[ Chapter 11: The Illusion I Keep ]

1 1 0
                                    

Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa terkadang, manusia lebih memilih hidup dalam ilusi daripada menghadapi kebenaran yang pahit. Waktu itu, aku tidak terlalu paham. Aku pikir, siapa yang mau hidup dalam kebohongan? Bukankah setiap orang pada akhirnya ingin mengetahui kenyataan, meskipun menyakitkan?

Namun, semakin lama aku hidup, semakin aku sadar bahwa aku sendiri seringkali terjebak dalam ilusi yang kubuat. Kadang, aku tidak mau mendengar kebenaran, karena aku takut kebenaran itu akan menghancurkan kenyamanan yang selama ini kubangun.

Aku ingat, suatu saat, aku jatuh cinta pada seseorang. Namanya Anya, dan dia adalah segalanya yang selama ini kucari. Dia sempurna di mataku—cerdas, cantik, penuh perhatian, dan selalu tahu cara membuatku merasa istimewa. Kami menghabiskan banyak waktu bersama, berbicara tentang mimpi-mimpi kami, tentang masa depan yang seolah sudah pasti kami jalani bersama. Aku mulai meyakinkan diriku sendiri bahwa dia adalah orang yang tepat untukku. Aku hidup dalam keyakinan itu, dalam ilusi bahwa kebahagiaan kami tidak mungkin terancam oleh apa pun.

Namun, seperti halnya semua ilusi, kenyataan mulai merayap masuk. Sedikit demi sedikit, aku mulai melihat celah-celah yang selama ini kuabaikan. Anya sering menjauh tanpa alasan yang jelas. Dia mulai sering tidak membalas pesanku, dan ketika kutanya, dia selalu mengatakan bahwa dia sibuk. Tapi aku tahu ada sesuatu yang salah. Hatiku tahu.

Aku pernah mendengar kabar dari teman-teman kami bahwa Anya sedang dekat dengan orang lain. Awalnya, aku menolak percaya. Tidak mungkin. Itu hanya desas-desus. Aku memilih untuk mempercayai Anya, memilih untuk bertahan dalam keyakinanku bahwa hubungan kami masih kuat, masih benar. Aku tidak ingin mendengar kebenaran, karena kebenaran itu akan menghancurkan segalanya—cinta yang kurasa, masa depan yang sudah kubayangkan.

Namun, seiring waktu, kabar itu semakin sering kudengar. Hatiku mulai ragu, tapi pikiranku menolak untuk menerima kenyataan. Setiap kali ada tanda-tanda bahwa sesuatu tidak beres, aku menutup mata. Setiap kali ada kesempatan untuk bertanya dan mencari tahu, aku menahan diri. Aku tidak ingin mendengar jawaban yang akan menyakitiku. Aku tidak ingin ilusi yang selama ini kubangun hancur begitu saja.

"Kenapa kau tidak bertanya langsung pada Anya?" Tanya seorang teman suatu hari.

Aku terdiam. Aku tidak bisa menjelaskan padanya bahwa aku sebenarnya takut. Takut mendengar kebenaran yang mungkin akan mengakhiri semua kebahagiaan ini. Aku tahu, jika aku bertanya, jika aku mencari tahu lebih jauh, mungkin aku tidak akan bisa kembali ke titik di mana semuanya terasa baik-baik saja. Aku tidak siap untuk itu.

Namun, semakin aku menghindari kenyataan, semakin jelas bahwa ilusi ini tidak bisa bertahan selamanya. Pada akhirnya, hari itu datang juga. Anya memintaku untuk bertemu, dan aku sudah bisa merasakan bahwa percakapan ini akan membawa akhir yang tidak ingin kudengar.

Kami duduk di sebuah kafe, tempat di mana kami sering menghabiskan waktu bersama. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada tawa, tidak ada senyum. Anya memandangku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan, dan sebelum dia berkata apa pun, aku sudah tahu apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Aku pikir kita perlu bicara," katanya pelan. Aku hanya mengangguk, mencoba menenangkan diriku sendiri, meskipun di dalam hatiku aku sudah hancur.

"Selama ini... aku merasa ada yang berubah," lanjutnya. "Dan aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya, tapi... aku tidak bisa terus seperti ini. Aku... ada seseorang yang lain."

Kata-katanya menusukku tepat di jantung. Aku sudah menduganya, tapi mendengarnya langsung darinya terasa jauh lebih menyakitkan. Ilusi yang selama ini kupegang erat hancur begitu saja. Seluruh dunia yang kubangun dalam pikiranku runtuh dalam sekejap. Aku tahu, ini adalah kebenaran yang selama ini kutolak untuk lihat, dan sekarang, aku tidak bisa menghindarinya lagi.

Aku menatap Anya, dan untuk sesaat, aku tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku ingin marah, ingin bertanya kenapa dia tidak jujur dari awal, tapi bagian lain dari diriku tahu bahwa ini adalah salahku juga. Aku yang memilih untuk hidup dalam ilusi. Aku yang menolak untuk mendengar kebenaran, karena aku takut menghadapi kenyataan yang mungkin tidak sesuai dengan harapanku.

"Kenapa kau tidak mengatakan ini dari dulu?" Akhirnya aku bertanya, suaraku terdengar jauh lebih tenang dari yang kuduga.

Anya menghela napas. "Aku tidak ingin menyakitimu. Dan... aku juga bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana."

Aku mengangguk, mencoba memahami. Mungkin kami berdua sama-sama takut. Sama-sama tidak ingin menghadapi kebenaran yang akan menghancurkan kenyamanan kami. Tapi pada akhirnya, kebenaran itu selalu datang. Tidak peduli seberapa keras kita mencoba menghindarinya, kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Saat aku berjalan pulang hari itu, aku merasa kosong. Ilusi yang selama ini kugenggam sudah hilang, dan aku harus menghadapi kenyataan pahit yang selama ini kutolak. Namun, di balik rasa sakit itu, ada perasaan lega. Aku akhirnya tahu kebenaran, meskipun kebenaran itu menghancurkanku. Dan mungkin, itulah yang terbaik. Karena hanya dengan menghadapi kenyataan, aku bisa mulai menyembuhkan diriku dan melangkah maju.

Kebenaran, sesakit apa pun, selalu lebih baik daripada hidup dalam ilusi yang rapuh.

Truth QuestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang