum secara perlahan tehnya. Kepalanya kini diisi oleh dua masalah yang sudah usai. Magang dan band. Lalu apa?

Reza menatap layar ponselnya yang kini tengah memutar lagu Cats in The Cradle yang dipopulerkan oleh Ugly Kid Joe. Tidak ada yang spesial, setidaknya telinganya berusaha mengingat petikan gitar yang keren-keren dari playlist jadulnya itu. Baginya, musik adalah segalanya. Akan tetapi, bagi keluarganya musik hanyalah objek yang tak memberikan manfaat apa-apa.

Reza menghela napas kasar, lantas mengambil gitar merahnya. Sembari memetik gitarnya, kepalanya kini kembali diisi oleh hal yang disebut dengan kebetulan. Ia kebetulan bertemu dan se-band dengan pria yang menjadi saingannya di sebuah audisi musik 2 tahun lalu. Ia tidak terlalu ingat dengan band Bluescari karena sudah cukup lama baginya, tetapi ia ingat dengan 2 pemenang lainnya. Baginya Bima justru memiliki tingkat level di atasnya.

"Mungkin karena udah 2 taun sih, pastinya makin berkembang," ucapnya pelan. Jari-jarinya berhenti memetik gitar. Tatapannya tertuju pada jendela kosan, menatap beberapa penghuni kosan yang kembali. Kemudian ia menghela napas yang entah sudah berapa kalinya karena rasa stres atau semacamnya.

Sebuah panggilan telepon masuk, menampakkan nama Sena di layarnya. Reza dengan segera menjawab panggilan itu. Ia menempelkan ponselnya ke telinganya lantas mengeluarkan suara. "Halo, Kak?"

♪ ♪ ♪ ♪

Foley KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang