5. Nightmare

21 6 2
                                    

•••••

"Mas, gimana kalau kita kasih salam perkenalan? Kayaknya menarik." Wajahnya berbinar. Dia lebih cerah dan bersemangat dari biasanya. Antusiasme menguar dalam dirinya. 

Sendy managernya hanya menggelengkan kepala, benarkan tebakannya. Ini akan terjadi. Kekacauan apalagi yang sekiranya harus ia bereskan, "secepat ini?" 

"Why not? Lebih cepat lebih baik."

Melihat Cio yang begitu bersemangat membuat pikiran Sendy mumet saat itu juga. Menjadi manager model aktor papan atas seperti Cio memang tak pernah mudah, terlebih jika di saat yang bersamaan ia harus menjadi pengasuh monster kecil bernama Zuma. tetapi sampai kapan Sendy harus terus membersamai Cio yang seperti ini? Ia berharap seseorang bisa menyudahi kegilaannya. 

"Gue ke bawah dulu, kalau perlu apa-apa telepon aja." Ujar Sendy yang berlalu begitu saja meninggalkan Cio di dalam kamar hotel. Sudahlah ia tak ingin ambil pusing dengan kelakuan artisnya, sudah cukup ia mengurusinya, toh cio sudah bukan anak kecil lagi.

"Oke, mas!" Cio melempar senyum manis seraya melambaikan tangan. 

"Kalau bukan karena bapaknya gue pasti udah mundur. Tapi hutang budi gue terlalu besar buat keluarga dia, sialnya lagi gue juga sayang banget sama si kampret satu itu." Monolog Sendy. Pria yang sudah lama membersamai Cio itu tak habis pikir juga. Kenapa magnet Cio begitu kuat. Dia bisa menaklukan siapapun tanpa terkecuali. Bahkan Sendy yang sudah sangat khatam dengan kelakuan gila dan beringasnya saja tak bisa memungkiri bahwa ia menyayangi Cio seperti adiknya sendiri. 

Sendy membuka kunci ponselnya, menampilkan dua wanita cantik di sana. 

"Hai, suamiku. Tumben langsung video call, kenapa?" Suara lembut itu berasal dari wanita cantik di seberang sana. Ia tahu jika Sendy melakukan panggilan video dan bukan telepon artinya ia sedang tak baik-baik saja. "Mau ketemu baby Chell?"

Sendy menggeleng, "aku kangen." Jawabnya singkat. 

Sang istri mengerti arti senyum itu, "ada apa?" Pertanyaan sederhana yang begitu bermakna. Sendy sedikit lega di tengah keruwetannya ia memiliki istri penyayang dan pengertian, yang dapat memahami Sendy lebih dari siapapun. 

"Capek, capek banget sayang." 

"Banyak kerjaan, ya?"

Sendy kembali menggeleng. "Aku enggak tau apa yang dia rencanain sekarang. Yang jelas aku capek, harus selalu beresin kekacauan yang dia buat sewaktu-waktu."

"Sabar, suamiku. Aku tau Cio selalu nyusahin kamu. Tapi kan kamu sendiri yang udah milih jalan buat setia sama keluarga mereka. Hmm?" 

Sambil memejamkan mata ia hembuskan nafas berat, "ngadepin satu manusia dengan dua kepribadian itu gampang-gampang susah, sayang."

Wanita cantik di sebrang sana mengangguk tanda mengerti. "Aku ngerti."

Ingatannya kembali menerawang saat pertama kali ia di kenalkan kepada keluarga Cio oleh sang ayah. Saat itu usianya masih 11 tahun sewaktu sosok anak laki-laki yang 5 tahun lebih muda darinya datang dari arah depan bersama seseorang yang ia yakin adalah kakaknya. Menatap lurus ke arah Sendy kecil dengan tatapan datar dan tajam. Ada kengerian saat awal Sendy bertatapan dengannya. 

"Dek—" 

Sang kakak menggelengkan kepalanya memberi isyarat untuk tersenyum dan menyapa. Tanpa menunggu aba-aba, anak 6 tahun itu menghampiri Sendy kecil lalu menarik tangannya. "Zuma, nice to meet you."

THERE'S NO IN BETWEEN, BENECIO.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang