[ Chapter 5: A Bitter Lemon Scent ]

2 1 2
                                    

Aku tak pernah membayangkan bahwa hidup bisa sekejam ini. Setiap malam, saat aku menutup mata, wajahmu muncul begitu jelas di benakku, seolah kau masih ada di sini, di sampingku. Aku berharap semua ini hanya mimpi, sebuah ilusi yang bisa kuhapus ketika aku terjaga. Namun, bahkan dalam lelapku, kau tetap hadir, menghantui setiap sudut pikiranku.

Memori-memori yang kau tinggalkan begitu kuat. Mereka tak hanya terpatri dalam hatiku, tapi juga dalam setiap detik yang kulewati. Setiap kali aku terjebak dalam kenangan itu, rasanya seperti dibawa kembali kepadamu—ke masa ketika kita masih bersama. Ada kebahagiaan yang tak mungkin kuulangi lagi, dan entah bagaimana, aku sadar akan hal itu. Kau adalah yang pertama kali menyadarkanku bahwa hidup ini tak selalu menawarkan kesempatan kedua.

Namun, bersamamu, luka yang kurasakan tak pernah benar-benar sembuh. Luka itu begitu dalam, dan meskipun waktu terus berjalan, aku tahu hatiku takkan pernah benar-benar utuh. Luka itu menjadi bukti bahwa kau pernah melangkah ke dalam hidupku, membuat semuanya berubah selamanya.

Suatu malam, hujan turun deras di luar jendela. Di tengah suara gemericik yang menenangkan, teleponku berdering. Aku memandang layar sejenak. Nama yang tertera di sana membuat hatiku terasa sesak. Itu kamu.

Aku menjawab dengan suara yang lebih tenang dari perasaanku, "Ada apa?"

"Aku... hanya ingin tahu," suaramu terdengar berat, seperti menahan sesuatu, "Apakah kau baik-baik saja?"

Aku terdiam sejenak. Baik-baik saja? Tentu saja tidak. Tapi untuk apa menjawab jujur? "Ya, aku baik. Kau sendiri?"

Ada keheningan di ujung sana, sebelum kau akhirnya menjawab, "Aku... tidak tahu. Aku merasa kehilangan sesuatu."

"Keinginanmu yang mana?" tanyaku, mencoba menetralkan suasana. “Kau sudah pergi, kau yang memilih jalan ini.”

"Aku tahu," katamu pelan. "Tapi... ingatan tentang kita, tentang semua hal yang pernah kita alami—aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Rasanya masih terlalu kuat."

Aku menghela napas. Ini bukan percakapan yang kuinginkan. "Kau ingin melupakan semuanya?"

"Tidak," kau jawab cepat, "Tidak semuanya. Tapi ada bagian yang ingin kulupakan. Bagian yang terlalu menyakitkan."

Aku tahu rasa sakit yang kau maksud. Aku merasakannya setiap hari, setiap saat. Tapi di balik semua itu, ada keindahan yang tak bisa kutinggalkan. "Luka ini adalah bagian dari hidupku sekarang. Aku takkan menghapusnya. Karena luka itu datang bersamamu."

"Aku tidak bermaksud seperti itu," suaramu semakin berat, “Aku hanya ingin kita tak saling menyakiti.”

"Terlambat," jawabku dingin, meski hatiku berteriak ingin memelukmu kembali. "Terlambat untuk memperbaiki semuanya. Apa yang sudah terjadi, biarlah tetap jadi kenangan."

Suasana sunyi beberapa saat, hanya suara hujan yang memisahkan kita. “Kau tahu,” lanjutku, “Semua yang kita alami, meski penuh dengan kepedihan, tetap menjadi kenangan yang indah. Saat kau di sisiku, aku merasa hidup meski terluka. Bahkan aroma lemon yang selalu kau suka itu, aroma pahitnya masih terus kukenang dalam dada. Setiap kali aku merasakannya, aku mengingatmu.”

"Aku juga mengingatnya," bisikmu di seberang sana, “Tapi... apa ini benar-benar akhir?”

Aku terdiam. "Ya. Ini akhir untuk kita. Aku tak akan pulang sebelum hujan ini berhenti, dan aku tak akan mencari bayangmu lagi. Ini saatnya untuk kita berhenti.”

Aku tahu, kau mendengarnya. Tapi kau tidak menjawab. Hanya suara napasmu yang kudengar, sebelum akhirnya kau memutus panggilan itu. Dan aku hanya bisa menatap telepon yang tak lagi bersuara. Setiap kata yang kuucapkan mungkin adalah luka baru, tapi aku tahu, itu perlu.

Malam-malamku selalu terasa panjang. Dalam gelap, aku mencoba mengingat bayangmu, berharap bahwa kenangan tentangmu bisa memudar seiring waktu. Namun, sayangnya, wajahmu tetap tertanam begitu jelas di pikiranku. Setiap kali aku sadar bahwa ini bukanlah mimpi, aku hanya bisa menangis. Air mata adalah hal terakhir yang tersisa untukku, seakan menjadi pengingat betapa dalamnya luka yang kutinggalkan.

"Sedang apakah dirimu sekarang?" kata-kata itu sering terucap dari bibirku tanpa sadar, meskipun mataku tidak lagi melihatmu. Aku tahu kau tak mendengarnya, tapi aku berharap, di suatu tempat, kau tahu bahwa aku masih merindukanmu. Jika kau di suatu malam hujan mendengar dering telepon tanpa jawaban, mungkin itu aku, berusaha menghubungimu sekali lagi, meski tahu kita sudah tak lagi bisa kembali.

Aku tak pernah menduga bahwa cinta yang pernah kita bagi akan menimbulkan sesak yang begitu menyakitkan. Rasa itu ada di dadaku, mencengkeram dengan erat setiap kali aku teringat padamu. Meski kita pernah bersama, aku tak pernah benar-benar sadar bahwa kau akan meninggalkan luka sebesar ini. Namun, sekarang aku tahu pasti—meskipun kita tak lagi bersama, aku tak akan bisa melupakanmu. Tidak sepenuhnya.

Setiap luka yang kurasakan, setiap kepedihan yang pernah kita torehkan bersama, semuanya adalah kenangan yang indah. Saat-saat kau di sisiku, meskipun penuh dengan rasa sakit, tetap menjadi bagian terbaik dari hidupku. Aroma lemon yang pahit itu akan selalu kukenang di dalam dadaku, tapi aku tidak akan pulang sebelum hujan berhenti. Seperti kepingan memori yang telah terpatri, hingga detik ini, cahayamu masih yang kucari.

Aku tahu kau tak akan kembali, tapi cahayamu—kenangan tentangmu—akan selalu ada di dalam hidupku. Dan meskipun pahit, aku akan terus mengenangnya, sampai saatnya tiba bagiku untuk berhenti mencarimu di setiap tetes hujan yang turun.

To my beloved

Amelia Ratuliani

Truth QuestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang