⌕09 ♪Ganti Instrumen

8 1 0
                                    

Reza menatap lorong kosan yang kosong, meskipun tidak benar-benar kosong. Beberapa penghuni sedang makan di belakang, beberapa lagi kamar dan mungkin beberapa lagi masih belum pulang. Energi sosialnya telah habis, sehingga Reza hanya memutuskan untuk masuk  ke dalam kamarnya saja tanpa menyapa siapa-siapa, seperti landak yang tidak punya teman. Padahal penghuni kosan selalu baik dan menyapanya kapan pun dan di mana saja.

Di kamar, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, lantas menutup wajahnya dengan lengan kanannya. Ia terdiam, membiarkan suara-suara aktivitas di kosan mengelilingi telinganya, berusaha mengalihkan pikirannya dari perdebatan di studio Sena. Bukan bermaksud mengalihkan segalanya, ia hanya ingin tenang untuk sementara sebelum fokus pada band, magang, dan kehidupan nyatanya.

Suara-suara musik, percakapan, motor, tawa, dan lainnya. Reza menyadari ada banyak hal yang terjadi dalam waktu sesingkat itu di dalam kosan yang hampir ia sendiri tidak sadari keberadaan orang-orang di dalamnya. Apa lagi dirinya tidak pernah berinteraksi langsung dengan penghuni kosan di lantai dua, lantai para gadis. Tidak seperti penghuni lain yang dengan mudahnya berinteraksi satu sama lain, Reza sendiri kebingungan entah sejak kapan ia menjadi pemurung seperti itu.

“Besok-besok, lo gak perlu dengerin kata-kata Bima dan Gamal kalau yang mereka bahas hal-hal ngerendahin lo. Lo bisa dengerin yang menurut lo bisa menjadi ajang perkembangan diri lo sendiri. Terus, besok lo udah mulai masuk magang kan? Latihan kita bakal dimulai dari malam dan kemungkinan pulang lebih larut daripada ini. Lo gak strict parents, kan?”

Malam itu, Bima dan Gamaliel sudah pulang lebih dahulu setelah perdebatan panjang mereka mengenai lagu baru. Sekalipun mereka memiliki studio Sena untuk merekam lagu, tetapi butuh waktu yang panjang untuk dikomposisi dan kemungkinan waktu yang tidak cukup sebelum festival band Bluescari dilakukan. Lalu pada akhirnya, perdebatan itu tidak selesai dan Bima memutuskan keluar dari studio.

Begitulah waktu mulai berlalu dan Reza menghabiskan sembilan jamnya di Virtual Record.
Kantor Virtual Records memiliki jam yang cukup sibuk dibandingkan yang dipikirkan oleh Reza. Ia masuk ke departemen musik dan sibuk untuk membantu membuat laporan musik-musik apa yang diperlukan untuk para talent. Hari pertama yang sejujurnya sangat melelahkan.

“Sebenarnya mereka bisa membuat musik sendiri, tapi para pendiri bersikeras menarik orang lain dalam departemen suara sehingga menjaga kualitas, keseragaman, dan hak cipta kepada agensi.”

Reza menatap gadis yang cukup eksentrik di matanya. Bajunya crop top berwarna coklat, celana baggy jeans berwarna coklat, dan rambut ikal yang diikatkan beberapa hiasan rambut. Ditambah, tindik telinga dan tato di tangan. Menunjukkan dengan jelas jika agensi itu tidak memiliki aturan berpakaian. Reza juga tidak menyatakan tentang moralitas, karena dengan melihat itu ia merasa adanya kebbasan dalam mengekspresikan diri bagi para pekerja kesenian.

“Kak Ghea—“

“Ghea aja, santai.”

Reza mengangguk pelan. “Ghea udah lama kerja di sini?”

Ghea mengangguk santai sembari memetik gitar listriknya dan menulis di kertas. Ia melepas headphone kirinya dan membiarkan telinga kanannya masih dipeluk oleh headphone, supaya ia bisa bekerja sambil bercerita dengan anak magang.

“Udah empat tahun sih. Waktu yang virtual masuk ke generasi kedua. Cuman ya gitu-gitu aja,” jawabnya pelan. Ia masih melanjutkan aktivitasnya, memetik gitar dan menulis di kertas. Bagaikan manusia multi talenta ia bisa melakukan segalanya, termasuk mengurusi Reza. Dengan kata lain, Ghea menjadi pembimbingnya selama Reza magang di agensi Virtual Records.

“Gitu-gitu aja?”

Ghea mengangguk lagi. Kali ini ia tidak langsung menjawab. Ia memetik gitarnya lebih lama daripada sebelumnya sembari membaca kunci gitar yang sejak tadi ia tulis. Telinga Reza menangkap suar aitu sebagai irama musik yang lembut, seperti untuk talent dengan perawakan manis untuk para penontonnya. Hanya satu menit, lantas petikan gitar berakhir.

“Iya, gaji enggak ada naik, yah walaupun yang sekarang udah banyak. Cuman posisinya di situ aja, enggak ada kenaikan. Entah gue harus bersyukur atau bersedih, gak tau juga. Agensi ngasih merchandise gratis setiap gajian sesuai dengan talent yang disukai pekerja. Mungkin itu aja kelebihannya. Setidaknya tidak membunuh kayak agensi negri seberang,” jelas Ghea. Ia melepaskan headphonenya kemudian menatap Reza dengan senyuman manisnya. “Kalau lo nanti semisal mau kerja di sini sih silahkan, toh kala nanti lo di sini, karya musik lo juga bakal banyak. Lumayan buat potofolio,” lanjut Ghea. Gadis itu meletakkan gitarnya.

“Karena lo di departemen musik, pasti lo bisa main beberapa alat musik kan? Berapa banyak?”

Diam sejenak. Reza sejujurnya tidak banyak mengetahui alat musik. Butuh waktu lama baginya untuk mempelajari alat musik. “Cuman gitar, bass, dan piano.”

Ghea mengangguk mengerti maksud Reza.  “Kalau gitu, mumpung magang di sini, cobain deh alat musik yang lain. Entar, kalau mau bilang aja ke gue, nantu gue temenin buat izin. Pokoknya buat diri lo nyaman untuk magang di sini. Kerjaan selesai lebih cepat bisa buat lo main alat musik atau main dengan departemen yang lain. Kita bahkan bikin band kecil di sini, kadang-kadang main sama talent juga. Pokoknya di sini seru, deh!”

Reza menatap gadis itu yang snagat bersemangat. Bahkan setelah sore menyapa, energi yang sejak pagi dikeluarkannya tak habis. Selayaknya ekstrovert yang senang menghabiskan waktu dengan orang lain.

Ketika jam magang berakhir, Reza dengan buru-buru berpamitan dan segera tancap gas menuju rumah Sena. Di sana sudah ada banyak motor yang terparkir, bahkan melebihi jumlah anggota band yang seharusnya. Isi pikiran Reza mulai menangkap jika orang tua, atau teman dari kakak laki-laki Sena yang ada di rumah itu. Dengan rasa segan, pemuda itu memutuskan untuk menelpon Sena dan berkata bahwa ia sudah berada di depan rumah kakak kelasnya itu.

Butuh beberapa menit sampai gadis setinggi bahunya itu muncul. Ia hanya tertawa kecil, lantas menarik Reza masuk ke dalam rumahnya. “Padahal gue bilang masuk aja. Mereka juga tau lo, kok.”

“Kurang sopan aja rasanya, Kak.”

Sena hanya tertawa mendengar itu, menyadari jika ia dan Reza memang tidak seakrab itu, tetapi ia hanya ingin orang-orang yang sudah pernah datang ke rumahnya untuk bersikap biasa saja. Karena pada akhirnya, ada banyak orang yang datang ke rumahnya, teman kakaknya, adiknya, maupun orang tuanya. Siapa pun yang datang sudah dianggap dipercaya oleh dirinya sendiri. Saat ini untuk Sena, ia merasa akan sangat sulit berinteraksi dengan adik tingkatnya itu.

“Btw, lo bisa main piano kan? Untuk lagu baru ini, kita bakal pakai piano.”

Reza seketika terdiam ketika mendengar fakta baru itu. Baru saja ia membahas alat musik yang bisa ia mainkan, sekarang ia sudah harus mengganti alat musik yang sangat ia kuasai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Foley KosanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang