[ Chapter 15: Trapped in Routine ]

1 1 0
                                    

Penjara tak selalu terbuat dari besi, itulah yang kupelajari seiring berjalannya waktu. Ada jeruji yang jauh lebih halus namun lebih menyesakkan; rutinitas. Setiap hari yang berlalu, terasa seperti perjalanan tak berujung di lorong yang sama. Aku terbangun dengan dering alarm yang memecah kesunyian pagi, memulai hari yang tak ada bedanya dengan hari sebelumnya. Semuanya terjadi begitu saja, tanpa ruang untuk berhenti, tanpa jeda untuk bernapas.

Ada masa dalam hidupku di mana aku pernah bermimpi besar—melihat diriku di atas panggung, menjalani hidup yang penuh petualangan. Tapi mimpi-mimpi itu kini tampak seperti bayangan yang jauh. Rutinitas ini, kesibukan ini, telah mengunci semua itu. Rutinitas yang membuatku takut bahkan untuk bermimpi lagi.

Dulu, aku percaya bahwa cita-cita adalah sesuatu yang harus dikejar, tak peduli seberapa besar rintangannya. Aku percaya bahwa masa muda adalah masa yang penuh dengan peluang, tempat di mana kegilaan adalah keberanian yang harus disambut. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti kebodohan. Seolah-olah, mengejar mimpi hanyalah tindakan sia-sia, tindakan yang tak lagi layak dipertimbangkan di tengah tumpukan tanggung jawab dan kewajiban yang terus menumpuk.

Hari-hari terasa semakin panjang, semakin berat. Setiap langkahku terasa seperti berjalan di atas pasir yang terus menyedotku masuk. Aku terjebak dalam rutinitas yang memaksa diriku untuk terus bergerak, meskipun tubuhku sudah kehabisan tenaga. Emosi yang dulu membara kini terasa hampa. Segalanya menjadi otomatis; bangun, bekerja, pulang, tidur. Tidak ada waktu untuk memikirkan apa yang dulu membuat hatiku berdebar-debar. Semuanya tersapu oleh gelombang kesibukan yang tak pernah berakhir.

Kesibukan ini telah menjadi penjaraku. Sebuah penjara tanpa dinding yang bisa kulihat, tanpa rantai yang bisa kurasakan. Namun, aku tahu pasti bahwa aku terkunci di dalamnya. Setiap hari adalah pengulangan yang melelahkan, sebuah lingkaran tak berujung yang menguras jiwaku perlahan. Apa yang dulu kubanggakan—semangat, ambisi, keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih—semua itu kini terasa seperti kenangan dari kehidupan yang lain. Hidup yang jauh lebih cerah daripada yang sekarang kujalani.

Dan di saat-saat seperti ini, ketika rutinitas menyedotku semakin dalam, aku mulai mempertanyakan segalanya. Apakah ini yang dimaksud dengan hidup? Apakah kita diciptakan hanya untuk bergerak seperti mesin, mengikuti pola yang sama setiap hari tanpa pernah benar-benar hidup? Apakah mimpi-mimpi muda itu hanyalah ilusi? Kegilaan yang kini kutakuti, padahal dulu kusambut dengan senyuman lebar?

Di malam-malam sunyi, ketika akhirnya aku bisa berhenti sejenak dari kesibukan, pertanyaan-pertanyaan itu kembali menghantuiku. Mimpi-mimpi yang dulu kubuang begitu saja kembali menghantui pikiranku, mengingatkanku pada apa yang telah kulupakan. Pada apa yang telah kutinggalkan demi rutinitas ini. Tapi begitu pagi tiba, semuanya kembali sama. Rutinitas itu mengambil alih, dan aku kembali ke dalam lingkaran yang sama.

Penjara ini mungkin tak kasat mata, tapi jerujinya lebih kuat dari besi. Rutinitas yang membelenggu, yang menghapus semua keinginan untuk bermimpi, yang menjadikan cita-cita masa mudaku terlihat seperti kegilaan yang harus kuhindari. Aku terjebak, tak mampu melarikan diri. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, akan ada celah kecil di penjara ini, tempat di mana aku bisa melangkah keluar dan menemukan diriku lagi. Sebelum segalanya benar-benar hilang dalam kegelapan rutinitas yang tak berujung.

Truth QuestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang