[Chapter 1: The Unreachable Star ]

14 2 0
                                    

Langit malam selalu memikatku, sebuah kanvas gelap yang dipenuhi dengan titik-titik cahaya berkilauan. Setiap bintang seakan menyimpan rahasia yang tersembunyi, cerita yang belum pernah didengar oleh siapa pun. Dulu, aku akan menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk memandanginya. Menghitung bintang, mengamati pola-pola konstelasi, mencari cahaya yang paling terang di antara ribuan yang lain.

Namun, malam ini rasanya berbeda. Tidak ada lagi kegembiraan seperti biasanya. Ada kehampaan yang sulit kujelaskan, sebuah kekosongan yang menusuk hati. Karena kini, aku tahu, salah satu bintang itu bukan hanya bintang. Itu adalah kamu.

"Kamu di sana sekarang, ya?" bisikku lirih, meski aku tahu tidak ada yang bisa mendengarku. Aku menghela napas panjang, mencoba mengatasi rasa sakit yang masih menyesakkan dada.

Kamu pernah bercanda suatu kali, dengan senyum yang selalu kuingat, mengatakan bahwa suatu hari nanti kamu akan menjadi salah satu dari bintang-bintang itu. "Aku akan bersinar begitu terang hingga semua orang akan selalu mengingatku," katamu sambil tertawa, seolah-olah itu hanyalah lelucon biasa. Tapi kini, lelucon itu menjadi kenyataan yang pahit. Kamu tidak lagi di sini. Kamu benar-benar telah menjadi bagian dari langit malam, bersinar di antara mereka.

Malam ini, seperti malam-malam lainnya sejak kamu pergi, aku menatap bintang yang paling terang di langit. Entah bagaimana, aku merasa itu adalah kamu. Kamu ada di sana, bersinar untukku, tapi terlalu jauh untuk kugapai. Aku hanya bisa menatapmu, merasakan kehadiranmu melalui cahaya yang dingin dan sunyi itu. Setiap kali aku melihat bintang itu, hatiku terhimpit, seakan-akan ada sesuatu yang ditarik perlahan dari dalam diriku.

Aku ingat saat-saat kita bersama. Kamu selalu mengatakan bahwa bintang adalah pengingat kita untuk selalu bermimpi. "Selama ada bintang di langit, kita tahu masih ada harapan," begitu katamu. Tapi kini, aku tidak lagi merasa harapan itu. Aku hanya merasa... kehilangan.

Kamu telah memenuhi janjimu, memang. Kamu bersinar, begitu terang hingga aku tidak perlu mencari-cari di mana kamu berada. Setiap kali aku mendongak, aku tahu kamu ada di sana. Namun, itu tidak cukup. Kehadiranmu yang dulu nyata, dekat, kini berubah menjadi sesuatu yang tak terjangkau. Rasanya seperti menggenggam udara kosong. Aku merindukan suaramu, tawa kecilmu, dan sentuhanmu yang hangat. Tapi bintang-bintang tidak berbicara, mereka hanya bersinar... diam, seolah memandang dari jauh tanpa bisa memberikan jawaban atas semua kesedihanku.

Dunia tanpa kamu rasanya begitu sunyi. Sejak kamu pergi, semua menjadi sepi. Orang-orang tetap berjalan, waktu tetap bergulir, tapi bagi diriku, dunia berhenti ketika kamu meninggalkanku. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku duduk di balkon, memandangi langit, berharap ada sedikit keajaiban yang bisa membawamu kembali. Tapi aku tahu itu mustahil.

Aku tertawa getir, air mataku mulai menetes. "Lucu, ya? Kamu benar-benar jadi bintang," gumamku. "Dan sekarang, aku hanya bisa menatapmu... dari sini."

Hidup telah berubah. Setiap detik terasa lebih lambat tanpamu di sampingku. Kadang aku bertanya-tanya, apakah kamu tahu betapa aku merindukanmu? Apakah kamu tahu betapa sulitnya menjalani hari-hari tanpamu? Tapi bintang-bintang tetap bersinar, tanpa memberikan jawaban apa pun. Mereka diam, sunyi, dan tak terjangkau. Seperti dirimu sekarang.

Malam semakin larut, angin mulai berhembus dingin. Tapi aku tetap duduk di sana, menatap langit, berharap bahwa di balik bintang-bintang itu, kamu juga menatapku. Mungkin suatu saat, ketika waktuku tiba, aku bisa bergabung denganmu. Tapi untuk saat ini, aku hanya perlu menatapmu... dari kejauhan, dan mencoba merasakan kehangatan yang pernah kita bagi, meski itu hanya dari kenangan yang perlahan-lahan mulai memudar.

Bintangmu masih bersinar, selalu. Tapi tanpamu di sini, dunia terasa begitu kelam.

Truth QuestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang