Aku memandangi sosok lelaki tua yang duduk di hadapanku, asap rokoknya melayang-layang di udara, perlahan menyatu dengan angin sore yang berhembus pelan. Sorot matanya tenang, seolah hidup tak pernah mampu menggoyahkan keteguhannya. Ia mengenakan baju lurik khas Jawa, lengkap dengan blangkon di kepalanya. Lelaki itu bukan sembarang orang. Dia adalah kakekku, seseorang yang selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang jauh melampaui kata-kata.
"Kau tahu, Nak, menjadi manusia merdeka itu bukan soal siapa yang paling kaya, paling pintar, atau paling berkuasa," katanya, sembari menghembuskan asap rokok dari bibirnya yang keriput. Aku terdiam, menunggu kelanjutan nasihat yang sering kali membekas di hati. "Menjadi merdeka adalah tentang kebebasan hati. Jangan takut dibenci, dan jangan pernah mengemis untuk disukai."
Kata-kata itu begitu tegas, tapi juga dalam. Sejujurnya, aku sering merasa takut akan penilaian orang lain. Selalu ada ketakutan terselubung saat harus menunjukkan siapa diriku yang sebenarnya. Kadang aku merasa harus menyesuaikan diri, bahkan mengorbankan prinsip-prinsipku hanya demi diterima oleh lingkungan.
"Kek, apa tidak sulit hidup tanpa takut dibenci? Kadang orang menilai kita dari hal-hal kecil, dari apa yang kita katakan, lakukan, bahkan penampilan kita," tanyaku, dengan sedikit rasa penasaran.
Kakek hanya tersenyum, tatapannya tajam namun penuh kasih. "Nak, kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain. Hidup ini terlalu singkat untuk selalu memikirkan apa kata orang. Kau bisa jadi yang terbaik di mata mereka hari ini, tapi besok mereka bisa mencela dirimu tanpa alasan. Jadi, kenapa harus peduli?"
Aku terhenyak. Kata-kata kakekku benar-benar menghantam hatiku. Seberapa sering aku menunda melakukan hal-hal yang aku inginkan, hanya karena takut akan penilaian orang lain? Seberapa sering aku mengubah diriku hanya agar bisa diterima oleh mereka yang, pada akhirnya, mungkin tak benar-benar peduli?
Kakek kembali menghisap rokoknya, menghembuskannya pelan. "Hidupmu adalah milikmu sendiri, Nak. Kau tidak berutang penjelasan kepada siapa pun. Yang penting, jangan mengemis untuk disukai. Jika kau menjadi dirimu sendiri, mereka yang benar-benar menghargaimu akan datang dengan sendirinya. Dan mereka yang tidak suka? Itu urusan mereka."
Aku menatap kakek dengan penuh kekaguman. Di usianya yang senja, ia tampak begitu bijak, seolah hidup telah mengajarkannya segala hal yang perlu dipahami. Aku ingin seperti dia, kuat dan teguh, tak goyah oleh apa pun. Tidak takut dibenci, tidak memohon untuk diterima.
Hari itu, di bawah langit sore yang semakin gelap, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menjadi merdeka, seperti yang selalu kakek ajarkan. Aku akan berhenti mengorbankan siapa diriku hanya demi diterima oleh orang lain. Dan aku akan belajar untuk tidak takut dibenci.
Hidup ini memang penuh dengan pilihan-pilihan kecil yang terkadang mengarah pada kehilangan diri sendiri. Tapi aku tahu, setelah percakapan sore ini, aku tidak akan lagi takut. Aku akan menjalani hidup sesuai dengan kata hatiku, tanpa ragu, tanpa mengemis cinta atau pengakuan dari mereka yang tak mengerti siapa aku sebenarnya.
Kakek mengakhiri nasihatnya dengan satu hembusan rokok terakhir, menatap jauh ke langit. "Hidup ini sederhana, Nak. Jadilah merdeka. Itu saja."
Dan aku tahu, mulai hari itu, hidupku akan berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth Quest
Короткий рассказTidak perlu menjelaskan rangkaian variabel kehidupan yang rumit ini. Cukup nikmati kata-kata saya dan cobalah untuk merefleksikannya, lalu maknai. Meski pada akhirnya, setiap orang akan menafsirkannya sesuai sudut pandangnya masing-masing. Namun, in...